“Tuhan Sayang Aku”: Sepenggal Kisah Korban Perbudakan Seksual
Oleh: Siti Aminah Tardi
“Mba…sekarang aku berani naik busway, cuman tiga ribu lima ratus aku bisa ke Cengkareng…ke Kota”, ujarnya gembira sambil memelukku di pertemuan sore itu. Aku bertemu Kakak sekedar makan junk food dan bertanya kabarnya dan anaknya.
“Wow…keren Kakak, tapi ngapain sampai Cengkareng?” tanyaku yang mendapati wajahnya lebih segar, sorot mata fokus. Berbeda dengan pertemuan sebelumnya.
“Aku cari kerja dan bertemu teman-temanku. Ternyata yang tahu kasusku mereka dukung aku, mereka mau bantuin aku atau menemani ngobrol” Kakak menjelaskan mengapa ia bepergian cukup jauh dari rumahnya.
Aku mengenal Kakak ketika membantu membuat akta kelahiran anaknya. Hasil perkosaan. Sebagai ibu ia ingin mengganti nama belakang anak yang disematkan nama ayah biologisnya. Entah siapa yang memberikan nama. Yang jelas pelaku akan terus ada bersamanya jika nama belakang itu tidak dihilangkan.
Apa hebatnya naik busway? Tinggal tap, menunggu bus, duduk manis dan keluar di halte tujuan. Nampak sepele, tapi tidak bagi Kakak, korban kekerasan seksual dalam bentuk perbudakan seksual. Kemerdekaan dan ruang geraknya dirampas ketika berusia 16 tahun. Narkoba menjadi alat untuk ia tetap tinggal di tempat yang disebut padepokan itu. Eksploitasi seksual terus terjadi atas dirinya. Baru pada usia 24 tahun ia dibebaskan seiring penggeledahan petugas terkait kasus narkoba pelaku.
Baca Juga: Menjadi Pendamping Korban
Tak hanya narkoba, di dalamnya terdapat puluhan anak perempuan senasib dengannya. Tapi hanya ia sendiri sampai akhir yang berjuang mendapatkan keadilan. Ya, pelaku dihukum kumulatif 20 tahun untuk tiga kasus (Seingatku: kekerasan seksual, narkoba, dan kepemilikan senjata).
Pemulihan
Dibutuhkan proses panjang untuk membangun keberaniannya keluar rumah atau melakukan mobilitas. Ketakutan untuk dikenali sebagai korban, diculik, atau dibawa kembali ke tempat dulu atau nyasar karena tiba tiba “blank” sebagai akibat narkoba yang belum sepenuhnya pulih menjadi salah satu dampak ia mengalami hambatan mobilitas. Tapi kini ia memberanikan diri melakukan mobilitas. Keberhasilannya naik busway telah membangun kepercayaan dirinya. “AKU BISA” katanya
“Aku memaafkan dia…aku memaafkan dia..Tuhan sayang aku, aku bisa pulih melalui tangan-tangan Tuhan”, ia meyakinkan dirinya bahwa ia telah memaafkan pelaku, walau nada parau dan titik bening matanya masih menyiratkan pedih. Ia berkata begitu, ketika kutanya, apa yang kini Kakak rasakan dan apa yang akan kita lakukan?
Baca Juga: Bangkit itu Memulihkan
Memberikan bantuan hukum hanyalah bagian kecil (sekali) dari upaya memulihkan korban kekerasan seksual. Dibutuhkan banyak tangan dan metode untuk memulihkan korban. Bekerja bersama korban mengajarkanku untuk menjadikan hukum sebagai cara masuk untuk memeluk dan membuatnya berdiri kembali. Secara pribadi, pertemuan-pertemuan dengan korban membuatku lebih banyak bersyukur dan menjadi lebih lembut hati kepada korban dan mengeras pada laki laki.
Kasus ini adalah contoh perbudakan seksual. Bentuk eksploitasi seksual ditambah dengan perampasan kemerdekaan atau ruang gerak. Kasus ini sendiri bisa masuk ke persidangan dengan menggunakan UU Perlindungan Anak karena ia mengalami sejak usia 16 tahun.
Bagaimana jika usianya di atas 18 tahun? Perkosaan berulang dan bertahun, apakah akan diproses? Terlebih tidak ada tindak pidana eksploitasi seksual atau perbudakan seksual. Ketika menawarkan rumusan tindak pidana perbudakan seksual, kami yang mendampingi kasus ini akan menamainya dengan nama pelaku. Sayangnya perbudakan seksual tidak diakomodasi Panja Baleg DPR RI dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, 30 Agustus 2021.
Dari satu kasus perbudakan seksual ini, nampak bagaimana korban dirampas hak-haknya sebagai anak, sebagai perempuan, dan manusia. Kekerasan seksual telah merampas kesempatannya untuk sekolah dan bekerja. Dampaknya, perempuan akan semakin termarjinal. Kami sedang berpikir mengalang dana untuk membantu korban-korban kekerasan seksual melanjutkan sekolah. Dengan sekolah, korban akan percaya diri, mengakses pekerjaan, dan kehidupan yang lebih baik.
Pertemuan ini juga mengingatkanku pada diskusi dengan Ibu Irawati Harsono, Komisoner Komnas Perempuan 2015-2019. Ia mengajukan pertanyaan: “Faktor-faktor apakah yang membuat korban kekerasan seksual pulih di Indonesia?” Jika kita mengetahui faktor utama yang membantu korban pulih, mungkin intervensi-intervensi bisa dilakukan.
“Ia pintar sekali, besok ia mau lomba karate…mungkin karena aku sudah tenang dan percaya diri, ia tidak cengeng lagi. Ia mau jadi biologist mba…aku harus bekerja biar ia menjadi sukses,” ceritanya penuh semangat tentang ananda yang semakin tumbuh dan aktif di sekolahnya. Bolehkah aku sebut “anak” menjadi salah satu motivasinya?
Banyak cinta untukmu dan untuk para sahabat pendamping. Kita kuat dan terus berlipat untuk terus berjuang mendapatkan keadilan. []
Penulis pertama kali menuliskan cerita ini pada 2019 saat masih menjalankan tugas sebagai Advokat, saat ini penulis adalah komisioner Komnas Perempuan. Tulisan telah diperbaharui seperlunya oleh penulis pada 2021.