UU Pelecehan Seksual di Tempat Kerja: Belajar dari India

 UU Pelecehan Seksual di Tempat Kerja: Belajar dari India

Sungai Gangga, India (Foto: Pixabay/Balouriarajesh)

India telah memiliki Undang-Undang “Pelecehan Seksual terhadap Perempuan di Tempat Kerja” atau The Sexual Harassment of Women at Workplace (Prevention, Prohibition and Redressal) sejak tahun 2013. Bagaimana implementasinya selama 7 tahun ini?

 

Produsen Garmen Terbesar di Dunia

Di India, para pekerja perempuan sebagian besar bekerja di pabrik tekstil dan industri garment. India merupakan negara yang merupakan produsen garmen terbesar di dunia, secara kualitas maupun kuantitas. Awalnya, beberapa pekerja perempuan banyak yang berusia dibawah umur, kerentanan pun kerap terjadi di pabrik garment, seperti pekerja yang diperbudak (perbudakan modern), minimnya upah minimum, dan pekerja di bawah umur. Sekalipun ada larangan pekerja anak yang berusia di bawah 18 tahun (baik perempuan dan laki-laki), celah itu masih ada.

Undang-Undang India telah mensyaratkan bahwa pekerja di India, bukan seorang anak, harus diatas umur 18 tahun. Hal ini juga untuk mengurangi perdagangan anak (trafficking) yang biasanya terjadi dengan perekrutan anak dari desa. India pun sudah mengampanyekan stop perekrutan pekerja anak dari desa-desa yang usianya berada di bawah kisaran 14 tahun. Telah disediakan call center di desa untuk kampanye dan mekanisme pemulihan.

Membincangkan pekerja perempuan di India, maka sebelumnya perlu membahas struktur perempuan secara umum dalam konstektual India. India mengenal 4 kasta, dari yang tertinggi sampai terendah: Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra. Namun, di India masih terdapat orang yang berada diluar dari 4 kasta tersebut, seperti Kaum Dalith. Sebenarnya pemerintah telah mengupayakan perubahan dan perbaikan bagi kaum Dalith, seperti penambahan kuota di perguruan tinggi dan lapangan pekerjaan, namunmasih terhalang dengan tradisi tersebut.

Dalith, sebagai sebuah kasta seperti “terlempar” dari 4 hirarki kasta utama. Belum ada data yang menjelaskan seberapa besar perempuan dari kasta Dalith yang bekerja di sektor industri garmen. Namun hal ini sudah menjelaskan bahwa kerentanan dan kekerasan seksual yang dimilikinya lebih besar dari perempuan lainnya. Selama ini meskipun kekerasan seksual kerap terjadi, namun tabu untuk dibicarakan.

Walaupun jumlah pekerja perempuan di sektor garmen cukup besar, bahkan sampai 90% di India Selatan, namun tetap saja tidak banyak yang duduk sebagai supervisor. Di India Selatan, sebagian besar pekerja dan pekerja perempuan berasal dari negara bagian Tamil Nadu. Namun baik di India Utara maupun Selatan, kerentanan terhadap pekerja perempuan kerap terjadi.

 

Upaya Preventif Pelecehan Seksual

Setelah diundangkannya UU Pelecehan Seksual pada Pekerja Perempuan di Tempat Kerja, 2013, berbagai upaya preventif telah dilakukan. Upaya preventif seperti workshop bagi para pekerja, dari pencegahan dan penanganan korban yang mengalami kekerasan seksual dengan adanya komite perempuan.

Bahkan, sebuah pabrik di Bangalore sudah membangun komite gender dan kemitraan dengan beberapa ekspert. Komite ini melakukan public hearing dan memberikan laporan kepada pemerintah. Public hearing dilakukan untuk mendengarkan langsung apabila ada pekerja yang upahnya tidak dibayar, upah dibawah minimum, dan apabila ada internal komplain yang dialami perempuan pekerja di industri garmen, maka akan dilanjutkan kepada komite pada tingkat negara bagian.

Komite umumnya terdiri dari pekerja, NGO dan managemen yang merupakan tripartit. Berdasarkan UU, sebuah komite dapat dibentuk apabila sebuah perusahaan memiliki pekerja sebanyak 100-200. Namun, terdapat pabrik garmen yang tetap membentuk Komite walaupun jumlah karyawannya hanya 67 orang. Pabrik tersebut juga melakukan kampanye anti pelecehan seksual di pabriknya, sehingga tetap menjalankan mandat dan undang-undang yang diberlakukan. Komite juga melakukan penyuluhan kepada segenap pekerja mengenai apa saja yang dimaksudkan dengan sexual harrasment.

Untuk mengantisipasi pelecehan seksual di lingkungan pabriknya, Anant, seorang pengusaha muda di India, melaksanakan program global “Her Respect”, terutama terhadap perempuan yang bekerja di frontliner (operator). Selama ini 60 orang di pabriknya dipimpin oleh seorang supervisor laki-laki. Sebagian besar pelecehan seksual ternyata juga bukan karena laki-laki dan perempuan, melainkan juga karena kondisi lingkungan tempat kerja, temperatur pencahayaan, dan lainnya.

 

Tantangan

Sayangnya, data pada tahun 2019 menunjukkan masih belum maksimalnya perlindungan bagi pekerja perempuan yang mengalami pelecehan seksual. Setelah 6 tahun berjalannya undang-undang Sexual Harrasment di India, dari sekitar 8000 pekerja, hanya ada 2 pekerja perempuan menyatakan pernah menjadi korban. Hal ini dikarenakan masih belum tercipta lingkungan yang aman dan bahkan membuat perempuan menjadi diam, karena kontrol lingkungan yang sangat kuat.

Pada tahun 2014-2019, meskipun undang-undang tersebut sudah ada, namun kerentanan perempuan pekerja justru tidak berkurang. Dari 10 orang perempuan pekerja yang melapor, 8 orang dipecat dan 2 orang mengundurkan diri. Pada tahun 2016, ada sebuah kasus perempuan yang menyatakan protesnya kepada managemen dan akhirnya tidak kembali ikut dalam pertemuan.

Tantangan lainnya, menurut Nandini Rao, seorang feminis India, setelah 7 tahun diberlakukannya Undang Undang Sexual Harrasment di India, masih banyak internal komite, baik anggota eksternal maupun internal yang tidak paham kasus pelecehan seksual yang telah terjadi.

Selain itu, setelah ditemukannya pekerja perempuan yang menjadi korban, maka prosesnya berjalan lambat, sangat rahasia (confidential).  Walaupun demikian, terdapat beberapa pabrik di mana komite telah melaksanakannya dengan baik.

Menurut Nandini, ada beberapa manfaat dan tantangan, setelah diberlakukannya UU Sexual Harrasment di India. Manfaatnya antara lain,  sekarang pada semua tempat kerja (pabrik) membicarakan pelecehan seksual dan kekerasan seksual, semua orang terutama di lingkungan kerja semakin berhati-hati agar tidak melakukannya. Selain itu, meskipun ada beberapa kebijakan yang tidak dilaksanakan, tetapi sudah terbentuk komite yang sah di setiap pabrik.

Adpaun tantangannya antara lain, internal komite yang sudah ada lebih kuat sehingga pihak  manajemen tidak dapat melakukan intervensi. Selain itu, masih ada pemahaman bahwa “women difficult people”, sehingga masih banyak perusahaan/ pabrik yang tidak menerima perempuan sebagai pekerja.

 

Perlu Dioptimalkan

Berdasarkan  penelusuran penulis selama sepekan menyimak pengetahuan dan pengalaman India setelah adanya Undang Undang Sexual Harrasment, penulis menyimpulkan ternyata tetap saja tidak ada proteksi optimal terhadap pekerja perempuan yang menjadi korban. Selama ini yang berlaku adalah mekanisme proses internal komite di perusahaan yang memberikan rekomendasi kepada perusahaan tersebut, dan perusahaan tersebut menganjurkan agar pekerja perempuan yang menjadi korban untuk mengambil cuti. Padahal bukan itu solusi yang sebenarnya.

Sementara itu, penulis mencatat terdapat beberapa kasus yang pada akhirnya berimbas positif terhadap pembangunan mekanisme dalam penanganan pelecehan seksual yang dialami oleh pekerja perempuan yang menjadi korban. Mekanisme ini tersedia melalui kementerian perempuan dan anak, dengan disediakannya “one stop center”. Mekanisme yang positif ini dapat dilakukan pada negara bagian yang lain.

Sebagai penutup, India telah memiliki The Sexual Harassment of Women at Workplace (Prevention, Prohibition and Redressal), yang telah berlangsung 7 tahun hingga sekarang. Dengan diberlakukannya UU tersebut, maka telah terdapat komite pada setiap pabrik yang di antara tugasnya adalah menangani pelaporan dari pekerja perempuan yang mengalami pelecehan seksual.

 

Chrismanto Pangihutan Purba

Badan Pekerja Komnas Perempuan

 

(Disarikan dari laporan penulis dalam Study Excursion on Gender Based Violence at The Work Place, diselenggarakan oleh Fair Wear Foundation, pada 26 Januari-1 Februari 2020, di New Delhi, India)

Sumber tulisan dapat diklik di sini

Digiqole ad