Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan (P2PG): Merebut Tafsir Untuk  Penghapusan Kekerasan Berbasis Budaya Terhadap Perempuan

 Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan (P2PG):  Merebut Tafsir Untuk  Penghapusan Kekerasan Berbasis Budaya Terhadap Perempuan

Ilustrasi (JalaStoria.id)

Oleh: Rainy Hutabarat

 

Dalam Bahasa Indonesia, kata sunat sepadan dengan khitan atau potong kulup. Khitan berasal dari bahasa Arab khatana yang berarti memotong,  demikian juga kata kulup (qulup) yang artinya kelopak kulit yang menutupi ujung kelamin laki-laki sebelum dikhitan. Ungkapan potong kulup ditujukan kepada laki-laki.

Menurut para pakar sejarah, tradisi sunat termasuk sunat perempuan (baca: pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan, disingkat P2GP) berasal dari Timur Tengah Kuno dan Afrika seperti bangsa Sumeria, Semit dan Mesir. Referensi terawal tentang sunat berasal dari  tahun 2.400 SM, ditemukan pada relief di pemakaman kuno Saqqara, Mesir,  yang melukiskan suatu praktik medis. Tradisi sunat dipraktikkan dalam masyarakat Israel Kuno sebagaimana tercantum dalam Perjanjian Lama dan agama Islam sebagaimana dinyatakan dalam Al Quran.

Dewasa ini, P2GP dijalankan di  banyak negara Afrika, Timur Tengah, Asia terrmasuk India, Malaysia dan Indonesia. Penelitian terhadap  sejarah sunat perempuan di Indonesia, menemukan praktik tersebut telah dijalankan di beberapa wilayah dan suku-suku bangsa Indonesia sejak abad 18, di wilayah Aceh, Jawa, Gorontalo, Suku Sunda, Suku Bugis, Suku Minangkabau.

FGM atau Pelukaan dan Pemotogan Genitalia Perempuan

Awalnya, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menggunakan istilah yang digunakan pendekatan dalam antropologi budaya, yakni female circumcision (sirkumsisi) yang sepadan sunat laki-laki yakni membuang kelopak kulit yang menutupi ujung kelamin laki-laki sebagai bagian dari siklus kehidupan seseorang (rite the passage). Namun, penggunaan istilah female circumcision justru menempatkan praktik ini sebagai hal yang lazim dan normal karena merupakan bagian dari tradisi dalam budaya dan agama,  sebagaimana sunat laki-laki diterima secara luas dengan dasar kepercayaan kepada ajaran agama.

Tahun 1970-an, para feminis mencatat bahwa praktik sunat perempuan telah berdampak buruk seperti pendarahan yang hebat, infeksi dan masalah penyembuhan luka, masalah buang air kecil, demam, dan   bahkan dapat berlangsung seumur hidup mulai dari pengurangan kenikmatan seksual, trauma yang menghambat tumbuh-kembang karakter seorang anak perempuan, pendarahan yang hebat bahkan juga berakibat kematian sehingga merupakan isu kesehatan sedunia. Di seluruh dunia, terdapat 4 bentuk umum P2GP yakni: (1) Klitoridektomi (clitoridectomy), artinya menghilangkan sebagian atau semua   klitoris dan/atau kulit khatan; (2) Pemotongan (excision), menghilangkan sebagian atau semua klitoris dan labiaminora dengan atau tanpa  memotong labiamayora; (3) Infibulasi (infibulation), memperkecil atau mempersempit lubang vagina kadang-kadang dengan memotong labiaminora dan/atau labiamayora serta klitoris dan menjahit; (4) Prosedur berbahaya (harmful procedures) terhadap alat kelamin perempuan untuk alasan nonmedis seperti melubangi (pricking), menusuk (piercing), memotong (incising),  menggores/menoreh (scraping) dan kauterisasi.  Bertolak dari praktik-praktik P2GP tersebut, para aktivis feminis mengganti  istilah  circumcision dengan mutilation sehingga menjadi female genital mutilation (FGM) atau female genital cutting untuk menggarisbawahi adanya kekerasan  dan penyiksaan terhadap perempuan dan anak perempuan, juga pelanggaran hak asasi perempuan.

Sejak 1990, istilah   FGM diterima secara luas dan PBB mendefinisikannya sebagai semua prosedur penghilangan sebagian atau seluruh bagian luar genitalia atau pelukaan organ-organ genital perempuan dengan alasan-alasan non medis. Istilah ini tentu saja tak serta merta diterima terutama oleh masyarakat yang menjalankan mutilasi genitalia perempuan berdasarkan keyakinan dan norma-norma budaya-agama sebab kata mutilasi dipandang bertentangan arti dan tujuan praktik tersebut.

UNICEF mencatat sepanjang 2020, sekurangnya 200 juta anak perempuan dan perempuan berusia 15-49 tahun dari 31 negara mengalami pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan. Bahkan banyak dilakukan terhadap anak perempuan di bawah usia 5 tahun, sehingga  P2GP dilakukan tanpa persetujuan perempuan bersangkutan. Ahli medis mengatakan tak ada manfaat apa pun dari P2GP bagi perempuan. Sebaliknya, P2GP berakibat berkurangnya kenikmatan seksual, kemandulan, bekas luka pada kelamin, trauma sepanjang hidup dan kematian.

Berdasarkan kajian kekerasan terhadap perempuan berbasis budaya (2012) dan  kajian praktik-praktik P2GP di 17 kabupaten/kota dari 10 provinsi (2018), dan sejalan dengan penggunaan istilah female genital mutilation (FGM) oleh PBB, Komnas Perempuan menggunakan istilah “pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan”, disingkat P2GP. Kata sunat perempuan yang menormalisasi dan/atau melegalisasi P2GP atas dasar agama dihindari dan meletakkannya sebagai perbuatan kekerasan dan pelanggaran hak asasi perempuan. Dengan istilah female genital mutilation atau pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan, para  pegiat penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia telah merebut tafsir kata sunat atau circumcision dengan ungkapan yang menggambarkan pengalaman kekerasan yang dialami perempuan dan menempatkannya sebagai praktik kekerasan berbasis budaya.

Penghapusan P2GP di seluruh dunia merupakan salah tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Bahasa merupakan salah alat memutus rantai pewarisan praktik “sunat perempuan” kepada generasi-generasi selanjutnya dengan menggantikannya dengan sebutan pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan (P2GP). Beberapa kamus bahasa Inggris memadankan female genital mutilation di antaranya  dengan female circumsion.  Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa belum memiliki entri yang setara dengan P2GP. Media massa pun umumnya menggunakan kata sunat perempuan. Gerakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan juga membutuhkan dukungan bahasa yang tidak mengaburkan atau menghilangkan dimensi pengalaman kekerasan itu sendiri.

 

Komisioner Komnas Perempuan

 

Sumber:

www.who.int.

www.unfpa.org

Jewel Llamas, The History, The Current Prevalence and the Approach to a Patient, med.virginia.edu 2017/01.

Digiqole ad