Mengenal Perbudakan Seksual: “12 Tahun Yang Hilang”

 Mengenal Perbudakan Seksual: “12 Tahun Yang Hilang”

Oleh: Siti Aminah Tardi

 

“Aku kaget dan bingung…saat masuk umurku 16 tahun, saat keluar umurku sudah 24 tahun. Aku masih merasa remaja…tapi begitu keluar umurku sudah segini, ada anak … aku bingung mau bekerja apa ? aku tidak memiliki keterampilan apapun… “

Seorang penyintas, mencurahkan perasaan atas kasus yang menimpanya. Ketika ia remaja berusia 16 tahun, ia dijanjikan akan diorbitkan menjadi artis ternama oleh pelaku yang memang memiliki usaha talent manajement. Untuk menggapainya, ia dibujuk untuk tinggal di semacam padepokan yang dikelola pelaku. Namun, pelaku mendoktrin korban dengan menggunakan ayat-ayat kitab suci, menjadikan korban bingung tentang hal-hal yang salah dan benar, juga hal-hal yang berdosa dan tidak berdosa.

Pelaku memaksa korban menggunakan narkoba sebelum berhubungan seksual. Atas perkosaan yang dilakukannya, pelaku memanipulasi bahwa pelaku kerasukan orang lain yang bukan dirinya dan mereka sudah menikah siri sehingga tidak berdosa. Kondisi ini menyebabkan korban hamil, kemudian atas perintah pelaku, kehamilannya dihentikan (aborsi), hanya satu kehamilan yang dilanjutkan dan melahirkan seorang anak. Dengan kekerasan seksual yang demikian, dan dibangun ketakutan dan ketergantungan atas narkoba, ia dan keluarga menjadi tidak berdaya untuk keluar dari situasi kekerasan. Kehidupan dan ruang geraknya berada di bawah kontrol pelaku. Ketika pelaku ditangkap karena kepemilikan narkoba, ia dapat kembali kepada keluarganya dan saat itu umurnya sudah 24 tahun.

Selama rentang waktu usia 16-24 tahun, ia mengalami apa yang disebut dengan “Perbudakan Seksual”. Kemudian dalam rentang usia 24-28 tahun ia mengikuti proses hukum, di mana hanya ia satu-satunya korban yang melaporkan kekerasan seksual dan mengikuti rehabilitasi untuk melepaskan diri dari ketergantungan narkoba.

Genap 12 tahun ia kehilangan potensi dirinya sebagai seorang anak dan perempuan. Ia kehilangan masa remajanya, kehilangan kesempatan untuk kuliah, kehilangan kesempatan untuk bekerja, dan kehilangan kesempatan bertumbuh menjadi perempuan yang mandiri. Tulisan ini mencoba memperkenalkan tindak pidana perbudakan seksual sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual.

Pengertian dan Pengaturan Perbudakan Seksual

Perbudakan seksual (Sex Slavery) singkatnya didefinisikan sebagai “A criminal activity that involves forced sexual acts upon a person who is usually held hostage as a slave” yaitu kejahatan yang melibatkan pemaksaan hubungan seksual pada seseorang yang biasanya “disandera” atau dibatasi ruang geraknya. Perbudakan seksual juga bisa terkait untuk ritual, kadang-kadang dikaitkan dengan praktik keagamaan tertentu, atau prostitusi paksa. Pergundikan adalah bentuk tradisional perbudakan seksual di banyak budaya, di mana perempuan menghabiskan hidup mereka untuk melayani dalam perbudakan seksual.

Perbudakan seksual juga terjadi di masa konflik atau perang, Perbudakan seksual yang dilembagakan dan pelacuran yang dipaksakan telah didokumentasikan dalam sejumlah perang, terutama Perang Dunia Kedua di antaranya jugun ianfu dan Perang Bosnia. Kini perbudakan seksual terjadi pula di wilayah-wilayah yang dikuasai ISIS, di mana perempuan-perempuan dari berbagai Negara didatangkan dengan alasan keagamaan, namun kemudian ditempatkan untuk melayani tentara ISIS melalui pemaksaan perkawinan atau perkosaan terhadap suatu kelompok etnis yang disandera untuk melayani seksual.

Dengan demikian perbudakan seksual dapat terjadi dalam konteks pelanggaran hak asasi manusia (HAM) Berat dan dalam konteks pelaku individual, seperti yang diilustrasikan dalam kasus di atas. Namun, dalam hukum positif di Indonesia, perbudakan seksual baru diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM), dan belum terdapat pengaturan untuk perbudakan seksual yang dilakukan oleh individu.

Berdasarkan UU Pengadilan HAM, perbudakan seksual dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu “salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:… g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara..”

UU Pengadilan HAM mengatur perbudakan seksual secara terbatas, yakni tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan yang harus memenuhi unsur-unsur: (1) dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas, (2) atau sistematik, (3) yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Pelanggaran HAM Berat terjadi secara sistematis dan meluas menyiratkan bahwa perbuatan itu meliputi adanya perencanaan, terstruktur, terdapat satu komando di dalamnya dan menyasar pada banyak korban dalam satu peristiwa.

Dengan demikian, perbudakan seksual yang tidak terstruktur, sistematis, dan meluas (TSM) tidak dapat dijangkau oleh UU Pengadilan HAM. Seperti ilustrasi kasus di atas, perbuatan pelaku hanya dapat dikenai UU Perlindungan Anak, yaitu melakukan kekerasan seksual pada anak. Jika korban berusia di atas 18 tahun, maka tidak ada aturan hukum yang mampu menjerat pelaku.

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang menjadi inisiatif DPR RI, di antaranya mengatur tindak pidana perbudakan seksual. Pasal 9 RUU mendefinisikan “perbudakan seksual adalah kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk membatasi ruang gerak atau mencabut kebebasan seseorang, dengan tujuan menempatkan orang tersebut melayani kebutuhan seksual dirinya sendiri atau orang lain dalam jangka waktu tertentu”. Kehadiran delik ini dinantikan agar korban seperti dalam ilustrasi di atas mendapatkan jaminan hak atas keadilan dan kebenaran. Maka menjadi tidak beralasan jika ada pihak-pihak yang menolak RUU ini disahkan karena kekeliruan memahami jenis-jenis kekerasan seksual.[]

Pengacara Publik

Ilustrasi: pixabay.com

Digiqole ad