Apakah Pesantren Sudah Aman dari Predator?

 Apakah Pesantren Sudah Aman dari Predator?

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Oleh: Ravika Alvin Puspitasari

Belakangan ini banyak sekali kejadian kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum kiai cabul ataupun jajaran pengelola lembaga pendidikan, baik lembaga formal maupun non-formal seperti pesantren, sekolah swasta ataupun boarding school lain. Mirisnya korban adalah santri atau siswanya. Di mana seharusnya santri di pesantren mendapatkan ruang aman dan mendapat fasilitas keagamaan yang baik namun malah sebalikya, santri mendapat perlakuan tidak wajar dan mengerikan. Dalam kasus ini sedikit demi sedikit masalah kekerasan seksual di pesantren mulai terkuak. Mulai dari pesantren yang ada di Bandung di mana pimpinan pondok pesantren, Herry Wirawan melakukan pemerkosaan hingga korban hamil dan anak pemilik Pondok Pesantren Majma’al Bahroin Hubbul Wathon Minal Iman Shiddiqiyyah Jombang, Mochammad Subchi Azal Tsani alias Gus Bechi.

Seharusnya dengan kejadian tersebut menjadikan oknum kiai cabul atau jajaran pelaku yang belum tertangkap ini ketar-ketir. Tetapi malah sebaliknya, setelah kasus kekerasan seksual meredam di berbagai portal media terdapat salah satu pondok pesantren di Jawa Timur, kiai atau salah satu pemegang pesantren tersebut melakukan hal tidak senonoh kepada santriwatinya. Mirisnya kasus ini tidak terdengar oleh siapapun karena hanya intra pesantren saja yang mengetahui hal ini. Kiai tersebut melakukan percobaan pemerkosaan. Pada keterangan korban, kejadian tersebut terjadi ketika dini hari sebelum sholat subuh. Mengapa korban bisa bertemu dengan kiai? Posisi korban berada dalam status sebagai santriwati ndalem, yang mana santriwati posisinya selalu dekat dengan kiai maupun nyai. Ketika hal itu terjadi menurut korban terdapat dua orang saksi yang melihat kejadian tersebut, yaitu teman korban yang sesama abdi ndalem pesantren. Meskipun terdapat saksi dalam kejadian tersebut santri atau saksi tidak berani membicarakan hal itu kepada siapapun karena memang posisi kiai yang superior.

Tidak lama setelah kejadian tersebut korban langsung speak up. Ia memberitahukan hal itu kepada pengurus pondok pesantren dan kiai yang lain. Di sini terdapat dua kiai atau pengasuh pondok pesantren yang sama-sama memegang kebijakan. Awalnya ketika korban melapor ia mendapat victim blaming dari pelaku. Dalam penjelasannya santrilah yang melakukan hal itu duluan (memancing). Bagaimana mungkin santriwati mempunyai keberanian untuk melakukan hal tersebut pada kiainya? Saya rasa hal itu sangat mustahil dilakukan di pesantren tradisional dan korban sedang melakukan hafalan Al-Qur’an.

Respon pihak pesantren menerima aduan tersebut bagus, meskipun awalnya sulit. Namun ketika aduan sudah masuk, pihak pesantren tidak menindaklanjuti kasus tersebut, bahkan keberadaan oknum kiai cabul tersebut sampai sekarang masih aman-aman saja. Kasus tersebut tidak ditindaklanjuti karena memang pihak pesantren ingin melindungi nama baiknya. Sebab kasus serupa juga sudah pernah terjadi sebelumnya.

Baca Juga: Kekerasan pada Pendamping Korban Kekerasan Seksual di Pesantren

Bahkan oknum kiai cabul itu tidak mendapat sanksi sosial apapun. Jika kembali pada kejadian yang lampau, kiai tersebut mempunyai track record buruk. Dulu kiai itu juga mempunyai kasus serupa dengan sekarang. Korbannya malah dinikahkan dengan kiai tersebut, sehingga ia mempunyai dua orang istri. Secara tidak langsung pihak pesantren menormalisasi kejadian pelecehan seksual itu.

Lalu pada kejadian yang masih berulang itu, menjadikan saya berpikir apakah pembelajaran pelaku ‘kiai’ mengenai Islam hanya sampai permukaan? Padahal, dalam Islam perempuan begitu tingginya dimuliakan, namun mengapa seorang pemuka agama malah melakukan hal yang jelas-jelas cabul? Mungkin perspektifnya terkait gender secara Islam sangat dangkal. Memposisikan perempuan hanya sebagai objek, yang mana masyarakat pada zaman dulu sesukanya menyetubuhi perempuan, baik disetubuhi oleh ayahnya, saudara laki-lakinya bahkan perempuan dianggap sebagai harta yang bisa ditukar dengan barang ataupun untuk pelunasan hutang. Dalam Al-Quran sudah dijelaskan bahwa perempuan itu juga manusia sehingga harus diperlakukan secara manusiawi. Bukan malah sebaliknya, digunakan sebagai alat pemuas.

Salah satu hambatan penanganan kasus kekerasan seksual di lembaga agama ataupun pendidikan tidak terlepas dari doktrin agama yang mana tidak dipahami secara utuh, seperti sabda Nabi yang artinya “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama” (HR. Ahmad dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami). Ini diartikan sebagai ‘kepatuhan total’ atau bentuk taat kepada sosok guru atau kiai. Dengan adanya dalih yang tidak dipahami secara utuh, santri akan menuruti apapun yang diminta oleh kiainya.

Penafsiran yang salah itu kemudian digunakan kiai sebagai alat memperkuat otoritas terhadap santrinya. Memaksa santri patuh dan taat dengan sosok kiai yang lebih superior, mempunyai kapasitas lebih, sekaligus kuasa. Pesantren kerap juga memarginalkan konteks di mana teks-teks Islam itu lahir. Contohnya perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Padahal malah sebaliknya ‘boleh jika ia mampu’. Banyak kiai yang meminta santrinya buru-buru menikah dengan alibi untuk menghindari zina karena buat sebagian dari mereka, menikah sama dengan upaya melegalkan seks. Celakanya lagi, di pesantren, fikih Islam juga kerap dipahami secara tekstual semata.

Terlepas dari peristiwa tersebut korban tidak berani sekaligus tidak tahu harus melapor ke lembaga apa yang bisa melindunginya karena tidak memiliki aspek pengetahuan yang mumpuni, kedudukan sosial korban yang minim, dan tidak akan berani menghadapi ancaman yang diberikan pelaku.

Baca Juga: Cegah Kekerasan Seksual di Sekolah, Kemenag Terbitkan PMA 73/2022

Jika ditelisik lebih jauh, pesantren jarang melakukan sosialisasi penanganan kasus pelecehan seksual ataupun kekerasan seksual. Tetapi untuk kasus ini saya dan komunitas, pernah ingin memberikan sosialisasi tentang consen dan penanganan kasus kekerasan seksual di beberapa pesanten namun tidak mendapat akses atau izin dari pengurusnya. Hal ini yang menjadi kekhawatiran kita semua untuk memilih dan memilah. Belajar dari peristiwa yang sudah terjadi, jika hendak memasukkan anak di pesantren sebaiknya ditelisik dahulu. Bagaimana track record pengajar, apakah ideologi yang ditanamkan baik atau tidak,  apakah lingkungan pesantren baik untuk perkembangan anak atau tidak. Terlepas dari semua itu masih terdapat pesantren-pesantren yang menjadi ruang aman sekaligus menunjang pembelajaran yang bagus. []

 

Perempuan pegiat isu gender, pekerja freelancer conten writer. Bergabung dengan komunitas pegiat isu gender Perempuan Berkisah di wilayah Jawa Timur, divisi Advokasi dan Forum Perempuan Filsafat. Kamu bisa menghubungiku untuk diskusi melalui Instagram @ravikaalvdaroeni__

 

 

 

 

Digiqole ad