Menggugat Virginity Syndrome

 Menggugat Virginity Syndrome

(Sumber: Free.photo/Freepik.com)

Oleh: Uung Hasanah

Keperawanan perempuan selalu menjadi topik kontroversial dan lebih sering disorot dibandingkan keperjakaan laki-laki. Keperawanan sudah dibawa sejak lahir. Perempuan perawan kerap diidentikkan dengan perempuan yang tidak pernah melakukan hubungan seksual sebelum pernikahan. Sebaliknya, kebanyakan masyarakat menganggap perempuan yang tidak perawan berarti pernah melakukan hubungan seksual sebelum pernikahan, baik secara sukarela maupun paksaan (diperkosa).

Mitosnya, perempuan yang tidak perawan pinggulnya besar, jalan mengangkang, payudara membesar dan kendur, dan memiliki hidung pucat. Padahal, keperawanan perempuan tidak bisa dilihat dari bentuk tubuh. Dunia medis juga tidak luput dari perkembangan mitos tersebut. Salah satunya adalah mitos bahwa keperawanan perempuan ditentukan dari robeknya selaput dara.

Dilansir dari Primayahospital.com yang ditinjau oleh dr. Dewi Sri Handayani, Sp.OG,  selaput dara adalah selembar jaringan yang tipis, kecil, dan elastis yang berada di lubang vagina. Secara biologi dan fisiologi, tidak diketahui fungsi selaput dara pada wanita. Selaput dara sebenarnya adalah bagian tubuh yang tersisa dari perkembangan janin pada masa kandungan. Ketika vagina berkontak dengan benda apapun, selaput dara bisa robek karena sifat jaringannya yang sangat tipis. Setiap perempuan memiliki selaput dara dengan bentuk yang berbeda. Namun, beberapa terlahir tanpa selaput dara. Bisa dikatakan selaput dara bukan penanda perempuan perawan atau tidak.

Keperawanan bagi perempuan bukan hanya persoalan biologis. Dalam masyarakat, keperawanan dijadikan indikator moralitas perempuan. Perempuan yang masih perawan sebelum pernikahan merupakan perempuan baik-baik, patuh, dan mampu menjaga diri. Sedangkan perempuan yang tidak perawan dikonotasikan sebaliknya, sebagai perempuan nakal, jalang, dan bukan pasangan yang baik.

Baca Juga: Selaput Dara dan Dampak Kekerasan Seksual pada Anak

Dalam hal keperawanan, perempuan diperlakukan sebagai suatu objek, bukan subjek atas tubuhnya. Konstruksi sosial di masyarakat menuntut perempuan menjaga dengan baik keperawanannya, untuk dipersembahkan kepada suaminya di malam pertama pernikahan. Malam pertama yang berdurasi kurang dari 24 jam menjadi penentu apakah perempuan layak dijadikan pasangan hidup atau tidak. Mengenai kepribadian, kecerdasan, moral, kemampuan dan harga diri perempuan ditentukan oleh penilaian laki-laki atas tubuhnya.

Virginity Syndrome (Sindrom Keperawanan)

Virginity syndrome adalah lagu beraliran hiphop yang dilantunkan oleh grup Osu! Virgin gang pada awal tahun 2021. Tapi pembahasan kali ini bukan soal lagu. Virginity Syndrom atau sindrom keperawanan adalah istilah yang saya pakai untuk menggambarkan karakter seseorang yang menjunjung tinggi keperawanan di atas segala-galanya. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) sindrom berarti himpunan gejala atau tanda yang terjadi serentak, yang muncul bersama-sama, dan menandai ketidaknormalan tertentu; hal-hal seperti emosi atau tindakan yang biasanya secara bersama-sama membentuk pola yang dapat diidentifikasi.

Virginitiy syndrome dapat dilihat dalam tiga persoalan keperawanan. Pertama, keperawanan dijadikan syarat mutlak dalam pernikahan. Jika perempuan yang dinikahi tidak perawan di malam pertama pernikahan, maka suami berhak menceraikannya seketika itu juga. Ukuran keperawanan tersebut kadang kala masih menggunakan mitos yang sama sekali tidak terjamin kebenarannya. Meski pada dasarnya hal tersebut adalah suatu pilihan, namun keputusan yang diambil cenderung merugikan dan mengobjektifikasi perempuan.

Nilai pernikahan terletak pada relasi yang dibangun oleh kedua belah pihak. Jika seorang laki-laki ingin menikahi perempuan, maka perlakukan perempuan tersebut sebagai subjek (pelaku) dalam hubungan. Dengan cara menerima segala masa lalunya dan tidak meletakkan harga diri perempuan pada tubuhnya. Melainkan pada komitmen, prinsip, sikap, karakter, dan nilai diri. Cara pandang menjadikan keperawanan di atas hal esensial tersebut, merupakan gejala dari virginity syndrome.

Kedua, keperawanan dijadikan komoditas pemecah masalah. “Tolong jangan macam-macam! Kamu boleh ambil uangku tapi biarkan aku pergi!…” kalimat ini biasanya diucapkan perempuan ketika ingin dirampok atau diperkosa dalam salah satu adegan film, mungkin juga terjadi di dunia nyata. Kalimat itu mengandung makna bahwa tubuh lebih berharga dibanding uang. Keperawanan bagi perempuan tidak dapat dinilai secara materil, begitu berharga. Tidak seperti uang, keperawanan tidak dapat dicari atau diganti.

Baca Juga: Perempuan Lebih dari Sekedar Hymen

Namun, saking berharganya keperawanan, tidak sedikit fenomena menikahkan anak gadis sebagai pelunasan hutang keluarganya. Seperti yang dialami gadis berusia 15 tahun yang dipaksa menikahi laki-laki berusia 37 tahun karena diduga untuk melunasi hutang judi orang tuanya, dilansir Detik.com (5/4/2016). Ada perbedaan cara menilai harga dari keperawanan. Satu pihak melihatnya sebagai sesuatu yang tak ternilai secara materil, pihak lain menganggapnya sebagai sesuatu yang bisa diperdagangkan. Dalam kasus ini, keperawanan perempuan diperas untuk mendapatkan keuntungan, tanpa mempedulikan pemilik tubuh.

Ketiga, keperawanan sebagai penentu kelas. Hal ini berkaitan dengan konstruk sosial yang menempatkan ukuran moral pada keperawanan. Perempuan perawan adalah baik, sebaliknya perempuan tidak perawan sebelum menikah adalah perempuan yang buruk. Akibatnya, ada kelas sosial antar sesama perempuan dan perempuan dengan masyarakat. Perempuan yang tidak perawan adalah aib dan tidak lebih baik dari yang masih perawan. Hal ini memungkinkan sesama perempuan akan saling menghakimi dan membatasi ruang.

Di mata masyarakat, perempuan yang sudah tidak perawan sebelum menikah dipandang sebelah mata dan dianggap mencemarkan nama baik keluarga. Ketika masyarakat terlalu jauh menilai tubuh perempuan, perempuan akan berada di posisi yang sulit. Misalnya, perempuan yang menjaga keperawanannya tetapi tidak kunjung menikah di kisaran umur 30 tahun ke atas, dilabeli sebagai perawan tua. Lebih parahnya tubuh perempuan disamakan seperti makanan kaleng yang memiliki tanggal kadaluarsa.

Baca Juga: Anak yang Dilacurkan itu AYLA

Keperawanan perempuan yang sangat dijunjung tinggi di masyarakat, tidak berbanding lurus dengan perlindungan atas tubuh perempuan. Di satu sisi, perempuan harus menjaga kesucian dan keperawanannya untuk laki-laki yang akan menjadi suaminya. Tapi di sisi lain, banyak kasus pemerkosaan terjadi. Dilansir dari Katadata.co.id (9/3/2022), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melaporkan kasus kekerasan terhadap perempuan dalam ranah personal yang tercatat di lembaga mencapai 2.363 kasus pada 2021. Kasus perkosaan mendominasi.

Virginity syndrome menempatkan perempuan sebagai objek, keperawanan sebagai ukuran moralitas, menjadikannya sebagai aib, dan tidak memberikan hak perempuan atas tubuhnya sendiri. Menjadi perawan atau tidak perawan adalah hak perempuan. Nilai perempuan ditentukan oleh dirinya sendiri. Kepribadian, sifat, keahlian, kemampuan dan pemikiran perempuan adalah hal yang belum bisa dijangkau virginity syndrome.[]

 

*Mahasiswa Pascasarjana ini menerbitkan buku pertamanya “Menggugat Feminisme” dengan nama pena Uunk Crispy

 

Digiqole ad