Anak yang Dilacurkan itu AYLA
Film dokumenter animasi berjudul “Anak Yang Dilacurkan” mengajak penonton mengenal lebih jauh tentang AYLA. Film pendek berdurasi 15:36 menit produksi Anatman Pictures menunjukkan betapa AYLA (Anak yang Dilacurkan) memiliki latar belakang yang kompleks.
Pengakuan sejumlah AYLA menyebut mereka berasal dari keluarga yang tidak menghargai keberadaannya sebagai anak. Seorang AYLA bernama Putri misalnya, dia bersama adiknya ditinggal orang tuanya yang bercerai. Mereka berdua dititipkan kepada neneknya. Tanpa niat dan tidak ada pilihan, Putri menjadi AYLA demi memenuhi kebutuhan ekonomi adiknya.
“Kadang aku juga kepengen kayak anak seusia aku yang masih ada mamanya. Aku juga pengen si dipeluk,” tutur Putri dengan suara terisak.
Seorang AYLA lain bernama Rafi memiliki latar belakang serupa. Orang tua Rafi bercerai dan sibuk dengan kegiatan masing-masing. Perpisahan itu memperburuk kondisi Rafi. Dia merasa tidak terima dengan perceraian orang tuanya dan memilih keluar sekolah saat kelas 1 SMP. Rafi mengaku pasca bercerai kedua orang tuanya semakin tidak peduli. Dari sini Rafi mulai terperangkap dalam pergaulan orang dewasa.
“Sering banget ketemu dengan cewek. Awalnya di bar itu misalkan nemenin minum, terus ditawarlah, Itu sering banget kayak gitu, sampai booking segala macem,” ungkap Rafi dengan nada bergetar.
Siapa AYLA?
Dalam film tersebut, Direktur Konfederasi Anti Pemiskinan (KAP) Indonesia Bambang Y Sundayana mengatakan, kantong kemiskinan di kota besar rentan menimbulkan praktik anak yang dilacurkan. Pemukiman padat dengan populasi penghuni rumah yang berdesakan membuat rumah menjadi ruang yang tidak nyaman bagi anak.
“Ruang tempat tinggal rumah petak yang ukurannya mungkin 3×6 atau bisa lebih kecil tapi di situ ada 3 rumah tangga, penghuninya lebih dari 6 jiwa. Ini menyebabkan mereka lebih senang beraktivitas di luar rumah,” kata Bambang.
Baca Juga: Kerangka Hukum Perlindungan Anak di Indonesia
Situasi akan semakin memburuk saat anak tak bisa memenuhi harapan orang tua. Anak akan terus disalahkan dan dilabeli sebagai anak nakal sehingga orang tua merasa tak perlu mengapresiasi perbuatan anak.
UNICEF mendefinisikan pelacuran anak (child prostitution) sebagai tindakan menggunakan atau menawarkan jasa seksual anak oleh seseorang atau orang lain untuk mendapatkan uang atau imbalan lain. Menggunakan istilah Anak yang dilacurkan (AYLA) jauh lebih baik ketimbang pelacur anak. Istilah ini digunakan karena anak merupakan korban Eksploitasi Seksual Komersil Anak (ESKA).
Mengacu dari film tersebut, anak yang dilacurkan (AYLA) adalah anak yang kehilangan identitas, pendidikan, keluarga, lingkungan, dan kebutuhan melekat lainnya. AYLA merupakan anak yang kehilangan atribut keluarga, dianggap nakal, dan tidak layak dijadikan teman. Padahal, mereka tetaplah anak. Deklarasi Hak-Hak Anak menyatakan mereka yang berusia di bawah 18 tahun masih memerlukan perlindungan dan perawatan khusus lantaran ketidakmatangan fisik dan mentalnya.
AYLA, Fenomena Nyata
ECPAT Indonesia mencatat, 404 anak menjadi korban ESKA sepanjang 2017. Mereka mayoritas anak perempuan (223 anak). Sisanya adalah anak laki-laki (117 anak). Khusus kasus anak korban prostitusi online terdapat 44 anak. 40 anak lainnya menjadi anak yang dilacurkan.
Baca Juga:Suara Anak: Beri Kami Kesempatan dan Stop Jadikan Kami Dekorasi
Catatan lain menunjukkan fenomena AYLA masih mengemuka. Sepanjang 2016 hingga Juni 2020, dari 926 permohonan perlindungan terhadap anak yang masuk ke LPSK, terdapat 106 anak menjadi korban eksploitasi perdagangan seksual.
Dalam hal AYLA, LPSK mencatat mereka berasal dari Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan DKI Jakarta. Temuan lainnya adalah mayoritas AYLA tidak menamatkan pendidikan dasar 12 tahun.
LPSK mengungkap alasan anak yang dilacurkan hanya ingin bekerja. Informasi kesempatan kerja biasanya berasal dari teman, media sosial, kerabat, dan agen/perekrut. Iming-iming berpenghasilan memadai dengan jenis pekerjaan yang ditawarkan seperti pramusaji cafe/restoran, pemandu lagu karaoke, dan penjaga toko.
Realitanya, mereka dieksploitasi. Dipaksa melayani 10 tamu per hari, dipaksa mengkonsumsi kontrasepsi agar bisa dieksploitasi terus menerus oleh perekrut/mucikari.
Hapus Stigma, Temani AYLA
AYLA bisa ditemukan di mana saja baik di desa maupun di kota. AYLA adalah korban industri pelacuran seks global. Jones (2009) dalam Bagong, dkk (2020) menemukan AYLA adalah korban stigmatisasi publik yang mendiskriminasi mereka sebagai anak yang tidak perawan lagi. Stigma ini tentu menyulitkan mereka untuk keluar dari industri prostitusi. Lalu, bagaimana cara menemani AYLA?
Baca Juga: Pendidikan Seks untuk Anak Usia Dini
AYLA tetaplah seorang anak yang juga pemangku hak (rights holder). Ini berarti setiap anak berhak atas apa yang menjadi kewajiban negara dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi haknya sebagai anak, termasuk kepada AYLA.
Dalam video dokumenter animasi berjudul “Anak Yang Dilacurkan” pendamping AYLA di Bandung Neni Sumiati terbuka menemani keluh kesah mereka. Berperan sebagai pengasuh alternatif, Neni memberikan kasih sayang kepada AYLA dengan membiarkannya menangis di pangkuan, menumpahkan semua rasa dan kecemasannya. Neni juga berperan sebagai fasilitator AYLA, menggali kreatifitas dan minat bakat mereka.
Ada juga bidan puskesmas bernama Detianingsih. Dia adalah petugas kesehatan pendamping AYLA. Bermula dari AYLA yang cenderung menutup diri perihal keluhan pada kesehatan reproduksinya, Detianingsih mulai memberikan pelayanan kesehatan bagi AYLA.
“WhatsApp saya 24 jam karena mereka hidupnya malam sampai subuh. Jam berapapun mereka datang ke kita, kita layani. Buat mereka jalurnya ‘tol’ aja. Jadi mereka tidak duduk dulu di depan menunggu antrian tapi langsung ke ruang konseling. Ini yang akhirnya membuat mereka tidak takut kelihatan sama tetangga, saudara atau temen-temannya. Walaupun saya tidak merubah pola prilaku mereka, tapi saya sedikitnya bisa memberikan ilmu tentang kesehatan reproduksi ke mereka,” terang Detianingsih dengan penuh semangat.
Detianingsih bahkan tak surut meski tentangan muncul dari rekan profesinya. Dia paham betul pada kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai tenaga kesehatan yang memang seharusnya menemani AYLA.
“Di dalam Puskesmas kami sendiri ada bentrokan. Ngapain sih ngurusin yang begituan. (Tapi) Saya tidak boleh membenarkan anak itu melakukan hubungan seks di luar nikah. Tapi kalau saya membiarkan, anak itu kasihan,” kata Detianingsih.
***
Film dokumenter Anak yang Dilacurkan ini bisa jadi referensi bagi penggerak isu anak, tenaga kesehatan, penyedia layanan lain, bahkan teman sebaya untuk ikut mengambil peran. Dari film tersebut mengajak anak lain yang sebaya untuk mau berteman dengan AYLA, mau membantu AYLA melapor saat mengalami kekerasan. Film ini juga menjadi renungan orang tua untuk mulai menerapkan pengasuhan dengan perspektif anak. [Nur Azizah]
Sumber:
https://www.youtube.com/watch?v=AUrgR6vQUTs diakses pada 19 Juli 2022
https://www.unicef.org/child-rights-convention/convention-text diakses pada 19 Juli 2022
https://ecpatindonesia.org/berita/catatan-ecpat-indonesia-tahun-2017-404-anak-menjadi-korban-eska/ diakses pada 19 Juli 2022
https://lpsk.go.id/berita/detailpersrelease/3214 diakses pada 19 Juli 2022
Bagong Suyanto, dkk (2020). Sexual Exploitation and Violence of Prostituted Children. Diakses pada 19 Juli 2022 dari Researchgate.com