Penelantaran Rumah Tangga dalam Putusan Pengadilan

 Penelantaran Rumah Tangga dalam Putusan Pengadilan

Perkara penelantaran rumah tangga sekalipun sampai ke tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan, belum tentu berakhir dengan putusan yang adil bagi korban. Hal ini setidaknya terlihat dari penelusuran yang dilakukan oleh penulis bulan Oktober 2019 melalui Direktori Putusan Mahkamah Agung.

Berdasarkan penelusuran, setidaknya di Pengadilan Militer Surabaya terdapat 4 kasus penelantaran dalam rumah tangga. Tiga di antaranya masih belum diputus di tingkat Mahkamah Agung (belum inkracht) dan satu kasus sudah diputus/inkracht.

Selanjutnya penulis melakukan penelaahan terhadap salah satu kasus yaitu kasus dengan Putusan Nomor: 20-K/PMT.III/BDG/AD/II/2016 menyatakan Terdakwa bersalah karena terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: “Menelantarkan isteri dan anaknya”. Majelis hakim menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan dengan masa percobaan 10 (sepuluh) bulan.

Terhadap putusan Majelis Hakim tersebut, Oditur Miiter mengajukan banding karena putusan tersebut sangat jauh dari tuntutan Oditur yang menuntut Terdakwa dengan tuntutan pidana 10 bulan penjara. Sayangnya, dalam putusan di tingkat banding, Pengadilan Tinggi Surabaya menguatkan putusan Pengadilan Militer Surabaya.

Yang perlu dilihat dari kasus ini adalah keberatan Oditur militer yang dituangkan dalam memori banding yang pada intinya menyatakan bahwa putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama kurang tepat menilai fakta hukum sehingga cenderung menerapkan hukum yang sama dalam perkara yang sama padahal tidak semua perkara sama. Selanjutnya Oditur Militer juga menilai penjatuhan pidana percobaan terhadap Terdakwa kurang tepat karena tidak mencerminkan rasa keadilan.

Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Tingkat Banding berpendapat bahwa Majelis Hakim Tingkat Pertama sudah tepat dan benar dalam menjatuhkan hukuman terhadap Terdakwa yaitu berupa pidana percobaan karena pidana bersyarat (percobaan) adalah juga hukuman dan sama sekali bukan suatu pembebasan atau pengampunan. Sedangkan masa percobaan selama waktu tertentu dimaksudkan untuk mendidik agar Terdakwa lebih berhati-hati dan mampu memperbaiki diri sambil Terdakwa dapat melaksanakan tugas pokoknya sebagai seorang prajurit dan Kesatuannya dapat membina serta mengawasi perilaku Terdakwa selama masa percobaan tersebut. Pidana bersyarat ini juga tidak bertentangan dengan kepentingan pembinaan Prajurit di Kesatuan, oleh karena itu menurut pengadilan tingkat banding, putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama tidak bertentangan dengan UU RI Nomor 48 Tahun 2009.

Pertimbangan lainnya menurut hakim tingkat banding bahwa penyusunan putusan sudah didasarkan pada fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan dengan melihat motivasi Terdakwa sehingga melakukan tindak pidana. Selain itu dalam perkara a quo Majelis Hakim sudah berusaha untuk mengembalikan keutuhan rumah tangga Terdakwa sebagaimana tujuan Undang-Undang KDRT yang ingin menyatukan (merukunkan) kembali keluarga yang bermasalah dikarenakan adanya kekerasan dalam rumah tangga, namun semua kembali pada masing-masing pihak dan Majelis Hakim tidak dapat memaksa untuk kembali membina rumah tangga jika memang perkawinan sudah tidak dapat dipertahankan lagi.

Penulis sependapat dengan keberatan yang dikemukakan oleh Oditur militer bahwa pidana percobaan tidak tepat dijatuhkan kepada Terdakwa. Status Terdakwa sebagai prajurit seharusnya bukan menjadi alasan untuk memperingan tetapi memperberat hukuman karena sebagai aparat negara menjadi contoh bagi masyarakat.

Selain itu, jika pertimbangan hakim adalah untuk menyatukan kembali rumah tangga seharusnya hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa konseling sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 UU PKDRT, dan tidak sekedar menyerahkan pembinaan pada kesatuannya. Walaupun demikian, tidak adanya penjatuhan pidana tambahan berupa konseling masih dapat dimaklumi karena belum adanya peraturan teknis yang mengatur tata cara pelaksanaan pidana tambahan ini.

Ilustrasi: Pixabay.com

Dian Puspitasari
Mahasiswa Magister Hukum Universitas Semarang, Direktur LRC-KJHAM Semarang tahun 2016 – 2018

====

Tulisan ini merupakan bagian terakhir dari tulisan panjang penulis tentang penelantaran rumah tangga.

Digiqole ad