Kisah Perubahan tentang Kekerasan Seksual di Sektor Pariwisata (Bagian 2)

 Kisah Perubahan tentang Kekerasan Seksual di Sektor Pariwisata (Bagian 2)

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Oleh: Meira Fenderissa

Kekerasan seksual masih sulit dibicarakan. Kekerasan seksual terkadang dianggap bukan masalah yang besar. Saya ingin cerita sedikit sebelum saya menceritakan perspektif saya sebagai anak muda yang terlibat di dunia pariwisata. Sebelumnya, saya ini sama sekali tidak tahu apa itu bentuk eksploitasi seksual, apa itu kekerasan seksual. Bentuknya seperti apa saja saya  enggak tahu. Tapi di tahun 2021 tepat saat saya masih berkuliah di semester 5, saya ketemu salah satu program yang menarik sekali dari Women in Tourism Indonesia (WTID) tentang pelatihan bagi anak-anak muda seputar pariwisata. Di dalam kurikulumnya, dalam coursenya ini kita membahas tentang kekerasan seksual.

Mengkonfirmasi Pengalaman

Meminjam presentasi founder WTID tentang harrasment in tourism. Saya akan berbicara sedikit tentang posisi saya saat itu sebagai anak magang. Anak muda yang baru masuk di dunia pariwisata.

Pertama terdapat high power yaitu guest dan host. Yang mana terjadinya ada pertemuan dari tamu menimbulkan power dependence relation. Di sanalah terjadi ketidaksetaraan atau ketimpangan di mana di situ saya sebagai staff, sebagai bagian dari host, saya harus memberikan pelayanan terbaik untuk menuju customer satisfaction dan ada tekanan juga dari power relation ini (abuse of power). Maka, muncullah power of relation di mana turis atau guest menekan karyawan bahwa mereka perlu dilayani sebaik mungkin. Semua permintaannya harus dipenuhi secara sempurna. Ada juga power of relation relasi kuasa yang bersfat dari koordinator ke subordinat, dari atasan ke karyawan.

Selain dua power dependence relation yang saya hadapi saat itu saya memiliki tekanan luar biasa dari sekolah. Mewanti pokoknya kalau kamu bermasalah di tempat kerjamu itu masalahnya akan merembet ke adik kelasmu tidak dapat tempat magang lagi atau pemutusan kontrak dan nama baik sekolah tercemar. Jadi itulah yang akhirnya membuat saya lebih baik diam karena konsekuensinya ketika saya berbicara atau mengutarakan kejadian yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kekerasan seksual yang ada kita, korban, yang malah disalahkan.

Saya melihat teman seangkatan saya yang sudah duluan PKL mengalami hal kekerasan seksual yang menurut saya cukup traumatis.  Yang ada anak tersebut mendapatkan perundungan di sekolah. Perundungan dari guru yang memandang, “Kamu sangat rendah sekali. “Kamu di situ tu magang, belajar, kerja, tidak seharusnya kamu melakukan hal tersebut. Sementara pandangan saya, sekolah belum mendengar apa yang sebenarnya terjadi sampai anak tersebut mendapatkan kekerasan seksual. Apa upaya dia. Seperti apa kondisi dia saat itu kita tidak tahu. Tapi yang ada anaknya langsung dijudge, dipojokkan sampai akhirnya memutuskan keluar sekolah.

Baca juga: Kisah Perubahan tentang Kekerasan Seksual di Sektor Pariwisata (Bagian 1)

Atau sering terjadi juga ketika sekolah merasa nama baiknya tercoreng, hubungan yang sudah tidak enak dengan partner instansi perusahaan ini, akhirnya anaknya diberi pilihan untuk keluar dari sekolah dan itu sering sekali. Inilah yang menjadikan anak-anak itu merasa lebih baik diam saja. Selagi ini masih bisa ditahan, masih bisa dihadapi dan dipendam sendiri lebih baik dipendam. Inilah yang sangat disayangkan dan sangat menyedihkan.

Kalau berbicara permasalahan perempuan di sektor pariwisata tentu banyak. Persoalan kesenjangan ekonomi, lingkungan terancam, proteksi, kesehatan, dan masih banyak lagi.

Dari Sini Akar Itu Menguat

Ini materi yang saya dapatkan dalam WTID tahun lalu. Tapi di sini saya akan lebih membahas akar permasalahan yang ada pada kekerasan seksual yang terjadi di industri pariwisata.

Pertama, dari pengalaman dan perspektif saya. Sebagai anak muda saat itu minim sekali pengetahuan kita tentang bentuk-bentuk kekerasan seksual. Kita juga tidak tahu dan tidak diajarkan bagaimana caranya melindungi diri dari kejadian kekerasan seksual.

Yang kedua, perusahaan dan sekolah sebenarnya bisa jadi tidak tahu bentuk kekerasan seksual dan bagaimana cara menangani kasus kekerasan seksual. Termasuk bagaimana caranya membentuk regulasi berupa standar aturan pencegahan kekerasan seksual. Kadang ketika ada kejadian kekerasan seksual akhirnya orang-orang lebih “Ya udah kamu lebih baik diam.” “Kita damai aja, supaya nama baik kedua instansi ini tidak tercoreng. Supaya orang-orang enggak tahu. Supaya nanti LSM enggak perlu datang ke sekolah. Nanti nama baik sekolah jelek.” Itu kan merupakan hasil dari ketidaksiapan instansi dan sekolah dalam menangani kasus kekerasan seksual.

Baca Juga: Ketika Laki-Laki Bicara Perempuan Korban Kekerasan

Ketiga, bias customer satisfaction pada industri pariwisata. Saya pribadi waktu saya magang saya enggak tahu sampai mana sih batasan customer satisfaction pada industri pariwisata. Apakah bener-bener kita harus memaksimalkan, meminggirkan hak dan kewajiban kita sebagai pelaku usaha industri pariwisata.

Keempat, struktur sosial yang masih menganggap kejadian kekerasan seksual adalah aib dan sebaiknya dilupakan, tidak perlu dibahas. Ini akar masalah terbesar yang banyak diantara kita masih berkata oh iya ini aib.” Lebih baik kita diam saja. Tutup rapat-rapat saja. Lebih baik memaafkan. Lebih baik berdamai. Padahal harusnya dibahas dan diselesaikan. Harusnya pelaku juga tidak kita maafkan dan biarkan begitu saja. Kita kan enggak pernah tahu apa yang akan terjadi dan dilakukan lagi oleh pelaku.

Kelima, normalisasi bentuk lelucon bernada seksis. Ketika saya lapor pasti ujung-ujungnya, “Itu tu mereka cuman becanda biasa kok kamu baper banget sih. Kamu berlebihan. Kamu kan enggak diapa-apain.” Perkataan semacam itu selalu menjadi hal yang dianggap normal. Ah, laki-laki pasti begitu becandanya. Nanti kalau kamu udah besar juga becandanya kayak gitu. Lelucon seksis itu justru hal-hal yang dinormalkan. Padahal catcalling merupakan awal mula terjadinya kekerasan seksual lain.

Keenam, tidak ada regulasi dan tempat pengaduan yang jelas untuk melindungi penyintas kekerasan seksual sehingga banyak diantaranya memilih bungkam. Seperti yang saya katakan tadi, saya enggak tahu mau mengadu ke siapa, ngomong ke siapa, lapor ke mana, tahapannya seperti apa. Kalaupun saya mengadu dan dibela pun belum tentu keselamatan saya terjamin karena bisa jadi saya masih mendapat ancaman dari pelaku. Jadi, akhirnya ketika kita mendapatkan hal ini reaksi kita berbeda-beda dan kita enggak tahu harus lapor ke mana dan akhirnya tidak terselesaikan.

Ketujuh, paling utama relasi kuasa yang masih sangat mempengaruhi terjadinya kekerasan seksual.

Perubahan Itu Sungguh Nyata

Sebagai anak muda solusi apa yang kami harapkan? Mungkin ini dari perspektif saya pribadi. Dari beberapa obrolan yang saya dapatkan dari teman-teman saat ikut WTID Camp.

Saya bener-bener baru memahami tentang kekerasan seksual ketika saya mendapatkan course tentang kekerasan seksual saat WTID Camp. Saya bener-bener baru terbuka kalau ternyata pelecehan seksual itu termasuk kekerasan seksual. Apa yang saya alami dan mengapa saat itu saya merasa enggak nyaman karena saat itu saya sedang mengalami pelecehan. Ini merupakan kali pertama saya mendapatkan pendidikan pencegahan kekerasan seksual di WTID Camp. Yang mana sebelumnya, waktu saya sekolah SMK dan lulus, ini hampir tidak pernah saya dapatkan. Jadi, pertama, penting banget pendidikan dan harus mulai diterapkan di sektor pendidikan bahkan di pariwisata.

Baca Juga: UU TPKS Ajak Korban Kekerasan Seksual Berani Lapor

Kita sangat butuh kesadaran bersama. Awal-awal saya sebelum ikut WTID Camp saya enggak tahu kalau ini bentuk kekerasan seksual. Tapi ketika saya sadar, saya sebisa mungkin mengingatkan teman-teman dan orang-orang sekitar saya untuk sama-sama aware dan sama-sama mencegah adanya bentuk kekerasan seksual baik pelecehan verbal maupun fisik.

Harus kita ingat pula bahwa kejadian kekerasan seksual bukanlah aib yang sebaiknya dilupakan atau tidak perlu dibahas. Kekerasan seksual adalah hal yang harus dicegah dan ditindak tegas.

Kedua, customer satisfaction tidak boleh melanggar hak pekerja untuk merasa aman dan terbebas dari bentuk kekerasan seksual. Ketiga, yang harus kita ingatkan pada diri sendiri dan lingkungan kita bahwa lelucon seksis dan mengandung seksual termasuk catcalling adalah bentuk tindak pidana kekerasan seksual.

Selain menerapkan pendidikan mengenai pencegahan kekerasan seksual baik sekolah maupun perguruan tinggi yang akan mengirimkan anak-anaknya magang PKL di instansi atau perusahaan lain sebaiknya ada Memorandum of Understanding (MoU) sekolah dengan instansi perusahaan. Bagaimana tahapan, regulasi,  sanksi, dan aturan yang harus dipatuhi oleh seluruh pihak ketika terjadi kekerasan seksual pada anak magang.

Memberikan perlindungan untuk mengupayakan industri pariwisata menjadi tempat ramah bagi laki-laki, perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, dan lansia adalah sebuah keharusan yang harus dibentuk bersama-sama.

Mari kita sama-sama bergerak bersama-sama mewujudkan dan mengupayakan hal-hal untuk mendukung industri pariwisata agar menjadi tempat yang lebih ramah lagi. Saya pribadi masih banyak belajar untuk mendalami dan menemukan formula terbaik untuk mengatasi dan mencegah kekerasan seksual. Begitu juga teman-teman di WTID. Dan saya sangat berharap ketika berkolaborasi akan semakin banyak lagi hal-hal yang bisa dirumuskan bersama, dipelajari bersama, dan dibangun bersama-sama.

 

Best Graduate WTID Camp 2021 dan aktif sebagai Co-Initiator Perempuan lestari, sebuah komunitas penggerak local womenpreneur, dan tengah fokus belajar mengenai Wellness Tourism & Gender Equality

 

*Tulisan ini diramu dari pernyataan dan paparan Meira Fenderissa (narasumber) dalam Webinar WTID X ECPAT: Pencegahan Eksploitasi Seksual Anak dan Anak Muda di Sektor Pariwisata, 25 Juli 2022, atas izin narasumber

Digiqole ad