Kisah Perubahan tentang Kekerasan Seksual di Sektor Pariwisata (Bagian 1)
Oleh: Meira Fenderissa
Kekerasan seksual masih sulit dibicarakan. Kekerasan seksual terkadang dianggap bukan masalah yang besar. Saya ingin cerita sedikit sebelum saya menceritakan perspektif saya sebagai anak muda yang terlibat di dunia pariwisata. Sebelumnya, saya ini sama sekali tidak tahu apa itu bentuk eksploitasi seksual, apa itu kekerasan seksual. Bentuknya seperti apa saja saya enggak tahu. Tapi di tahun 2021 tepat saat saya masih berkuliah di semester 5, saya ketemu salah satu program yang menarik sekali dari Women in Tourism Indonesia (WTID) tentang pelatihan bagi anak-anak muda seputar pariwisata. Di dalam kurikulumnya, dalam coursenya ini kita membahas tentang kekerasan seksual.
Di situlah saya baru menyadari bahwa semua orang belum semuanya benar-benar paham dan tahu tentang kekerasan seksual. Bahkan saya pun baru menyadari kalau saya mengalami bentuk kekerasan seksual seperti pelecehan seksual secara verbal ataupun pelecehan seksual bentuk lainnya itu setelah 4 tahun kejadian itu berlalu. Saya baru pertama kali menceritakan apa yang saya alami itu di WTID Camp ini. Mungkin ini adalah kali kedua saya untuk sharing tentang pengalaman saya di dunia pariwisata yang berkaitan dengan kekerasan seksual.
Sebenarnya sedikit sekali media-media atau orang yang membicarakan tentang kekerasan seksual khususnya di dunia pariwisata. Ada beberapa hal yang sedikitnya baru saya temukan baik di YouTube ataupun di kanal-kanal berita lainnya tentang ada yang akhirnya buka suara setelah beberapa tahun ia mendapatkan kekerasan seksual di tempat magangnya di sebuah hotel bintang empat di Jakarta. Tentang bagaimana tempat wisata menjadi rawan kasus kekerasan seksual.
Di sini saya akan bercerita tentang pengalaman saya. Saya cukup on off untuk kerja di industri pariwisata. Tahun 2017, 2018, 2021 saya bekerja di industri pariwisata yang berbeda-beda. Yang pertama kali saya benar-benar merasakan kerja itu adalah di 2017. Saya dapat tugas magang di salah satu biro perjalanan wisata Kota Bandung. 2018 hampir setiap akhir pekan saya pekerja paruh waktu di hotel bintang empat dan lima di sekitar Bandung juga. Terus saya juga kerja paruh waktu di bidang Meeting, Incentive, Convention, Exhibition (MICE), peralihan masa-masa pandemi 2021 kemarin. Lalu hal apa saja yang membekas hingga hari ini?
Pelecehan Verbal yang Menakutkan
Yang paling membekas hingga hari ini selain dari ilmunya, saya ketemu orang baru, memiliki pengalaman baru. Tapi ada hal yang sangat membekas yaitu ketidaknyamanan dan kecemasan. Mengapa demikian? Itu tadi, bahwa saya baru menyadari ternyata saya selama ini atau saat itu saya mengalami pelecehan seksual.
Mungkin kalau dibahas secara periode, saat saya bekerja di industri pariwisata di 2017 itu saya bekerja di salah satu biro perjalanan wisata yang mayoritas pekerja lainnya adalah laki-laki. Hanya ada dua pekerja perempuan, saya dan supervisor yang umurnya mungkin tidak terpaut begitu jauh, mungkin lima atau enam tahun perbedaannya.
Baca Juga: 12 Tahun Silam Banyak Orang yang Belum Mengetahui: Apa Itu Kekerasan Seksual?
Saat itu saya masih tergolong anak muda di mana saya bekerja saat itu di umur 17 tahun, tepat saat saya baru masuk umur 17 tahun. Yang saya dapati di sana adalah hampir setiap hari mendapati lelucon-lelucon bernada seksis atau lelucon-lelucon bernada ajakan seksual. Saat itu yang saya pahami kekerasan seksual itu pemerkosaan. Tapi saat itu, saat saya mengenali dan mengingat, perasaan-perasaan yang saya alami saat itu sangat tidak menyenangkan dan sangat menakutkan bagi saya.
Ada satu waktu ketika magang, saya harus pergi ke Jakarta. Saya harus menginap selama empat hari untuk mengurus sebuah meeting klien saya. Di situ perempuannya cuma berdua, saya dan supervisor, sisanya laki-laki. Becandaan mereka justru menakutkan bagi saya. Hal yang menimbulkan rasa tidak nyaman yang luar biasa saat itu tapi saya enggak tahu ini bentuk apa. Lelucon dan perilaku mereka membuat perasaan yang saya alami saat itu adalah saya tidak berada di zona aman saya. Saya jauh dari keluarga, saya enggak bisa lapor ke sekolah juga. Sedangkan saat itu, istilahnya saya sedang bertugas. Saya magang untuk memperoleh nilai. Di situlah saya enggak bisa apa-apa. Saya tidak punya kekuatan banyak selain menjauh, menjauh, dan menjauh.
Melapor dan Disalahkan
Mungkin ini polanya sama dengan teman-teman saya yang lain yang mungkin pernah mengalami hal ini. Akhirnya, ketika kita mencoba lapor, mencoba menceritakan ketidaknyamanan kita saat bekerja, yang ada pasti selalu dibalikkan. Kita sebagai korban menjadi orang yang salah atau orang yang dikatakan sangat baper.
“Apa sih, mereka kan cuma becanda” atau “Kamu ngapain ngegoda mereka.” Padahal kita tuh enggak ada, secara gesture tubuh, secara apapun, kita sama sekali tidak ada niat untuk menggoda saat itu. Lagi-lagi yang disalahkan kita dan yang menjadi kekhawatiran saat itu kenapa kita enggak bisa lapor kepada orang tua karena orang tua kita tahu kita hanya sedang mengampu pendidikan. Sedang menuntaskan tugas akademik.
Sekolah pun juga ketika kita berangkat magang, hal yang diwanti-wanti lebih kepada “kamu harus jaga nama baik sekolah ya.” “Jangan sampai kami mendengar ada hal-hal yang tidak mengenakkan.” Seketika semua dibebankan kepada siswa. Sedangkan siswa tidak dibekali bagaimana caranya kita menghadapi suatu hal yang tidak mengenakkan dan bagaimana caranya kita mengadu. Lagi-lagi, ketika kita mengadu kalau tidak disalahkan, pasti kita diragukan. “Ah, kamu mungkin mengarang-ngarang cerita.” “Kamu mungkin sebel sama orang ini makanya kamu menuduh bahwa orang ini berperilaku seperti itu.” Itu sangat sulit bagi kami.
Kekerasan Seksual Dinormalisasi
Di tahun 2018 ketika saya bekerja paruh waktu di hotel bintang empat dan lima, saya ketemu beberapa orang yang mana waktu itu saya bekerja di bagian dapur. Mostly orang-orangnya adalah laki-laki. Mereka memberikan ancaman-ancaman yang bersifat ajakan seksual. Sempat ada yang nawarin, “Ini ada tamu kita nih yang cari pendamping buat semalam, kamu bisa enggak, kamu mau enggak.” Itu menjadi satu hal yang dinormalisasi. Saya kaget sendiri. Satu hal yang menurut saya kenapa orang bisa seenteng ini karena mereka lupa ibu mereka adalah seorang perempuan, anak mereka adalah seorang perempuan, istri mereka perempuan, bahkan kakak atau adiknya pun bisa jadi seorang perempuan.
Baca Juga: Ramadan dan Penghapusan Kekerasan Seksual
2021 pengalaman saya dengan tamu yang semena-mena. Saya waktu itu berada di front office, menyiapkan administrasi buat tamu-tamu meeting terus ada tamu yang flirting (menggoda) saya. Menanyakan, “Kamu udah punya pacar belum?” “Kamu orang mana?” Tapi, apa yang saya bisa lakukan adalah membatasi diri. “Oh, maaf pak, ini saya lagi kerja saya enggak bisa ngobrol gimana-gimana dulu.” Yang ada mereka malah mengancam. “Oh, enggak tahu saya siapa. Saya nih orang penting. Saya bisa nunjuk orang buat nyari kamu, buat ngapa-ngapain kamu.” Sempat ada yang seperti itu.
Jadi, hampir setiap saya kerja apalagi kalau harus ke luar kota menginap, kecemasan itu akan selalu ada. Bahkan saya enggak punya riwayat penyakit lambung dalam artian asam lambung, itu tiba-tiba kambuh. Keringat dingin. Itu terjadi karena ketidaknyamanan saat saya bekerja. Tapi mau enggak mau saya harus kerja.
Yang saya lakukan saat itu tidak banyak. Bahkan ketika saya melihat supervisor diperlakukan hal yang sama yang saya lakukan hanya diam. Saya merasa ketika saya berbicara pun tidak ada yang bisa melindungi. Tidak ada yang bisa mengerti perasaan yang saat itu saya hadapi dan rasakan.[]
Best Graduate WTID Camp 2021 dan aktif sebagai Co-Initiator Perempuan Lestari, sebuah komunitas penggerak local womenpreneur, dan tengah fokus belajar mengenai Wellness Tourism & Gender Equality
*Tulisan ini diramu dari pernyataan dan paparan Meira Fenderissa (narasumber) dalam Webinar WTID x ECPAT: Pencegahan Eksploitasi Seksual Anak dan Anak Muda di Sektor Pariwisata, 25 Juli 2022, atas izin narasumber