Ibu Pejuang Aspal Jalanan
Suatu malam sekitar pukul 20.00 WIB, saya memesan makanan via aplikasi ojek online (ojol). Tidak saya sangka, ternyata penerima order saya adalah akun atas nama perempuan.
Saya agak terkejut mendapatkan supir perempuan, karena biasanya saya mendapat tanggapan atas order saya di aplikasi ini dari supir lelaki. Apalagi saat itu sudah malam dan suasana di jalanan juga sangat sepi karena orang lebih banyak yang diperintahkan tinggal di rumah.
Tapi jika benar supirnya perempuan, apalagi di malam hari seperti ini, sungguh saya menaruh rasa hormat kepadanya berkali lipat. Kenapa? Bagi perempuan, bekerja di malam hari pasti resikonya jauh lebih besar daripada lelaki, apalagi bekerja di jalanan dan di atas roda dua pula.
Saya teringat suatu ketika menjelang dini hari, saya sedang mengantri membeli makanan di restoran siap saji yang buka 24 jam. Di depan saya seorang supir ojol perempun ikut mengantri bersama rekan-rekan lelakinya yang berseragam sama dengan ibu ojol ini. Dari percakapan di antara mereka yang saya dengar, ibu ojol ini sedang mengantri membelikan makanan untuk kliennya di suatu tempat.
Dalam hati, saya berdoa agar ibu ojol tersebut aman dan selamat selama menjalankan pekerjaannya dan dapat kembali ke kediamannya untuk beristirahat.
Kembali ke cerita akun supir ojol perempuan yang menerima order saya.
Setelah menunggu 30 menit, order saya pun tiba. Ternyata benar, dia seorang perempuan, dan juga berjilbab. Sambil tetap mengenakan masker, ibu ojol itu segera menyerahkan pesanan saya dan terburu-buru pergi.
Namun sebelum dia benar-benar pergi, saya berikan tip sebagai bentuk penghargaan kepadanya. Saya juga menyerahkan paket sembako beras ± 2 kilogram dan 1 liter minyak goreng kepadanya, yang saya siapkan untuk dibagikan kepada siapa saja yang menurut saya pasti akan sangat membutuhkan, apalagi di musim sulit karena wabah corona ini.
Ibu ojol itu menerimanya dengan wajah tertegun dan segera berlalu, tidak sempat berucap kata terima kasih.
Saya tidak tahu apa yang berkecamuk dalam pikiran ibu ojol saat itu. Sejak awal dia datang, saya perhatikan raut mukanya juga seperti kelelahan, tidak ada senyum ramah menyapa pelanggan seperti biasanya supir ojol yang saya temui. Hanya ada panggilan singkat: “mba Wida ya?” sambil terburu-buru menyerahkan pesanan saya.
Sayang saya tidak dapat menahannya sebentar untuk sedikit bercakap-cakap, karena gestur tubuhnya juga menunjukkan dia sedang tak ingin berlama-lama.
Saya berharap pesanan saya malam itu adalah order terakhir yang dia ambil jadi dia dapat bergegas pulang ke rumahnya dengan selamat.
Semoga ibu ojol tadi selalu sehat, anak-anak dan keluarganya juga sehat. Dan semoga para supir ojol perempuan di manapun mereka berkarya, selalu diberi kesehatan dan keselamatan. []
Wida Semito