PENGANGGURAN! Ah, ini adalah jabatanku dalam melakukan kegiatan setiap harinya. Rasanya sulit sekali untuk mencari pekerjaan saat ini di tengah-tengah gempuran tekanan sosial, bak mencari jarum dalam jerami. Aku sendiri tidak begitu paham bagaimana sistem pekerjaan bagi para pekerja yang sesungguhnya dibutuhkan. Mungkin kebingunganku itu akan sedikit kucurahkan dalam tulisan kali ini.

Beberapa tahun lalu, aku memutuskan untuk pergi ke kota lain dengan harapan, akan menemukan lebih banyak lowongan pekerjaan daripada yang tersedia di kotaku sendiri. Namun, kenyataan tak seindah bayangan. Bayangkan saja, empat akun medsos yang berseliweran di berandaku memberikan informasi OPEN RECRUITMENT. Yang dibutuhkan sih hanya satu orang saja, sedangkan yang melamar bisa lebih dari lima orang. Aku yang hanya lulusan Paket C atau setara SMA/K ini pun harus bersaing dengan lima orang yang umumnya memiliki latar pendidikan di atasku. Tak jarang, perusahaan-perusahaan itu meminta calon pekerja yang sudah berpengalaman minimal dua tahun di bidang yang sama sesuai kebutuhan posisi.

Baca Juga: Iming-iming Gaji Besar, Modus TPPO Sepanjang 2023

Itu belum termasuk jika aku harus bersaing atas dasar ekspresi dan gender. Misalkan yang dibutuhkan laki-laki. Aku yang mengidentifikasikan diri sebagai laki-laki tentu saja merasa terpanggil untuk lowongan ini. Namun ketika perekrut melihat seluruh dokumen lamaran, mereka menolak karena di KTP, aku adalah seorang perempuan. Begitu pula sebaliknya. Ketika yang dibutuhkan perempuan, mereka menolakku karena ekspresiku yang sangat maskulin dan tidak feminin.

Coba, bagaimana itu? Ditanya pengalaman, ya tentu saja aku memiliki pengalaman namun paling mentok hanya dua tahun saja. Kenapa? Karena aku sering kali mendapatkan pelecehan dari rekan-rekan kerjaku yang penasaran. Selain itu, aku juga kerap jadi korban bullying untuk bahan candaan mereka di tengah-tengah mumetnya pekerjaan.

Aku pun sering menjadi pilihan terakhir jika ada hal yang bisa dan sanggup aku kerjakan namun rekan-rekan maupun atasanku memilih orang lain untuk mengerjakannya tanpa alasan yang jelas. Padahal, aku telah bekerja dengan baik sesuai prosedur bahkan mengerahkan seluruh ide-ide kreatifku dalam menyelesaikan tugas yang cukup sulit dilakukan. Jadi, pengalaman kerjaku yang hanya mentok di angka dua tahun bukan karena aku senang gonta-ganti pekerjaan atau mudah merasa bosan, tapi karena aku merasa sakit jika bertahan di lingkungan seperti itu.

Baca Juga: Pengaruh Diskriminasi Gender terhadap Kesehatan Mental Perempuan

Di sisi lain, tuntutan hidup terus berjalan seperti membayar kos untuk tempat beristirahat dan berteduh, membeli token listrik, membayar cicilan motor untuk alat transportasi harian, membeli bensin, dan makan dua kali sehari. Untuk memenuhi biaya hidup setiap harinya, aku butuh penghasilan lebih dari gaji yang seharusnya aku dapatkan. Namun kenyataannya, besaran gaji di bawah UMR membuatku sulit mengatur keuangan dengan seimbang. Untuk jajan atau nongkrong (refreshing otak) saja tidak ada, apalagi bercita-cita menabung tiap bulannya.

“Ya sudah, artinya kamu harus mencari kerjaan tambahan lain, dong!”

Hei, pentolan jarum! Kalau ngomong memang mudah tapi praktiknya tidak segampang itu. Sesuai aturan Disnaker, jam kerja adalah selama 8-9 jam tiap hari. Namun praktik di lapangan biasanya molor hingga 9-10 jam kerja di luar lembur. Kita hidup itu cuma 24 jam setiap harinya. Katakanlah aku cukup tidur 8 jam setiap hari. Artinya, jika total waktu satu hari dikurangi waktu tidur dan jam kerja, aku masih punya waktu sisa sebanyak 7 jam. Jujur saja, aku belum menemukan tempat kerja di kotaku yang memberlakukan jam kerja selama 7 jam per hari. Jika ada, pasti aku akan apply ke sana untuk mendapat pekerjaan tambahan. Sampai sini, tergambar tidak kondisinya?

“Kalau gitu kamu sekolah lagi aja, biar dapat kerjaan dan gaji yang layak!”.

Hei teman, buat kebutuhan sehari-hari saja aku masih nombok. Lantas bagaimana caranya aku membayar kuliah di kelas karyawan?

Baca Juga: Peran Masyarakat dalam Penghapusan Diskriminasi di Indonesia

Sampai di sini aku berefleksi, apakah benar kita hidup dalam sistem yang sudah ada ‘pengendali’-nya? Jika semua sudah diatur oleh sosok di belakang layar, lalu siapa orang yang mengatur sistem ini? Pasti orang ini sangat kaya raya karena dapat mempengaruhi jutaan orang dan membuat sistem yang menjepit kalangan masyarakat biasa ini. Benarkah sistem ‘matrix kekuasaan’ itu ada?

Ah! Itu mah gak usah dipikirin kali”.

Iya, betul! Aku berusaha untuk tidak memikirkan hal itu. Namun, dalam keadaan terjepit seperti ini, solusi apa yang seharusnya aku lakukan? Pasrah? Marah? Sedih? Nangis kejer? Senyum? Ketawa? Atau bagaimana?

Jadi, semoga cerita pengalamanku ini bisa membangun kesadaran untuk kamu dan membuka cara pandang agar tidak mudah menghakimi kondisi orang lain. Sebab, secara tidak langsung kamu sedang membanding-bandingkan dirimu dengan orang lain. Ingat! Setiap orang memiliki kehidupan yang berbeda-beda serta beban yang juga sangat jauh berbeda. Jadi ada baiknya mencari solusi bersama dengan bijak dan memberi dukungan yang tepat.

Jika tidak bisa, setidaknya jangan membuat orang tersebut semakin tersudutkan oleh situasi untuk terus semakin membuatnya berpikir keras hingga gila atau mati.

Baca Juga: Kami dengan Segala Stigma

MRALGO adalah seorang transgender laki-laki yang memiliki tato di tangan sebelah kanan dan memiliki keahlian memecahkan masalah dengan baik. Ia juga masih disibukkan dengan mengirim surat lamaran kerja kemana-mana.

Share.

Comments are closed.