Memahami Kembali Korban Kekerasan Seksual, Meneguhkan Etika Kemanusiaan
Oleh: Irfan Hidayat
Berbicara mengenai kekerasan seksual, maka tidak bisa dilepaskan dari etika kemanusiaan. Seperti diungkapkan Nurgiyantoro (1995), dalam bukunya yang berjudul: “Teori Pengkajian Fiksi”, bahwa etika kemanusiaan yaitu sesuatu yang menyangkut dengan tingkah laku dan perbuatan manusia yang sesuai dengan norma dan menghormati martabat kemanusiaan seseorang, termasuk hak atas tubuh yang dimiliki oleh seseorang.
Sepertinya tidak terlalu berlebihan apabila saya menilai kehidupan sosial kita saat ini telah kehilangan etika kemanusiaan, terlebih dalam hal menghargai dan menghormati hak atas tubuh seseorang. Belakangan ini marak terjadi pelecehan hingga kekerasan seksual yang kemudian viral di media. Diberitakan bahwa oknum penegak hukum melakukan kekerasan seksual kepada seorang mahasiswi perempuan, peristiwa ini terjadi di Jawa Timur. Seorang polisi memperkosa kekasihnya sampai hamil. Perempuan malang tersebut mengalami depresi hingga akhirnya memutuskan untuk bunuh diri.
Melihat kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, hati dan nurani saya merasa sangat sedih, miris, dan marah. Bagaimana tidak? Aparat penegak hukum yang harusnya berperan mengayomi masyarakat, justru melakukan tindakan asusila yang melanggar hukum. Kalau begini, peraturan mengenai kekerasan seksual tak akan berjalan maksimal jika aparat penegak hukum tidak serius menanggapinya, bahkan menjadi pelaku kekerasan seksual itu sendiri.
Baca Juga: Diskriminasi Hukum terhadap Perempuan Korban KDRT
Hal ini membenarkan apa yang diungkapkan Roziqoh (2014), dalam karya ilmiahnya yang berjudul: “Pendidikan Berperspektif Gender Pada Anak Usia Dini”, bahwa dalam mengurangi angka kekerasan seksual di Indonesia, tidak hanya berpangku kepada hukum semata. Akan tetapi yang lebih esensial, justru pengadaan pendidikan gender sedini mungkin di sekolah-sekolah.
Kesadaran tentang keadilan gender tidak dapat terbentuk secara spontan. Namun, kesadarannya dapat terbentuk apabila diadakan sosialisasi pengetahuan tentang keadilan gender sejak dini di bangku sekolah. Akan tetapi, dalam realita yang terjadi di dunia pendidikan hari ini, konstruksi bias gender masih mengakar kuat dalam diri setiap pengajar, peserta didik, hingga orang-orang di lingkungan lembaga pendidikan yang menjadi tantangan yang paling utama.
Sempat menjadi pemberitaan hangat di media, pelecehan seksual pernah dialami oleh sejumlah mahasiswa Universitas Negeri Jakarta yang dilakukan dosennya yang terungkap pada Desember 2021. Bahkan, dilansir dari laman resmi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sepanjang tahun 2021, KPAI mencatat ada 207 anak korban pelecehan seksual di Sekolah.
Baca Juga: Kerangka Hukum Perlindungan Anak di Indonesia
Kekerasan Seksual
Dilansir dari Kompas.com, (08/12/2021), Kekerasan Seksual menurut Komnas Perempuan adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mencatat, pada bulan Juni 2021 saja, terdapat sekitar 1.902 anak dan perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Bahkan, data terbaru KPPPA mencatat ada sekitar 3.122 kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak.
Subjek yang paling rentan menjadi korban kekerasan seksual pada umumnya ialah perempuan. Meski begitu, laki-laki juga kerap menjadi korban kekerasan seksual.
Dilansir dari medcom.id, (02/02/2021), International Society for Justice Research (IJSR) mencatat, terdapat 33,3% laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual sepanjang tahun 2021. Sementara itu, data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa terdapat 223 anak laki-laki yang telah menjadi korban kekerasan seksual.
Baca Juga: Buku Politik Hukum Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia
Dengan demikian, kekerasan seksual tidak pandang jenis kelamin. Baik laki-laki maupun perempuan dapat menjadi korban. Hanya saja, saya hendak memahami ulang ketika laki-laki menjadi korban kekerasan seksual bukan sebatas orang yang mengalami kekerasan, tetapi juga sebagai korban dari nilai budaya maskulinitas.
Maskulinitas sering kali berorientasi dan mengarah terhadap sifat ‘kelaki-lakian’. Dari segi budaya, ‘kelaki-lakian’ seseorang mengarah pada dua hal. Pertama, keberanian. Keberanian menuntut laki-laki harus berani mengambil setiap risiko. Kedua, seksualitas. Terkait seksualitas, masyarakat memiliki anggapan bahwa laki-laki harus mampu menunjukkan kejantanannya.
Salah Kaprah Dunia Laki-laki
Banyak laki-laki yang sering bersiul atau menggoda perempuan ketika di jalan. Hal itu termasuk salah satu perbuatan kekerasan seksual dalam bentuk pelecehan seksual non-fisik. Tindakan tersebut dilakukan untuk menunjukkan ‘kelelakiannya’. Contohnya, apabila saya sedang berkumpul dengan teman laki-laki, beberapa dari mereka sering kali menantang: “Ayo godain cewek itu kalau memang kamu jantan.”
Ejekan seperti itu tentunya membuat telinga memanas. Lantas kemudian beberapa teman saya langsung bersiul ke perempuan yang telah menjadi sasaran tanpa berpikir panjang. Bahkan, ada yang disertai dengan tindakan eksplisit seperti meminta nomor handphone si perempuan.
Perempuan telah dirugikan dengan adanya ‘kebiasaan salah kaprah dunia laki-laki’ semacam tadi. Namun, di sisi lain, tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh laki-laki. Laki-laki hendak diakui bahwa dirinya jantan. Validasi kejantanan bagi seorang laki-laki dari orang lain bagi beberapa orang berguna dalam membentuk identitas sosial di tengah masyarakat, atau di lingkungan sekitar.
Maka, kekerasan seksual bukan sekadar soal libido semata. Akan tetapi, realitas di masyarakat yang semakin hari semakin kompleks. Lalu, apakah kekerasan seksual bisa berkurang di Indonesia?
Redefinisi Korban Kekerasan Seksual
Kurang tegasnya sanksi yang diberikan dari peraturan yang berlaku merupakan salah satu penyebab kekerasan seksual masih marak terjadi di negara ini. Alih-alih memberikan efek jera bagi pelaku, justru sebaliknya, dapat memicu seseorang berbuat pelecehan tanpa rasa takut jika korban melaporkannya.
Lebih parah lagi, alih-alih memberikan sanksi serta efek jera pada pelaku, publik justru malah menjadi berbalik dengan menyerang dan menyalahkan korban kekerasan seksual yang seyogiyanya mendapatkan perlindungan. Lebih dari itu, korban kerap kali diminta bertanggung jawab atas kejahatan yang menimpa mereka. Kebiasaan masyarakat seperti itu disebut victim blaming.
Masyarakat sering kali menyalahkan pakaian seksi yang dikenakan korban ketimbang menyalahkan kebiadaban pelaku. Padahal, meskipun sudah menggunakan pakaian tertutup, jika akal pikiran pelaku sudah bejat dan ‘nafsu hewaniah’ sudah tidak bisa dikontrol, kekerasan seksual akan tetap terjadi.
Baca Juga: 7 Cara Mendukung Korban Kekerasan Seksual Berani Bersuara
Maka dari itu, saya hendak mengajak setiap orang untuk mendukung, melindungi, dan lebih berempati terhadap korban kekerasan seksual. Jangan sampai melakukan victim blaming, yang hanya akan memperparah kondisi korban kekerasan seksual.
Baik laki-laki maupun perempuan, keduanya bisa menjadi korban maupun pelaku dari kekerasan seksual. Artinya, dalam suatu kasus kekerasan seksual tidak dapat digeneralisasi hanya berdasarkan jenis kelamin. Akan tetapi, perlu adanya evaluasi cara berpikir, bersikap, dan bertindak terhadap setiap kasus kekerasan seksual yang masih marak terjadi di tengah masyarakat.
Upaya tersebut dapat dilakukan dari hal-hal kecil, seperti mendengarkan cerita korban, mempercayainya, dan mendukung serta membantu mereka untuk speak up. Selain itu yang tidak kalah penting, jangan pernah menganggap victim blaming sebagai hal sepele. Sebab, apabila dianggap wajar, dengan tanpa sadar hal tersebut dapat mencederai etika kemanusiaan. []
Alumni Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kader PMII Rayon Ashram Bangsa
Sumber:
Burhan, Nurgiyantoro. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Roziqoh, “Pendidikan Berperspektif Gender Pada Anak Usia Dini”, Jurnal Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat, Program Studi Pendidikan Luar Sekolah Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, (2014).