Kerangka Hukum Perlindungan Anak di Indonesia
Oleh: Alviani Sabillah
Pada dasarnya, Konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah menjamin hak-hak setiap warga negaranya. Tanpa terkecuali anak. Dalam Konstitusi, Negara menjamin hak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh sebab amanat itu, hadir peraturan perundang-undangan yang menjamin perlindungan dan kesejahteraan bagi anak.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Kerangka hukum perlindungan anak terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU 23/2002). UU ini disahkan pada 22 Oktober 2002 oleh Presiden Republik Indonesia kala itu, Megawati Soekarnoputri. UU ini membuka kesempatan seluas-luasnya tumbuh dan berkembang seorang anak secara optimal dari segi fisik, mental maupun sosial dengan cara menjamin serangkaian hak-hak pada anak. Dalam Pasal 3 UU 23/2002 disebutkan bahwa:
“Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.”
Tidak berhenti pada jaminan atas hak-hak dasar bagi anak, beleid (peraturan/ketentuan hukum) ini juga mengatur perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dan anak korban tindak pidana. Utamanya, adalah jaminan hak untuk mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
Baca Juga: Mengetahui Hak-hak Anak adalah Hak Anak
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
Pada 2014, dilakukan perubahan kedua atas UU 23/2002, yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU 35/2014). Ketentuan ini mengubah dan menambahkan beberapa hal penting untuk menjamin hak-hak anak serta memberikan perlindungan yang optimal pada anak.
Di antaranya adalah menambahkan klausul mengenai hak untuk mendapat perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Beleid ini juga mengatur mengenai jaminan perlindungan khusus bagi anak beserta upaya penanganannya.
Selain itu, UU 35/2014 mengubah terminologi “anak yang menyandang cacat” menjadi “anak penyandang disabilitas” yang merupakan tonggak awal penghapusan makna yang diskriminatif terhadap sesorang yang memiliki keterbatasan tertentu. Menjadi hal yang menarik bahwa ternyata istilah disabilitas telah digunakan sebelum keberadaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Secara spesifik, UU 35/2014 memberlakukan larangan kepada setiap orang untuk bersikap diskriminatif terhadap anak dan anak penyandang disabilitas. UU ini melarang setiap orang untuk:
- Menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan Anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran.
- Menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.
- Melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
- Melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
- Menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan Anak.
- Menghalang-halangi Anak untuk menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya dan/atau menggunakan bahasanya sendiri tanpa mengabaikan akses pembangunan Masyarakat dan budaya.
- Merekrut atau memperalat Anak untuk kepentingan militer dan/atau lainnya dan membiarkan Anak tanpa perlindungan jiwa.
- Menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap Anak.
- Dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan Anak dalam penyalahgunaan, serta produksi dan distribusi narkotika dan/atau psikotropika.
- Dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan Anak dalam penyalahgunaan, serta produksi dan distribusi alkohol dan zat adiktif lainnya.
Baca Juga: Bagaimana Mendidik Anak Perempuan Menjadi Feminis? Membaca Anjuran Chimamanda
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016
Pada 2016, Pemerintah kembali memperbarui ketentuan perlindungan anak berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Perppu 1/2016). Perppu yang disahkan menjadi UU Nomor 17 Tahun 2016 (UU 17/2016) ini dilatarbelakangi oleh maraknya kekerasan termasuk kekerasan seksual terhadap anak.
Pada 2015, Indonesia dinilai berada dalam kondisi darurat kasus kekerasan terhadap anak. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak saat itu, Yohana Susana Yembise menyatakan bahwa kasus kekerasan terhadap anak semakin meningkat (Kominfo, 4/8/2015). Menurut catatan Satuan Tugas (Satgas) Perlindungan Anak, terdapat ribuan kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia setiap tahunnya. Sepanjang 2015, Satgas tengah mengadvokasi 52 kasus kekerasan anak yang belum tuntas (Kominfo, 4/8/2015).
UU 17/2016 menyatakan bahwa peningkatan kasas-kasus kekerasan seksual terhadap anak secara signifikan jelas memberikan ancaman dan membahayakan jiwa anak. Kekerasan seksual dapat merusak kehidupan pribadi dan tumbuh kembang anak, serta mengganggu rasa kenyamanan, ketentraman, keamanan, dan ketertiban masyarakat.
Dalam beleid terbaru ini, diberlakukan pemberatan 1/3 dari ancaman pidana terhadap pelaku yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan/ancaman kekerasan seksual. Terdapat ancaman pidana mati dan pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia, dan pemasangan alat pendeteksi elektronik kepada pelaku kekerasan seksual. Ketentuan ini berlaku bagi pelaku yang melakukan kekerasan kepada lebih dari 1 orang korban dan mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia.
Ancaman pidana mati dan kebiri kimia dalam UU 17/2016 mendapat penolakan dari sejumlah kelompok masyarakat sipil pegiat HAM. Beberapa di antaranya adalah LSM Peduli Hak Asasi Manusia, ICJR (Institute for Criminal Justice Reform), LeIP (Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan), dan Mappi FHUI (Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia) (Hukumonline, 19/2/2016).
UU ini dinilai bertentangan dengan Konvensi Anti Penyiksaan yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Selain itu, langkah Pemerintah untuk memberikan efek jera dengan memperberat hukuman adalah hal yang keliru dan reaktif (LeIP, 20/6/2016). Data dari World Rape Statistic tentang perkosaan di berbagai negara di dunia membuktikan bahwa hukuman mati atau hukuman kebiri tidak efektif memiliki efek jera (ICJR, 23/5/2016). Selain itu, sangat disayangkan UU 17/2016 tidak menyentuh ranah pemulihan korban dan penyediaan layanan untuk korban.
Baca Juga: UU Adminduk dan Hak Anak atas Identitas
Perkembangan Kerangka Hukum Perlindungan Anak
Di satu sisi, perlindungan anak yang diatur dalam UU 23/2002, UU 35/2014, dan UU 17/2016 menunjukkan bahwa kerangka hukum perlindungan anak di Indonesia selalu bergerak dan mengikuti perkembangan yang ada di dalam masyarakat. Pembentuk kebijakan, tanpa dilepaskan peran serta kelompok masyarakat sipil bersinergi membentuk kerangka hukum perlindungan anak yang komprehensif. Mulai dari pengakuan hak-hak anak, hal-hal yang dilarang untuk dilakukan terhadap anak, sampai pada upaya penanganan dan perlindungan anak dengan kondisi khusus dan anak yang berhadapan dengan hukum.
Pada sisi yang lain, kerangka hukum perlindungan anak belum cukup menyentuh ranah pemulihan dan penyediaan layanan bagi korban. Ke depan, penting untuk mendorong kebijakan yang berpihak pada korban. Selain itu, juga perlu melakukan pengawasan terhadap upaya-upaya pemerintah dalam menjamin dan melakukan perlindungan terhadap anak secara preventif (pencegahan). Hal ini meliputi pengawasan terhadap implementasi beleid perlindungan anak. Demikian pula dengan melakukan advokasi dan dorongan kepada Pemerintah dan para pemangku kepentingan untuk terus mengupayakan perlindungan terhadap anak di Indonesia. []
Alumni Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera
Sumber:
ANT, “LSM Tolak Rancangan Perppu Kebiri”, Hukumonline, 19 Februari 2016, diakses pada 16 Januari 2022.
“Indonesia Darurat Kekerasan pada Anak”, kominfo.go.id 4 Agustus 2015, Kominfo, diakses pada 16 Januari 2022.
Josua Satria Collins, “Pentingkah Hukuman Kebiri?”, Mappifhui, 22 Juli 2016, diakses pada 16 Januari 2022.
Muhammad Amin Putra, “Melihat Kembali Perppu 1 Tahun 2016”, LeIP, 20 Juni 2016, diakses pada 16 Januari 2022.
“Hukum Kebiri: Indonesia Latah atau Tanpa Solusi?”, ICJR, 23 Mei 2016, , diakses pada 16 Januari 2022.