Survei: Tenaga Kerja Perempuan Indonesia di Sektor Teknologi Terendah di Asia Tenggara 

 Survei: Tenaga Kerja Perempuan Indonesia di Sektor Teknologi Terendah di Asia Tenggara 

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Data Boston Consulting Group (BCG) tahun 2020 mengungkap representasi perempuan di bidang teknologi di kawasan Asia Tenggara masih tertinggal dari industri lain. Partisipasi perempuan baik di tingkat pendidikan maupun angkatan kerja yang lebih rendah dibanding sektor lain menjadi tantangan berat bagi industri teknologi. Dari jurusan teknologi di Asia Tenggara, misalnya, 39% adalah perempuan. Angka ini lebih rendah dari semua bidang studi yang mencapai 56%.

Sedangkan dalam hal angkatan kerja, persentase perempuan di sektor ini hanya mencapai 32%.

Dalam hal jumlah perempuan dengan jurusan teknologi, posisi terendah adalah Singapura (29%) dan Vietnam (26%). Filipina dan Thailand menjadi dua negara tertinggi yakni sama-sama 48%. Disusul kemudian Malaysia (46%) dan Indonesia (35%).

Meskipun Singapura dan Vietnam di posisi terendah untuk jumlah perempuan dengan jurusan teknologi, tapi Singapura memiliki representasi perempuan yang bekerja di bidang teknologi lebih tinggi dibanding empat negara lainnya yakni 41%. Namun posisi Singapura masih berada di bawah Thailand di mana jumlah perempuan yang berkarir di sektor teknologi berada di urutan tertinggi (42%). Negara lain Malaysia dan Filipina (35%) serta Vietnam (34%).

Adapun Indonesia, jumlah tenaga kerja perempuan di sektor teknologi hanya sekira 22%, seturut dengan persentase terendah perempuan di seluruh angkatan kerja (32%).

Baca Juga: Bijaklah dalam Menggunakan Media Sosial

Dalam hal inklusi gender di bidang teknologi, kawasan Asia Tenggara cenderung memimpin negara barat seperti Amerika Serikat dan Inggris. Representasi perempuan pada lulusan universitas jurusan teknologi mendudukkan India (46%) lebih tinggi dibanding AS (24%) dan Inggris (19%). Sementara dalam hal tenaga kerja di perusahaan teknologi, China (40%) lebih unggul daripada AS (32%) dan Inggris (30%).

Dari enam negara di kawasan Asia Tenggara yang dipelajari, BCG juga mensurvei 1.650 perempuan. Ribuan responden itu mewakili ragam generasi, latar belakang, bidang studi, riwayat pekerjaan, dan perannya dalam teknologi baik bekerja di sektor teknologi maupun perusahaan nonteknologi.

Di antara perempuan lulusan teknologi mengaku kurang berminat memilihnya sebagai pekerjaan pertama. Mereka merasa kesulitan bekerja di bidang tersebut dan berpandangan sektor ini memiliki prospek karir yang sempit. Selain itu, responden memercayai bahwa memulai karir di bidang teknologi sama halnya “mengikat” mereka untuk selalu bekerja di bidang teknologi.

Seturut dengan itu BCG menemukan terobosan dari perusahaan digital seperti Grab, Lazada, dan Facebook yang sepertinya dapat mengatasi kekhawatiran ini. Beberapa responden menganggap ruang digital menarik menjadi pekerjaan pertama karena perusahaan menawarkan lebih banyak peluang pembelajaran dan pengembangan.

Baca Juga: Permenaker JHT Tidak Pro PRT

Peluang pembelajaran dan pengembangan ini menjadi kriteria penting bagi perempuan dalam mengambil keputusan. Temuan BCG menyoroti responden perempuan yang bertahan dengan perusahaan teknologi lantaran perusahaan memberikan pelatihan. Sebaliknya, jika perusahaan tidak memenuhi kriteria itu, maka beberapa responden berencana meninggalkan pekerjaannya.

Pembelajaran dan pengembangan teknologi menjadi lebih penting, utamanya bagi generasi muda. Ini dapat menjadi panduan bagi tim perusahaan dalam membangun tenaga kerja di masa mendatang.

Sementara itu di hampir semua industri dan pasar geografis yang dipelajari dalam survei ini, ditemukan pula optimisme responden tentang jalur karir yang lebih beragam. Optimisme ini berkebalikan dengan pendapat beberapa responden lain, utamanya perempuan di perusahaan teknologi. Loyalitas mereka dilaporkan sedikit lebih tinggi dibanding responden di industri lain. Selain kompensasi dan peluang karir yang menarik, perempuan yang bekerja di perusahaan teknologi mengungkap faktor utama yang menyebabkan masa kerja mereka lebih lama adalah keseimbangan antara kehidupan dan kerja yang wajar. Inilah fakta bahwa kebanyakan perempuan dengan keseimbangan tersebut sangat menghargainya dan berencana untuk bertahan. Tapi bagi perempuan dengan anak yang tidak memiliki keseimbangan kehidupan  kerja, maka mereka berencana keluar dari perusahaan.

Survei BCG juga menunjukkan separuh lebih (65%) perempuan di kawasan Asia Tenggara punya persepsi positif terhadap upaya industri. Sektor teknologi dianggap lebih baik dibanding industri lain dalam menawarkan program yang dirancang khusus untuk merekrut, mempertahankan, dan mempromosikan perempuan.

Baca Juga: Menuju Kesetaraan Gender

Dalam penelitian ini BCG mengklaim bahwa keragaman gender menjadi area fokus penelitian yang semakin berkembang di banyak organisasi. Temuannya bahkan menunjukkan bahwa keragaman gender membuat perusahaan lebih inovatif dan gesit, termasuk dalam meningkatkan kinerja keuangan. Pada perusahaan yang mengakomodasi lebih dari 20% tim manajemen perempuan, misalnya, memiliki pendapatan inovasi sekitar 10% lebih tinggi daripada perusahaan di bawah kepemimpinan laki-laki.

***

Rendahnya partisipasi perempuan di sektor teknologi bisa jadi lantaran lingkungan kerjanya yang tidak aman bagi perempuan. Ini seturut dengan temuan survei Never Okay Project (September 2022) yang mengungkap bahwa 58,06% kekerasan dan pelecehan terjadi di perusahaan berbasis digital (start up digital). Jika pekerja perempuan di sektor industri teknologi saja masih tidak aman, bagaimana dengan Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang sampai saat ini masih tidak memiliki undang-undang sebagai rujukan? [Nur Azizah]

 

Sumber:

https://www.bcg.com/publications/2020/boosting-women-in-southeast-asia-tech-sector

diakses pada 28 Februari 2023

 

 

Digiqole ad