Pentingnya Partisipasi Publik untuk RUU TPKS

 Pentingnya Partisipasi Publik untuk RUU TPKS

(Jalastoria.id)

Pemerintah yang pada akhirnya  memilih tidak membuka Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual pada saat dilaksanakannya konsultasi publik dengan masyarakat sipil menuai ragam komentar. Lantas, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana masyarakat sipil atau publik dapat memberikan masukan jika kami tidak mendapat materi pembahasan? Masyarakat sipil juga menginginkan feedback atas masukan yang sudah disampikan, karena yakin bahwa diakomodasi atau tidaknya masukan pasti dilengkapi penjelasan. Maka itu, makna partisipasi publik dalam pembentukan perundang-undangan sebagaimana diatur Pasal 96 UU No 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mensyaratkan partisipasi dalam setiap tahap pembentukan peraturan perundang-undangan patut diperatanyakan. Terlebih tujuan pembentukan Perundang-undangan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) tidak lain adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi warga negara terutama para korban.

Baca Juga: Jaringan Perempuan Keluhkan Sikap Pemerintah ‘Rahasiakan’ DIM RUU TPKS

Dalam konferensi pers yang diselenggarakan Jaringan Pembela Perempuan Korban Kekerasan Seksual dengan judul “Apa Kabar RUU TPKS?” pada Kamis (17/2/2022) kepada para jurnalis saya menyampaikan beberapa catatan penting.

Pertama, Indonesia adalah negara hukum yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut salah satu yang dibutuhkan adalah kebijakan berupa produk legislasi.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Pemerintah dalam proses pembentukan undang-undang seharusnya melibatkan partisipasi masyarakat, begitupun pada saat implementasi dan pengawasan pelaksanaan undang-undang. Dengan demikian tujuan pembentukan undang-undang untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan umum masyarakat dapat dicapai.

Lalu bagaimana aspirasi masyarakat dalam penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas), peran partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dan menjawab bagaimana keterlibatan masyarakat dalam penyusunan RUU TPKS?

Baca Juga:Dinamika Penyusunan, Pembahasan, dan Pengesahan RUU TPKS 2015-2022

Pada 5 Februari lalu saya menyuarakan kebutuhan kami untuk melihat DIM yang akan diserahkan pemerintah ke DPR RI.

Sejumlah masyarakat sipil juga berpandangan yang sama, mengapa? Karena diundang untuk konsultasi publik tentu kami ingin memastikan materi-materi kami yang diintegrasikan dan mana yang tidak dapat diintegrasikan, berikut kami juga perlu mengetahu apa argumentasi pemerintah menolak masukan kami.

Dalam penjelasannya pemerintah hanya bahwa masukan masyarakat sipil setidaknya 93% telah diakomodasi oleh Pemerintah, dan saya menyayangkan, informasi yang saya terima,  ternyata Pemerintah telah menyerahkan DIM kepada DPR pada tanggal 11 Februari.

Artinya sampai diserahkannya DIM tersebut kami belum memperoleh gambaran pada bagian mana masukan masyarakat sipil diakomodasi, apa saja yang tidak diakomodasi dan mengapa tidak diakomodasi?

Saya mencatat setidaknya dalm pembahasan pemerintah tidak terbuka kepada publik khsusunya kepada masyarakat sipil yang diundang untuk didengarkan pendapatnya.

Dalam proses pembentukan perundang-undangan seharusnya pemerintah memegang tiga prinsip yakni transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas tata kelola pemerintahan yang baik.

Seharusnya proses konsultasi dilakukan seterbuka dan separtisipatif mungkin dengan memberikan DIM untuk dibahas bersama. Sangat rancu bukan, mengundang masyarakat sipil untuk didengar pendapatnya, sementara pemerintah masih memegang prinsip azas tak percaya dengan ‘merahasiakan’ DIM.

Baca Juga: Jalan Terjal RUU P-KS Menjadi RUU TPKS

Kebutuhan akan RUU Tindak Pidana KS dalam perspektif  masyarakat sipil, bukan hanya terletak pada segera disahkannya RUU ini. Tetapi sangat berharap substansinya dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat, terutama kebutuhan perempuan, anak, disabilitas korban kekerasan seksual.

Oleh karena itu, sebelum DIM diserahkan kepada DPR, masyarakat sipil berharap pemerintah memperlihatkan DIM hasil konsultasi publik secara terbuka. Sesuai Pasal 96 UU No 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, transparansi pada prinsipnya merupakan proses keterbukaan menyampaikan informasi atau aktivitas yang dilakukan. Dan partisipasi menekankan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan dalam merencanakan sampai dengan pelaksanaan kebijakan.

Masukan dari berbagai pihak dalam proses pembuatan kebijakan dapat membantu pembuat kebijakan mempertimbangkan berbagai persoalan, perspektif, dan opsi-opsi alternatif dalam menyelesaikan suatu persoalan. Proses partisipasi juga membuka peluang bagi pembuat kebijakan untuk mendapatkan pengetahuan baru, mengintegrasikan harapan publik kedalam proses pengambilan kebijakan.

Akuntabilitas menjadi bagian penting dari pertanggungjawaban. Proses ini juga sekaligus menguji seberapa kredibel RUU TPKS berpihak pada kelompok yang berkepentingan secara langsung dengan undang-undang ini. Proses yang terstruktur dari partisipasi, transparansi dan akuntabilitas diharapkan dapat membaca celah-celah kekeliruan, juga memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk memastikan substansinya sesuai kebutuhan bukan keinginan golongan.

 

Ninik Rahayu, Direktur JalaStoria

Digiqole ad