Jaringan Perempuan Keluhkan Sikap Pemerintah ‘Rahasiakan’ DIM RUU TPKS

 Jaringan Perempuan Keluhkan Sikap Pemerintah ‘Rahasiakan’ DIM RUU TPKS

Gambar (Sumber: instagram.com/kemenpppa)

Jaringan Pembela Perempuan Korban Kekerasan Seksual mendesak pemerintah membuka  daftar isian masalah (DIM) Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) kepada publik. Transparansi DIM RUU TPKS penting agar publik dapat melihat pasal-pasal dalam RUU tersebut dan memudahkan masyarakat memberikan usulan.

Desakan disampaikan oleh Ratna Batara Munti, bagian Jaringan Perempuan dari Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Indonesia. Ratna mengkritik keras sikap pemerintah yang tidak membuka DIM saat pembahasan konsultasi dengan publik.

“Jangan sampai partisipasi masyarakat hanya dimaknai secara prosedural, hadir dan bicara. Seharusnya pastrisipasi masyarakat harus dimaknai secara substantif, dengan diskusi terbuka,” ujar Ratna kepada Jalastoria.id, Kamis (10/2).

Baca Juga: Jalan Terjal RUU P-KS Menjadi RUU TPKS

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti juga menyampaikan pendapat yang sama. Dalam proses pembahasan undang-undang DIM menjadi salah satu alat untuk mempermudah proses pembentukan UU. Jadi, seharusnya pemerintah tidak perlu berkelit merahasiakan DIM dengan alasan etika pembahasan UU.

“Kalau judulnya membahasa DIM seharusnya tentu saja ada ada dokumen yang menjadi basis pembahasannya, yaitu DIM. Dan itu harus dibaca terlebih dulu supaya semua yang hadir bisa memberikan masukan sesuai tujuan,” ujar Bivitri.

Sikap pemerintah yang merahasiakan DIM dari publik menurut Bivitri bertentangan dengan Pasal 96 UU No 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mensyaratkan partisipasi dalam setiap tahap pembentukan peraturan perundang-undangan. Dan bertentangan dengan UU N0 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Baca Juga:Perjalanan RUU TPKS Masih Berlanjut

Kekecewaan juga disampaikan Direktur JalaStoria.id Ninik Rahayu. Beberapa pertemuan dengan pemerintah dengan agenda konsultasi publik pemerintah tidak pernah memperlihatkan DIM RUU TPKS. Dalam pembahasan, di saat masyarakat menyampaikan materi masukan pemerintah justru hanya menyampaikan ‘cerita’. Pemerintah tidak  menjelaskan apa saja usulan masyarakat sipil yang tidak diakomodasi beserta alasannya.
“Seharusnya proses pembahasan dilakukan seterbuka dan separtisipatif mungkin,” ujar mantan anggota Ombudsman RI ini kepada Jalastoria.id.

Menurut Ninik, masyarakat sipil lebih membutuhkan RUU TPKS dengan substansi yang mengakomodasi kebutuhan masyarakat, terutama perempuan, anak, disabilitas korban kekerasan seksual. Bukan sekadar cepat disahkan  tanpa mempertimbangkan substansi kebutuhan. Ninik berharap  sebelum DIM diserahkan ke DPR pemerintah dapat memperlihatkan hasil konsultasi publik secara terbuka.

Sejak RUU TPKS disahkan sebagai RUU Inisiatif DPR, pemerintah mengundang perwakilan elemen masyarakat sipil untuk memberikan masukan yang akan dimasukkan dalam daftar isian masalah rancangan undang-undang. Pemerintah, baik kantor staf kepresidenan (KSP) maupun Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) telah beberapa kali melakukan konsultasi publik. Namun, beberapa konsultasi publik yang dilakukan pemerintah tidak pernah sekalipun membuka DIM dalam pembahasan bersama. Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy O. S. Hieriej mengatakan kepada media, pemerintah tidak membuka DIM RUU TPKS ke publik dengan alasan etika pembahasan perundang-undangan.  Pemerintah tidak akan membuka sebelum DIM diserahkan kepada DPR.

“Secara etika DIM (RUU TPKS) akan kita serahkan kepada DPR terlebih dahulu, baru nanti kita buka ke publik. Mohon maaf, ini soal etika pembahasan perundang-undangan,” ujarnya.

 

Kustiah

Digiqole ad