Dinamika Penyusunan, Pembahasan, dan Pengesahan RUU TPKS 2015-2022
Oleh: Dr. Ninik Rahayu, S.H., M.S.
Langkah presiden Joko Widodo, yang memerintahkan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly untuk berkoordinasi dengan DPR RI guna membahas dan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS ) -sebagaimana dapat disimak di laman Youtube Sekretariat Presiden 4 Januari 2021-, membuahkan hasil. Dalam Rapat Paripurna yang digelar pada selasa (18/1/2022) di Gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, RUU TPKS disahkan menjadi RUU Inisiatif DPR RI.
Penantian selama kurang lebih tujuh (7) tahun yang dilalui dari berbagai tangis dan jeritan korban, serta suara-suara perjuangan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), sejumlah aliansi masyarakat aipil, serta akademisi, kali ini melewati satu langkah kemajuan. Adanya dukungan penuh dari bawah serta pemangku kebijakan, akhirnya mampu membawa RUU TPKS ke arah yang lebih jelas. Penetapan sebagai RUU Inisiatif DPR tentu menjadi setitik cerah bagi kita semua, terutama komunitas korban, pendamping korban, dan para penyintas kekerasan seksual.
Meski demikian, angin segar ini tetap memerlukan pengawalan sampai disahkan dan dapat menjadi payung hukum bagi korban -yang selama ini terus bertambah. Kerja keras pengawalan RUU TPKS, setidaknya pada dua ranah penting selama proses legislasi ini. Yaitu, memastikan substansi RUU memenuhi kebutuhan akan kepastian, kemanfaatan, dan perlindungan hukum bagi warga negara terutama korban kekerasan seksual. Yang kedua, bahwa ada proses penyusunan dan pembahasan yang dilakukan secara terbuka dan partisipatif dengan melibatkan multistakeholder, hal ini sesuai dengan prinsip penyusunan kebijakan dalam tata kelola pemerintahan yang baik. UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada Bab II Pasal 5 menyatakan, “Dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang meliputi; a) kejelasan tujuan, b) kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, c) kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan, d) dapat dilaksanakan, e) kedayagunaan dan kehasilgunaan, f) kejelasan rumusan; dan, g) keterbukaan.
Sejak usulan RUU TPKS yang sebelumnya bernama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual digagas oleh Komnas Perempuan pada 2016, RUU ini telah mengalami banyak perubahan. Mulai perubahan nama dari Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) berubah menjadi Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) hingga perubahan substansi yang ada di dalamnya. Yang menjadi pertanyaan besar hari ini, apakah RUU yang akan segera disahkan tersebut akan memuat substansi penting yang telah dihapus sebelumnya oleh DPR RI atau akan ada muatan baru lainnya? yang pasti, muatan RUU tersebut harus dibahas kembali sehingga bisa mengakomodasi gagasan penting lainnya sebelum disahkan. Perubahan-perubahan dalam RUU TPKS dalam kurun waktu 2015-2022 harus terus dikaji ulang. Dinamika penyusunan hukum memang harus dinamis guna mengakomodasi pandangan lain tapi dengan catatan “pandangan yang membangun”.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Versi Inisiatif DPR RI
Pergantian nama atau tema dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) diusulkan oleh Badan Legislasi DPR RI yang dipaparkan oleh Tenaga Ahli Baleg DPR RI Sabari Barus (CNN Indonesia, 31/8/2022). Menurutnya, kata “penghapusan” terkesan asbtrak dan mutlak karena kekerasan seksual tidak mungkin hilang, mustahil. Ia mengusulkan diubah menjadi “tindak pidana” selain maknanya lebih logis, judul ini juga akan mempermudah Aparat Penegak Hukum (APH) dalam menegakkan aturan. Meski kalau kita perhatikan dalam website DPR RI dan daftar Prolegnas sampai dengan saat ini masih tertulis judul RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Apakah sebelumnya Komnas Perempuan tidak memperhatikan makna kata “penghapusan” sebelum diusulkan kepada DPR? Kata “penghapusan” sebenarnya adalah nawacita bersama, refleksi dari kegamangan pengalaman perempuan untuk tidak lagi mengalami kekerasan, sehingga bisa hidup aman dan bebas dari kekerasan. Sebagai nilai ideal kekerasan seksual seharusnya bisa dihapuskan. Ius constituendum (cita-cita hukum) yang akan kita ciptakan tersebut, secara politis harus bisa terpenuhi karena akan menjadi sia-sia rasanya jika kita membuat norma tapi tidak punya cita-cita. Kebijakan penghapusan juga tercermin dalam Zero Tolerance Policy atau Toleransi Nol, sebuah kebijakan yang memberikan hukuman ketat bagi para pelanggar suatu aturan, dengan tujuan menyingkirkan para pelanggar tanpa pandang bulu. Kebijakan toleransi nol dipelajari dalam kriminologi dan umum dalam sistem kebijakan formal dan informal di seluruh dunia, dengan mengasumsikan bahwa jika kebijakan diterapkan dengan sungguh-sungguh maka tidak ada lagi toleransi bagi pelaku kejahatan.
Baca Juga: Mengapa Perlu RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual?
Kekerasan seksual sering ditangani dalam kerangka moralitas, kesopanan, atau sering lebih dikaitkan dengan permasalahan kehormatan individu korban, serta sebagai kejahatan kehormatan terhadap keluarga dan masyarakat. Oleh karenanya penghapusan kekerasan seksual dimaknai sebagai sebuah upaya dan pendekatan komprehensif agar kekerasan seksual tidak terjadi, menghentikan kekerasan seksual, dan mencegah terjadinya keberulangan kekerasan seksual. Penggunaan kata “penghapusan” dimaksudkan supaya RUU ini dapat memuat elemen-elemen penting secara komprehensif, bukan hanya dimensi penindakan dan pencegahan, tetapi memastikan pemulihan, pemenuhan hak-hak korban, aspek partisipasi masyarakat, sistem pengawasan dan mengatur hukum acara yang tidak hanya memudahkan implementasinya bagi APH, tetapi juga bagi korban dan pendamping korban.
Semua muatan yang disebutkan tadi secara substantif penting tertuang dalam RUU TPKS, sebab untuk saat ini, pidana dalam arti subyektif telah memberikan kewenangan kepada negara untuk menegakkan hukum pidana. Namun, secara implementatif nampaknya kewenangan dalam pengaturan mengenai kekerasan seksual masih terbatas, sempit, tidak memberi kepastian dan keadilan bagi korban termasuk pada pelaku. Misalnya, hak korban atas pemulihan dan rehabilitasi berupa tindakan korektif pada pelaku. Kedua hal tersebut belum terintegrasi hampir di semua pengaturan tentang penghapusan kekerasan seksual saat ini. Negara baru merepresentasikan pada kewenangan dengan menghukum pelaku kekerasan seksual seberat-beratnya, bahkan dengan hukuman kebiri yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Perlindungan Anak dan perubahannya serta Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.
Belum ada pemikiran mengenai perlunya tanggung jawab dan kewenangan untuk merehabilitasi pelaku kekerasan seksual. Begitupula terkait upaya memulihkan korban, termasuk pemulihan dalam rangka mengembangkan keseimbangan restitution on integrum. Padahal sesuai dengan konsep politik hukum penghapusan kekerasan seksual yang komprehensif berdasarkan UUD NRI Tahun 1945, seharusnya ada empat hal pokok yang harus diperhatikan. Pertama, terkait kebijakan pencegahan (primary prevention) segala bentuk kekerasan; kedua, perlindungan kepentingan hak-hak dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual; ketiga, pemidanaan (penal) dan penindakan (maatregel) untuk rehabilitasi bagi pelaku kekerasan seksual; keempat, pemulihan keseimbangan tatanan (restitution an integrum) dan partisipasi masyarakat (Ninik: 2021:326).
Konsep hukum penghapusan kekerasan seksual disebut sebagai politik hukum integratif karena dalam pengaturannya tidak saja mengintegrasikan kebijakan dalam konteks pidana (penal) tapi juga kebijakan selain pidana (nonpenal). Konteks tersebut mengarah pada pemulihan dan rehabilitasi. Pemulihan yang dimaksud adalah pemulihan bagi korban kekerasan seksual serta pemulihan keseimbangan tatanan masyarakat. Sedangkan rehabilitasi ditujukan kepada pelaku kekerasan seksual dengan tujuan mengubah perspektif dan perilaku negatif dalam dirinya. Pemulihan keseimbangan ini penting, untuk memastikan ketidakberulangan (Ninik: 2021)
Perubahan Bentuk Kekerasan Seksual
Setiap hari setidaknya ada 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual, artinya setiap 2 jam ada 3 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual yang dicatat oleh Komnas Perempuan dalam kurun waktu 10 tahun (2001-2011) (Liputan 6, 17/12/2021). Selama dawasarsa tersebut, Komnas Perempuan menemukan ada 15 bentuk kekerasan seksual, yaitu perkosaan, intimidasi seksual (ancaman/percobaan perkosaan), pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan tujuan seksual, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan sentralisasi, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, praktik atau tradisi bernuansa seksual yang membayahakan atau mendiskriminasi, penyiksaan seksual, dan kontrol seksual. yang kemudian dikerucutkan menjadi 9 bentuk kekerasan seksual dalam RUU PKS yang diusulkan tanggal 13 agustus 2016. Meliputi pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. lalu lebih dikerucutkan lagi menjadi 4 bentuk kekerasan seksual saat RUU PKS menjadi Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menyisakan pelecehan seksual, pemaksaan alat kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual (kata perkosaan yang sengaja diperhalus), dan eksploitasi seksual.
Pemangkasan bentuk kekerasan seksual adalah invalidasi terhadap pengalaman korban yang ditemukan, nyata peristiwa dan korbannya. Jika dilihat dari dampaknya, kekerasan seksual bukan suatu hal yang main-main. Dampak secara kesehatan reproduksi trauma genekologis, kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi yang tidak aman, disfungsi seksual, dan penyakit menular seksual termasuk HIV. Dampak pada kesehatan mental dapat menyebabkan korban mengalami depresi, kecemasan, kesulitan tidur, keluhan somatik, panik, dan keinginan bunuh diri. Secara perilaku berisiko tinggi (misalnya, hubungan seks tanpa kondom, awal inisiasi seksual konsensual, memiliki banyak pasangan, alkohol, dan penyalahgunaan narkoba), dan resiko yang lebih tinggi untuk melakukan (untuk pria) atau mengalami kekerasan seksual berikutnya untuk perempuan (Ninik, 2021: 91).
Baca Juga: Politik Hukum Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia
Urgensi dalam RUU TPKS yang memuat jenis kekerasan seksual sesuai dengan pengalaman hidup korban dipangkas menjadi beberapa bagian kecil saja. Jika satu jenis kekerasan seksual yang diusulkan tidak diakomodasi, artinya juga ada dampak serius yang tidak diperhitungkan dalam mengurai permasalahan kekerasan seksual, pengungkapan kebenaran dan pemenuhan hak korban serta mencegah keberulangan. Kekerasan seksual yang dialami perempuan sesuai jenisnya akan menjadi trauma panjang, bahkan beban seumur hidup korban secara langsung dan keluarga serta komunitas korban serta negara secara tidak langsung. Maka seyogyanya kita perlu memperjelas memastikan terintegrasinya bentuk-bentuk kekerasan seksual yang belum tertuang dalam RUU TPKS versi tanggal 18 Januari 2022, setidaknya unsur-unsurnya terintegrasi 9 bentuk kekerasan seksual tersebut meliputi pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual (Ninik: 2021:104)
Pengertian Kekerasan Seksual dan Penghalusan Bahasa Perkosaan
Dalam draf Naskah Akademik RUU PKS, dalam Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang dan atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan politik (Baca Draft Akademik RUU PKS 2017). Sementara dalam bab dan pasal yang sama, pengertian kekerasan seksual dibuat lebih sederhana dan ringkas, yakni setiap perbuatan yang bersifat fisik dan atau non fisik, mengarah kepada tubuh dan atau fungsi alat reproduksi yang disukai atau tidak disukai secara paksa dengan ancaman, tipu muslihat, atau bujuk rayu yang mempunyai atau tidak mempunyai tujuan tertentu untuk mendapatkan keuntungan yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, dan kerugian secara ekonomis (Baca Draft RUU TPKS 2021). Definisi kekerasan seksual dalam draft RUU PKS lebih rinci dibandingkan RUU TPKS.
Kalimat “seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas” yang terdapat RUU PKS ingin menitikberatkan bahwa kasus kekerasan seksual yang berakhir dengan “damai” dengan alasan disetujui oleh korban saat melakukannya, harus ditelisik lebih dalam apakah persetujuan itu dalam keadaan bebas atau terkekang.
Selain perubahan pengertian kekerasan seksual, RUU TPKS juga memperhalus kata “perkosaan” menjadi “pemaksaan hubungan seksual”. Perkosaan adalah serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan menggunakan penis ke arah vagina, anus atau mulut korban. Bisa juga menggunakan jari tangan atau benda-benda lainnya. serangan dilakukan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, penahanan, tekanan psikologis, penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang penuh paksaan (Ninik, 2021).
Dari pengertian itu kita bisa melihat bahwa perkosaan tidak hanya diartikan pelaku menggunakan penis, tetapi juga jari tangan atau benda-benda lainnya. Sementara pemaksaan hubungan seksual yang sering kali diputuskan memiliki ciri-ciri, yaitu: Pertama masuknya penis ke dalam vagina (Penetrasi). kedua penis mengeluarkan air mani atau sperma, baik di dalam maupun di luar vagina (ejakulasi). Apakah nantinya makna pemaksaan hubungan seksual ruang lingkup kasusnya akan sama atau lebih sempit maknanya dari “perkosaan”?
Tidak Adanya Perlindungan pada Korban
Komponen kompleks yang dibangun dalam RUU ini meliputi pencegahan, penanganan, perlindungan, pemulihan korban, dan penindakan pelaku. Antara komponen satu dengan komponen lainnya adalah suatu iklim utuh yang tidak boleh dipecah. Tujuan dari kompleksitas tersebut untuk menghapuskan kekerasan seksual yang ada, sesuai dengan judul pertamanya RUU Penghapusan Kekerasan seksual. Sebaliknya, jika satu komponen dihapus atau tidak dipertimbangkan dengan matang, maka akan berpengaruh terhadap komponen lainnya. Itu artinya pengaruh tersebut juga akan menyentuh kehidupan korban.
Berdasarkan temuan Koalisi Masyarakat Sipil Antikekerasan Seksual (KOMPAKS), RUU PKS per September 2020 berjumlah 128 pasal. Kemudian, jumlah itu turun drastis dalam RUU TPKS per 30 Agustus 2021 menjadi 43 pasal (CNN, 3/9/2021). Dalam temuan itu terdapat larangan bagi APH melakukan tindakan diskriminatif dalam proses penegakan hukum perkara kekerasan seksual. Hal ini nantinya akan berdampak pada korban kekerasan seksual disabilitas yang memerlukan penanganan khusus seperti juru bahasa isyarat. Tidak hanya itu, peran paralegal sebagai pendamping korban kekerasan seksual juga dihapuskan. Yang perlu diatensi memang bukan soal jumlah pasal dalam undang-undang, tetapi memastikan substansi atau unsur-unsur bentuk kekerasan seksual terakomodasi dalam undang-undang ini.
Perlindungan bagi korban adalah esensi penting dan mutlak adanya dalam undang-undang ini. Korban selalu dalam posisi yang tidak terlihat, tertutupi kebutuhannya. Salah satunya karena relasi kuasa. Kekerasan seksual terjadi salah satunya akibat relasi kuasa, ketika relasi kuasa dalam kekerasan seksual ini diurai, pelaku memiliki lahan dan kewenangan yang lebih kuat dari pada korban dan pemulihan korban akan terabaikan. Bahkan tidak jarang, tekanan serta sikap manipulatif pelaku langsung dan pelaku tidak langsung akan dimunculkan dalam menahan korban untuk mengungkap dan mencabut tuntutannya. Padahal semangat perlindungan bagi korban akan memberi suntikan semangat untuk berani mengungkap fakta dengan yang sebenar-benarnya. Perlindungan ini adalah kewajiban yang harus dipenuhi negara kepada warga negaranya. Lalu, di detik-detik pembahasan ulang apakah RUU TPKS yang akan segera disahkan tersebut akan memihak kepada korban atau justru sebaliknya?
Kosongnya Pengaturan KBGO
KUHP hanya mengatur bentuk kekerasan seksual perkosaan, tidak secara spesifik melingkupi bentuk kekerasan seksual lainnya. Oleh karena itu RUU TPKS menjadi begitu penting memuat berbagai bentuk kekerasan seksual termasuk Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Kekerasan berbasis gender online yang difasilitasi teknologi, sama seperti kekerasan berbasis gender di dunia nyata, tindak kekerasan tersebut harus memiliki niatan atau maksud melecehkan korban berdasarkan gender atau seksual. Beberapa aktivitas yang dapat dikategorikan sebagai KBGO meliputi pelanggaran privasi, pengawasan dan pemantauan, perusakan reputasi, pelecehan, ancaman dan kekerasan langsung, dan serangan yang ditargetkan ke komunitas tertentu (SAFEnet- Southeast Asia Freedom of Expression Network). Kecanggihan teknologi masa kini ternyata juga tidak selalu dapat menjadi ruang aman bagi perempuan. Kekerasan yang terjadi serupa tapi tak sama dengan bentuk kekerasan seksual di dunia nyata, perbedaannya terletak pada media.
RUU TPKS adalah wadah yang teramat penting untuk mengakomodasi kekerasan seksual yang terjadi di dunia digital. Dalam RUU TPKS, pelaku KBGO bisa terancam pidana maksimal 6 tahun penjara. Termuat di pasal 5, (1) Setiap orang yang mengirim dan/atau menyebarluaskan gambar dan/atau rekaman segala sesuatu yang bermuatan seksual kepada orang lain, di luar kehendak orang lain tersebut, atau dengan maksud memeras/menganvam/memperdaya agar orang itu tunduk pada kemauannya, dipidana karena melakukan pelecehan seksual berbasis elektronik dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
Setelah sebelumnya mengalami kekosongan bentuk kekerasan seksual, seiring dengan banyaknya dialog serta suara terbuka dari berbagai pihak, KBGO menjadi salah satu norma hukum yang akan termuat dalam RUU TPKS (Tirto.id, 5/1/2022). Dalam ruang digital atau ekosistem digital, kemajuan teknologi ini berimplikasi nyata kepada perempuan. Berdasarkan publikasi SAFEnet, selama tahun 2020 terdapat 620 laporan kasus KBGO yang dilaporkan kepada SAFEnet (Kompas.com, 1/9/2021). Ternyata banyak orang menggunakan tubuh perempuan sebagai objek seksual yang dia tidak sadar bahwa itu melecehkan, menyakiti dan lainnya. UU yang selama ini tersedia tidak bisa menjangkau kasus ini, karena dalam KUHP harus kekerasan berdimensi fisik, bukan non fisik. Harapannya dengan adanya undang-undang yang mengatur Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) ini nantinya, kita semakin terlindungi di era kemajuan teknologi ini. []
Tenaga Profesional Lemhannas RI-DPP IKAL Lemhannas RI, Direktur Jalastoria