Ketidakadilan Gender di Balik Proyek “Air Bersih dan Sanitasi”
Oleh : Anggalih Bayu Muh Kamim
Proyek sanitasi dan penyediaan air bersih pada awalnya muncul sebagai bagian dari politik etis sejak tahun 1901, di mana awalnya berfokus pada pembangunan MCK (mandi, cuci, kakus) dan penerapan denda bagi yang enggan menggunakan. Tahun 1924 dengan pendanaan dari Rockefeller Foundation fokus berubah menjadi penanganan penyebaran cacing tambang melalui penerapan gaya hidup yang sehat dan higienis.
Proyek Rockefeller dimulai di Banten dengan menggunakan wadah organisasi serta fokus pada kegiatan pendidikan publik dan penyediaan sendiri jamban oleh masyarakat. Sedangkan dinas pemerintah di bawah pemerintah kolonial menggunakan pendekatan “pemaksaan” dengan menghendaki pembangunan fasilitas jamban dan pembagian obat cacing. Pendekatan Rockefeller relatif lebih berhasil dibandingkan apa yang ditempuh pemerintah kolonial disebabkan jamban yang dibangun pemerintah jarang digunakan oleh penduduk.
Engel dan Susilo (2014) menjelaskan bahwa proyek yang didanai oleh Rockefeller menekankan pada peran dari mantri kesehatan dalam mensosialisasikan penggunaan sanitasi yang tepat, sehingga tak menimbulkan pencemaran tanah dan air. Para mantri awalnya terdiri dari laki-laki yang “melek huruf” dan telah mendapatkan pelatihan mengenai kebersihan terutama penanganan cacing tambang. Film Bisu juga diproduksi untuk mensosialisasikan gaya hidup higienis.
Studi Engel dan Susilo (2014) menemukan bahwa cara sosialisasi yang dilakukan oleh Rockefeller cenderung “rasis” dengan menganggap “gaya hidup” orang Jawa sebelumnya tidak “sehat dan bersih.” Misalnya ditunjukkan dengan tayangan penduduk desa yang memegang panci berisi cacing yang dikeluarkan dari tubuh mereka. Pembangunan jamban dengan bahan lokal pun cukup mahal apalagi pasca depresi ekonomi tahun 1930. Rockefeller bersama agen-agennya juga menentang penyediaan fasilitas sanitasi oleh negara dan lebih menginginkan penyediaan dan pengelolaan sendiri oleh masyarakat.
Baca Juga: Perlu Ekosistem Dukungan bagi UMKM
Pasca kemerdekaan Bank Dunia sejak tahun 1978 menghentikan dukungannya terhadap pembangunan sanitasi di pedesaan dan mengalihkan fokus pada penyediaan sanitasi pada penataan “permukiman kumuh” perkotaan. Penduduk desa dianggap “sulit untuk diajak belajar” menggunakan dan membangun sanitasi yang berakibat pada jamban tak terpakai. Tahun 1990-an Bank Dunia memulai pembangunan sanitasi dengan fokus penyediaan dengan “peran serta masyarakat,” artinya peran negara dalam penyediaan layanan publik seperti air bersih dan MCK semakin dikurangi.
Menurut Engel dan Susilo (2014) sampai dengan tahun 2008 sebanyak 30-40% warga desa masih melakukan tindakan buang air sembarangan. Hal tersebut menunjukkan ketiadaan minat pemerintahan untuk menyediakan sanitasi dan air bersih di tengah situasi depolitisasi pedesaan mengikuti cara kolonial yang dihidupkan pada masa orde baru. Depolitisasi berdampak pada minimnya dorongan dari rakyat untuk menuntut hak air bersih dan sanitasi. Pelaksanaan otonomi daerah sejak tahun 2001 dengan menyerahkan pembangunan sanitasi dan air bersih pada pemda kabupaten juga belum membuahkan hasil. Pendanaan dari donor Bank Dunia, Jepang dan Belanda juga masih pada lingkup yang terbatas. Studi Engel dan Susilo (2014) yang dilakukan dalam konteks pelaksanaan Community-Led Total Sanitation (CLTS) ditemukan bahwa masyarakat terbebani untuk membangun MCK dengan uang sendiri.
Akibat lebih lanjut dari minimnya penyediaan akses air bersih dan sanitasi oleh pemerintah membuat masyarakat harus memenuhi kebutuhan dengan mencari sumber air sendiri. Kajian Irianti dan Prasetyoputra (2019)menemukan bahwa sebanyak 42,3% rumah tangga yang dikaji mengandalkan pada peran perempuan dewasa dalam mengambil air dari sumber, 1,57% rumah tangga bahkan mengandalkan anak perempuan dalam pengambilan air. Perempuan dan anak-anak yang tinggal di NTB, NTT, dan Papua menanggung beban pengumpulan air yang lebih rentan dibandingkan daerah lain terutama pada wilayah pedesaan. Hal tersebut disebabkan di NTT dan NTB minim akses air dari pipa. Ketersediaan sumber air di kedua daerah terbatas pula.
Irianti dan Prasetyoputra (2019) menemukan bahwa semakin lama durasi waktu untuk mengumpulkan air semakin kecil kemungkinan pengambil airnya adalah perempuan dibandingkan laki-laki. Kepala keluarga yang berpendidikan lebih sedikit bergantung pada perempuan dalam pengambilan air dibandingkan laki-laki. Kepala keluarga yang terdidik juga berpengaruh kepada anak-anak yang semakin kecil kemungkinan bertugas sebagai pengumpul air. Rumah tangga dengan sanitasi yang baik memiliki kemungkinan yang semakin kecil bagi perempuan bertugas menjadi pengumpul air. Rumah tangga yang kepala keluarganya bekerja memiliki kemungkinan semakin besar bagi perempuan bertugas sebagai pengumpul air. Perempuan yang menjadi kepala keluarga semakin memiliki kemungkinan bagi perempuan maupun anak-anak bertugas menjadi pengumpul air.
Baca Juga: Ngobrolin Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi
Minimnya penyediaan air bersih dan sanitasi mendorong pula perempuan untuk menjadikannya sumber penghidupan maupun bekerja sebagai petugas kesehatan/sanitarian pada bidang tersebut. Studi yang dilakukan oleh Indarti et.al., (2019) menunjukkan bahwa terdapat motivasi ekonomi dan sosial bagi perempuan membuka usaha terkait bidang sanitasi dan air bersih. Motivasi ekonomi umumnya disebabkan perempuan kehilangan suami, kecacatan pasangan/keadaan sakit ataupun status lajang. Perempuan kemudian menjadi tulang punggung keluarga menggantikan peran suami ataupun menjadikannya sumber pendapatan tambahan, meskipun berusaha mereka tak ingin mencapai “keuntungan yang berlebih.”
Motivasi sosial turut mendorong perempuan bergantung hidup pada bidang sanitasi termasuk memengaruhi keengganan mereka mengejar “keuntungan yang berlebih.” Perempuan yang memiliki usaha terkait sanitasi maupun air bersih yang dikaji oleh Indarti beralasan bahwa bagi mereka yang penting adalah “melayani masyarakat.” Mereka yang bekerja sebagai petugas kesehatan pun memprioritaskan “hubungan sosial” dengan alasan “dapat berinteraksi dengan orang.” Perempuan yang menjadi petugas kesehatan enggan membuka bisnis disebabkan sudah ada temannya yang membuka usaha pada bidang tersebut. Menurut Indarti et.al., (2019), motivasi sosial tersebut adalah bentuk peran perempuan dalam “memajukan kepentingan masyarakat” dalam bidang sanitasi dan air bersih sekaligus menentang norma gender dari struktur budaya yang meminggirkan perempuan.
Posisi sanitarian yang berada di tingkat kecamatan sebenarnya berada dalam posisi kerja yang rentan disebabkan berada dalam posisi kerja kontrak bahkan sukarela. Studi Soeters et.al., (2021) dalam konteks Sumbawa dan Manggarai menemukan bahwa perempuan lebih banyak bekerja pada status non-PNS (Pegawai Negeri Sipil). Perempuan kesulitan menjadi PNS secara umum disebabkan mereka harus mengambil pelatihan yang harus dijangkau dengan mengeluarkan biaya ekstra terkait dengan urusan domestik. Pengambilan keputusan di dalam keluarga yang masih memberikan penonjolan kuasa pada suami juga menyebabkan para perempuan yang menjadi sanitarian kesulitan mengikuti pelatihan.
Kebutuhan sanitarian perempuan untuk melakukan perjalanan jauh dalam pengecekan lapangan juga masih terpasung oleh norma gender masyarakat yang memandang bahwa mereka harus bepergian jauh ditemani oleh pendamping laki-laki. Para sanitarian perempuan menjadi harus menyesuaikan jadwal mereka dengan sanitarian laki-laki. Kesulitan semakin dihadapi oleh sanitarian perempuan yang sudah menikah terkadang tak dikehendaki oleh atasannya (laki-laki) untuk terjun ke lapangan.
Baca Juga: Perempuan: Antara Cita-cita dan Diskriminasi Gender
Stigma yang mengidentifikasi profesi yang berkaitan dengan bidang pekerjaan umum dengan laki-laki turut pula meminggirkan perempuan yang menjadi sanitarian. Atasan memandang bahwa bagi perempuan yang sudah menikah cukup “mengurus internal kantor.” Masalah ini juga muncul sebagai konsekuensi sulitnya sanitarian perempuan berada pada jenjang karier yang lebih tinggi. Sanitarian perempuan juga belum mendapatkan akses ruang bagi ibu menyusui di kantor apalagi fasilitas penitipan anak.
Masalah akses sanitasi dan air bersih yang teratasi akan mengurangi beban perempuan bahkan anak-anak dalam pengambilan air juga membuat mereka tak harus merogoh uang untuk mencukupi kebutuhan dasar. Akses yang terpenuhi juga mengurangi beban masyarakat dalam pembangunan fasilitas MCK oleh mereka sendiri. Kita harus lepas dari doktrin lembaga donor yang sejak era kolonial melepaskan tanggungjawab pemerintah.
Sanitarian perempuan yang bertugas memastikan adanya akses air dan sanitasi juga harus dibebaskan dari segala bentuk stigma dan jeratan norma gender yang meminggirkan. Sanitarian perempuan harus diberikan jaminan kesejahteraan sampai dengan kepastian jenjang karier dan pelatihan. Hal tersebut disebabkan mereka juga berperan penting dalam kesuksesan pelaksanaan program sanitasi dan air bersih, apalagi studi Soeters et.al., (2021) menunjukkan bahwa sanitarian perempuan lebih mudah berkomunikasi dengan masyarakat dibandingkan sanitarian laki-laki.[]
Penulis Independen pada topik kebijakan publik, agraria, dan masalah penghidupan; Alumnus Departemen Politik & Pemerintahan FISIPOL UGM