Perempuan: Antara Cita-cita dan Diskriminasi Gender

 Perempuan: Antara Cita-cita dan Diskriminasi Gender

Ilustrasi (Sumber: Pch.vector/Freepik.com)

Oleh: Wida Mardiah

 

Setiap manusia yang terlahir ke dunia memiliki kekuatan untuk berusaha menggapai mimpi-mimpinya. Begitupun dengan saya, terlahir dari keluarga yang sangat sederhana, bahkan bisa dikatakan serba kekurangan. Ayah seorang nelayan dan ibu hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Tapi saya begitu bersyukur karena tumbuh di tengah-tengah keluarga yang penuh cinta dan begitu peduli akan pendidikan, baik pendidikan agama maupun pendidikan formal. Ayah yang hanya seorang nelayan bertekad untuk menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi. Beliau berkata: “Nak, Ayah sekolah SMP saja tidak beres. Kamu mah harus bisa sampai kuliah. Ayah akan bekerja sekuat tenaga agar kamu bisa sekolah sampai lulus S1.”

Manusia memang hanya bisa berencana, tapi Allah Sang Maha Pemilik Semesta yang menentukan suratan takdir bagi hamba-Nya. Sebelum mimpi ayah tercapai, 30 Desember 2005 beliau lebih dahulu dipanggil Sang Maha Kuasa saat saya masih duduk di kelas X SMA. Saat itu dunia terasa mau runtuh, separuh jiwa melayang ikut pergi bersamanya.

Dua bulan setelah kepergian ayah tercinta, saya memutuskan untuk berhenti sekolah karena memang sudah tidak ada semangat dalam dada. Hidup terasa hampa dan tak tahu arah, saat itu saya merasa dunia sangat tidak adil karena telah mengambil ayah tercinta untuk selamanya.

Setelah 100 hari kepergian ayah, di sana mulai tumbuh rasa ingin melanjutkan hidup dengan segala problematika yang ada di dalamnya. Saya memiliki keinginan untuk melanjutkan sekolah, meskipun terdengar beberapa obrolan sumbang dari tetangga. “Sudah gak punya ayah saja sok gaya mau melanjutkan sekolah, kan tetap perempuan mah ujung-ujungnya ke sumur, kasur, dapur”.

Baca Juga: Bercerita tentang Diskriminasi Berbasis Gender (Bagian 2)

Mereka berkata seperti itu karena memang di lingkungan masyarakat tempat tinggal saya saat itu masih sedikit yang melanjutkan sekolah ke jenjang SMA. Rata-rata anak mereka sekolah sampai SMP kemudian mencari kerja ke kota. Saat itu diskriminasi terhadap kaum perempuan masih sangat kental. Perempuan cukup mengurus rumah, anak, dan suami.

Syukur alhamdulillah saya tumbuh di tengah-tengah keluarga yang sadar pentingnya pendidikan. Semua keluarga mendukung dan memberikan motivasi di tengah segala keterbatasan yang mereka miliki. Juli 2006 saya mulai masuk lagi SMA mengulang lagi dari kelas X. Mulai menata kembali hidup dan berusaha menggapai cita-cita almarhum ayah yang selalu terngiang di telinga bahwa saya harus bisa sekolah sampai lulus S1.

Di tengah perjuangan menggapai cita-cita, saya kembali harus berpisah dengan orang tersayang. Karena keadaan ekonomi yang sangat lemah, saya dan adik harus hidup tanpa ibu. Juli 2007 ibu memutusakan untuk bekerja menjadi pekerja migran di Saudi Arabia. Berat sekali rasanya beban yang harus saya pikul, menjadi ayah, ibu, sekaligus kakak untuk adik saya satu-satunya. Selain itu, setelah pulang sekolah saya juga mempunyai kewajiban untuk mengajar anak-anak tingkat SD sekolah agama dari pukul 14.00 s/sd 15.30 WIB. Memang semua terasa begitu berat, tapi di sanalah saya tumbuh dan berkembang menjadi dewasa sebelum masanya karena dipaksa oleh keadaan.

Baca Juga: Eksploitasi di Sekeliling Pekerja Migran Tidak Berdokumen

Alhamdulillah, Desember 2009 Allah menyatukan saya dengan orang yang benar-benar menyayangi saya sepenuh jiwa dan raganya. Beliau selalu mendukung segala aktivitas positif untuk istri tercintanya tumbuh dan berkembang mulai dari memberikan izin istri untuk menjadi Tata Usaha dan mengajar (2009 s/d sekarang), bekerja di Badan Pusat Statistik (2010-2019), bekerja di bidang sosial sebagai pendamping Kelompok Usaha Bersama wilayah pesisir (2018-2019), dan mendukung penuh secara moril dan materil untuk melanjutkan kuliah S2 di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (2020-sekarang). Saya begitu beruntung memiliki pendamping hidup yang sangat bertanggung jawab dan mendukung di setiap keadaan serta memberikan segala yang terbaik untuk anak dan istri. Meskipun beliau hanya lulusan SMP tapi beliau tidak pernah mendiskriminasi pendidikan untuk istri tercintanya melanjutkan ke jenjang S2.

Di sini saya menyadari bahwa apapun bentuk rasa perih atas kehilangan dan getirnya berjuang, suatu saat Allah akan memberikan setimpal dengan rasa manis yang bahkan manusia tidak mampu untuk menebaknya. Saya juga bersyukur telah menemukan jawaban dari bentuk diskriminasi di tahun 2006, telah dihapus secara manis oleh suami saya tercinta bahwa perempuan juga memiliki hak yang sama dalam bidang pendidikan selama dia mampu melaksanakan kewajiban utamanya menjadi seorang istri bagi suami dan ibu bagi anak tercinta.[]

 

Garut, 13 April 2022

 

Seorang perempuan dengan cita-cita tinggi yang dikuatkan dan didewasakan oleh keadaan

 

Digiqole ad