Kapan Anak-Anak Memilih Mainan Mereka Sendiri?

 Kapan Anak-Anak Memilih Mainan Mereka Sendiri?

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Oleh: Mohammad Lutfi Maula

Ketika melintasi salah satu toko mainan, saya menatap heran pada plakat bertuliskan “Mainan Perempuan” yang terpampang di atas rak panjang dengan tinggi kurang lebih 1,5 meter. Tampak jejeran boneka dengan segala pernak-perniknya mendominasi isi rak tersebut.

Sama herannya ketika sekilas saya mengedar pandang, terdapat juga satu rak di salah satu sudut berisikan pistol-pistolan, mobil-mobilan, robot-robotan, dan di atas rak tersebut terpampang plakat “Mainan Laki-laki.”

Apa yang membedakan mainan perempuan dengan mainan laki-laki? Mengapa mainan harus dibedakan berdasarkan gender? Begitulah pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi isi kepala saya.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengambang sedemikian lama dan pada akhirnya mendorong saya untuk mencari jawab. Tetapi kebanyakan jawaban yang saya temukan tidak cukup memuaskan. Hanya saja, terdapat dalih serupa dari hampir semua jawaban tersebut: bahwa mainan tersebut diperuntukkan bagi anak-anak. Sialnya, dari situ pun timbul lagi pertanyaan: mengapa orang tua/dewasa merasa berhak menentukan itu?

Saya rasa, Roland Barthes dalam kumpulan esainya, Mythologies, ada benarnya ketika secara cermat ia menjelaskan bahwa pada dasarnya mainan anak-anak adalah sebentuk dunia mikrokosmos hasil imitasi yang disusun dari pelbagai mitologi kehidupan yang orang tua lakoni. Terlebih mite-mite peran domestik dan publik yang kerap timpang.

Baca Juga: Suara Anak: Beri Kami Kesempatan dan Stop Jadikan Kami Dekorasi

Saya rangkum dan parafrase sepenggal kalimat dalam esainya sebagai berikut: “Fakta bahwa mainan anak-anak secara literer menunjuk pada fungsi dunia orang dewasa yang tak lain agar mempersiapkan anak-anak untuk menerima itu semua, dibentuk sebagai miniatur untuk anak-anak, bahkan sebelum mereka mampu berpikir tentang hal itu.”

Hingga kemudian mainan-mainan yang orang tua/dewasa anggap lebih maskulin seperti pistol-pistolan dan mobil-mobilan akhirnya memicu anak laki-laki berpikir serta meyakini bahwa mereka dituntut senantiasa memiliki citra maskulin, agresif, superior dan kelak akan berperan di ranah publik. Sebaliknya melalui boneka dan mainan masak-masakan yang dianggap feminin, anak-anak perempuan dituntut selalu merawat sifat femininnya dan kelak peran mereka dibatasi hanya pada ranah domestik.

Sedari dulu terlampau banyak orang tua mewariskan pola asuh yang amat didaktis, baik secara implisit maupun eksplisit. Hal itu bisa dilihat, misalnya, bagaimana para orang tua kebanyakan hampir selalu merasa perlu merecoki ruang kreatif -jika boleh dikatakan demikian- dalam proses pertumbuhan anak-anak. Tak sebatas mengatur laku tindak, pola pikir, cara berbusana, bahkan untuk urusan mainan pun tak luput mereka atur seturut ideal mereka melalui pelbagai dogma.

Saya, misalnya, saat kecil diberitahu bahwa sebagai anak laki-laki jauh lebih baik memainkan robot-robotan atau mobil-mobilan, alih-alih boneka atau bermain masak-masakan dengan seperangkat alat kitchen set.

Setali tiga uang dengan yang mayoritas orang tua/dewasa lakukan pada masa kini. Lihat saja bagaimana kebanyakan orang tua saat ini masih memilah sekaligus membedakan mainan anak berdasarkan gender.

Baca Juga: Warna Nggak Punya Jenis Kelamin

Bukan hal baru untuk diketahui, bahwa pengaruh mainan dalam proses tumbuh-kembang anak-anak sangat besar, oleh sebab itu tak dapat disepelekan. Banyak penelitian membuktikan bahwa mainan dapat membantu merangsang sekaligus mengasah kecerdasan anak. Tetapi sayangnya, penelitian lainnya juga membuktikan bahwa normalisasi pengelompokan stereotip gender mainan yang dilakukan para orang tua kelak turut memicu dampak buruk dalam diri anak.

Stereotip pengelompokan mainan semacam itu, seturut pernyataan Deborah Tolman dari Hunter College School of Social Work di New York, dapat dipastikan hanya akan mematikan kreativitas anak: anak-anak tidak boleh dipaksa untuk mengamini gagasan kolot yang didasari oleh konstruksi sosial dari peran gender.

Sebagai orang yang paling terdekat dan banyak berinteraksi dengan anak, sekaligus yang paling berpengaruh, agar imajinasi dan eksplorasi diri anak-anak tidak lagi terbatasi, semestinya para orang tua mampu menghindari pola asuh semacam itu.

Namun demikian, selain orang tua, peranan perusahaan pembuat mainan yang menyebabkan segregasi gender pada mainan anak-anak pun tak bisa dikesampingkan. Sebab, menukil Christia Spears Brown, dalam artikel di theguardian.com bertajuk “Are Gendered Toys HarmingChild Development”, bahwa sejatinya semua mainan netral gender. Tapi kemudian menjadi tidak netral gender karena terdapat ideologi pemasaran. “All toys are gender neutral. Whatis not neutralisthewaytoys are marketed.”

Dengan begitu, penting juga bagi orang tua untuk memahami peran dan/atau kepentingan para pemegang kapital dalam era kapitalisme di jaman kiwari. Kendati perusahaan mainan kerap melabeli mainan anak berdasar gender, orang tua tak lagi terpengaruh. Umpama, orang tua tetap dapat memberikan serta membiarkan anak perempuan main mobil-mobilan atau anak laki-laki main masak-masakan.

Baca Juga: Hari Anak Nasional, Ingat Lagi 5 Klaster Hak Anak

Yang penting dan tak boleh luput ialah pengajaran tentang peran domestik dan publik pada anak-anak. Pandangan bahwa tugas domestik adalah kodrat perempuan, sementara peran publik hanya diperuntukkan bagi laki-laki harus dihentikan. Pada hakikatnya laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki kesempatan untuk mengerjakan tugas domestik dan publik.

Mitos yang Mesti Dibongkar

Lebih dari sekadar persoalan segregasi gender, ada satu mitos yang cukup mengusik ihwal hubungan mainan dan anak-anak. Yakni, dikatakan jika anak-anak dapat mengidap penyimpangan orientasi seksual jika bermain dengan mainan yang dinilai tidak sesuai dengan gendernya. Tampaknya mitos itu cukup terawat di kalangan orang tua. Barangkali ini menjadi salah satu penyebab orang tua melanggengkan stereotip gender pada mainan anak-anak.

Oleh karenanya mitos ini pun mesti dibongkar. Dalam konteks ini, Dan Kindlon, Ph. D, psikolog dan profesor di Universitas Havard, telah berhasil membongkarnya melalui penelitian yang ia lakukan. Menurutnya, mainan yang digemari anak-anak tidak akan memengaruhi orientasi seksualnya saat ia dewasa kelak. Permainan hanyalah permainan, alat pendukung untuk berimajinasi dan bereksplorasi.

Lebih jauh, masih menurutnya, dengan mencoba berbagai jenis mainan, anak dapat mengetahui bidang mana yang menjadi passionnya. Selain itu, anak-anak yang mainannya tidak dikotak-kotakkan berdasar gender dibuktikan lebih mudah beradaptasi dengan baik di lingkungan sekitarnya.

Dengan begitu, mulai kapan para orang tua/dewasa akan membiarkan anak-anak memilih mainannya sendiri? []

 

Seorang pembaca buku

Digiqole ad