Hari Perempuan Internasional 2022: Seruan Penguatan Perlindungan pada Perempuan dari Kekerasan

 Hari Perempuan Internasional 2022: Seruan Penguatan Perlindungan pada Perempuan dari Kekerasan

Ilustrasi (Sumber: Rawpixel/Freepik.com)

JAKARTA, JALASTORIA.ID – Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap 8 Maret merupakan momentum untuk merefleksikan upaya pemenuhan hak-hak perempuan di berbagai bidang pembangunan, tak terkecuali untuk menghapuskan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan. Di tengah situasi pandemi Covid-19, refleksi yang dilakukan juga memberi perhatian terhadap kerentanan perempuan di tengah pandemi.

Hal itu sebagaimana disuarakan oleh sejumlah masyarakat sipil melalui rilis dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2022. Selain itu, JalaStoria juga mencatat seruan yang disampaikan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

Berdasarkan pantauan JalaStoria (8/3/2022), berikut ini sejumlah seruan Komnas Perempuan dan masyarakat sipil dalam momentum Peringatan Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2022:

 

  1. Komnas Perempuan: Perkuat Pencegahan dan Penanganan

Menjelang Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap 8 Maret, Komnas Perempuan pada Senin (7/3/2022) kembali melaporkan situasi kekerasan berbasis gender terhadap perempuan yang semakin memprihatinkan. Catatan tahunan (Catahu) 2021 memperlihatkan peningkatan signifikan hingga 50% kekerasan berbasis gender terhadap perempuan. Tercatat, sebanyak 338.496 kasus pada 2021, sementara tahun 2020 mencatat sebanyak 226.062 kasus.

Selain itu, data pengaduan ke Komnas Perempuan juga meningkat secara signifikan sebesar 80%. Pada 2020, data pengaduan masuk sebesar 2.134 kasus dan meningkat menjadi 3.838 kasus pada 2021.

Baca Juga: Data 3 Lembaga Bicara Kekerasan terhadap Perempuan

Namun demikian, jumlah kasus yang tinggi tidak berbanding lurus dengan penyelesaian yang dilakukan. Komnas Perempuan mencatat, sekitar 12% diselesaikan secara hukum, 3% secara nonhukum, namun terdapat 85% yang justru tidak diketahui informasi penyelesaiannya.

Oleh karena itu, Komnas Perempuan menyerukan antara lain kepada Kepolisian RI agar menerbitkan peraturan/pedoman di internal Kepolisian tentang perempuan berhadapan dengan hukum di tingkat penyelidikan/penyidikan. Selain itu, Kepolisian RI agar memastikan tidak terjadinya penundaan berlarut dalam penyelidikan/penyidikan kasus-kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, serta meningkatkan status untuk Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) menjadi setingkat direktorat agar memiliki daya dukung pelayanan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan.

Untuk meniadakan stagnasi dalam penanganan kasus kekerasan seksual, Komnas Perempuan juga menyerukan kepada DPR RI agar membahas dan mengesahkan RUU TPKS dengan menyempurnakan dan memastikan diadopsinya enam elemen kunci penghapusan kekerasan seksual. Hal lain yang juga menjadi perhatian adalah agar dalam RUU TPKS ditambahkan klausul terkait “sekolah berasrama” dalam program pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual dilakukan secara cepat, terpadu, dan terintegrasi dalam Bab Pencegahan, Koordinasi, dan Pemantauan RUU TPKS.

Baca Juga: 6 Masukan atas RUU TPKS

  1. SBMI: Perbaiki Respons Pemerintah untuk Pelindungan Buruh Migran Indonesia yang Kebanyakan Perempuan

Melalui momentum Peringatan Hari Perempuan Internasional 2022, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mengajak semua pihak mendorong perbaikan respons pemerintah dalam melindungi Buruh Migran Indonesia. Secara khusus, situasi pandemi menjadi perhatian terutama berdasarkan temuan studi SBMI  yang dilakukan selama Februari – Juni 2021,  tentang “Respons dan Tanggung Jawab Perwakilan RI dalam Melindungi Buruh Migran Indonesia dari Dampak Pandemi Covid-19” di 4 negara tujuan (Malaysia, Singapura, Hongkong dan Arab Saudi).

Dalam rilis yang diterima JalaStoria (8/3/2022), SBMI menyatakan studi tersebut mengungkap berbagai ketidakadilan gender termasuk kekerasan, stereotype, dan pelanggaran hak-hak terhadap Buruh Migran Indonesia di masa pandemi Covid-19. Antara lain, dirumahkan tanpa menerima gaji, kekerasan di tempat kerja baik fisik dan psikis maupun seksual, keterbatasan saluran informasi, masalah kepulangan, dan dampak kesehatan. Selain itu, tak sedikit juga yang mengalami stigmatisasi, yaitu dituduh sebagai pembawa virus, baik oleh pemerintah dan warga negara di negara tujuan, maupun oleh pemerintah dan sebagian masyarakat di tanah air.

Studi yang sama juga menemukan bahwa secara umum respons perwakilan RI masih belum memadai. Pemerintah juga masih belum maksimal dalam melindungi buruh migran perempuan dari berbagai pelanggaran dan kekerasan (fisik, psikis dan seksual) yang kasusnya meningkat selama pandemi Covid-19.

Baca Juga: Eksploitasi di Sekeliling Pekerja Migran Tidak Berdokumen

Menurut Hariyanto, Ketua Umum SBMI, Peringatan Hari Perempuan Internasional Tahun 2022 harus menjadi momentum refleksi Pemerintah Indonesia untuk segera melakukan langkah-langkah konkret untuk meningkatkan pelindungan Buruh Migran Indonesia, yang mayoritas perempuan, dari dampak pandemi Covid-19. Oleh karena itu, SBMI menyerukan antara lain Pemerintah RI harus segera membuat perjanjian tertulis dengan negara tujuan untuk memastikan perlindungan hak-hak Buruh Migran Indonesia, khususnya tentang:

  • Hak Buruh Migran Indoesia atas informasi dan untuk menggunakan alat komunikasi agar Buruh Migran Indonesia dapat mengakses informasi terkait Covid-19 serta dapat melakukan pengaduan secara online.
  • Jaminan kebutuhan dasar Buruh Migran Indonesia berupa tempat tinggal, makanan dan alat kebersihan dapat terintegrasi dalam undang-undang buruh lokal di negara tujuan sebagaimana mandat Pasal 31 UU Nomor 18 Tahun 2017.
  • Semua Buruh Migran Indonesia dapat menjadi peserta program asuransi yang berlaku di negara tujuan untuk memastikan pertanggungan risiko dampak Covid-19 yang tidak dicover Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia dapat tercover asuransi di negara tujuan.
  • Skema pembayaran bersama (co-payment) antara pemberi kerja dengan Buruh Migran Indonesia dalam asuransi kesehatan di Singapura harus diubah menjadi kewajiban pemberi kerja dalam hal akses layanan kesehatan dan penambahan cakupan asuransi kesehatan akibat Covid-19.

 

SBMI juga menyerukan kepada Kedutaan Besar RI (KBRI)/Konsulat Jenderal RI (KJRI) untuk menyampaikan informasi perkembangan Covid-19 di negara tujuan secara berkala melalui media kreatif yang mudah dipahami Buruh Migran Indonesia. Demikian pula dengan kebijakan vaksinasi di negara tujuan dan prosedur kepulangan pada masa pandemi dari bandara di negara tujuan hingga pemulangan ke kampung halaman.

Selain itu, setiap KBRI/KJRI harus memastikan layanan yang cepat, profesional, sensitif gender, dan berempati kepada korban. Demikian pula dengan penyediaan layanan khusus terkait pengaduan kekerasan fisik, psikologis dan kekerasan seksual yang dialami oleh Buruh Migran Indonesia, termasuk shelter dan layanan pemulihan yang memadai. Adapun terkait pemutusan kerja sebagai dampak Covid-19, SBMI menyerukan kepada KBRI/KJRI untuk memastikan Buruh Migran Indonesia yang di-PHK (pemutusan hubungan kerja – Red) karena terpapar Covid-19 mendapatkan perlindungan dari segala bentuk diskriminasi.

Baca Juga: Gaji yang Tidak Dibayar

SBMI juga mendukung pihak KBRI/KJRI untuk memberikan sanksi yang tegas kepada para staf kantor perwakilan yang melakukan tindakan tidak profesional, tidak etis, dan tidak berempati terhadap korban. Termasuk apabila melontarkan kata-kata merendahkan kepada Buruh Migran Indonesia yang menyampaikan pengaduan.

 

  1. Aksi Bersama: Jamin Perlindungan Sosial dan Perlindungan dari Kekerasan Seksual

Perempuan Mahardhika, Jaringan Muda Setara, Lingkar Studi Feminis, GERPUAN UNJ, KMPLHK RANITA, Kolektif Mahasiswa UPJ, GMNI UNPAM, BEM FH UI, KOPRI KOMFAKA, BEM UI, dan KSPN menyampaikan seruan dalam rilis pada Selasa, (8/3/2022) sebagai rilis Aksi Bersama Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2022. Aksi Bersama ini mengingatkan, awal 2022 merupakan babak baru dalam upaya penghapusan kekerasan seksual. Pasca pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi RUU Inisiatif DPR RI pada 18 Januari 2022,  pembahasan RUU ini dapat bergerak maju menjadi pembahasan bersama anara DPR RI dan Pemerintah.

Baca Juga: Detik-detik Menuju Paripurna DPR RI Penetapan RUU TPKS Tahun 2022

Menurut Ika dari Perempuan Mahardhika, salah satu peserta Aksi Bersama, kekerasan seksual mengancam perempuan dilihat tidak hanya dari fakta bahwa siapapun dapat menjadi korban atau bahwa kekerasan ini dapat terjadi di mana saja. Namun juga harus dilihat dari minimnya pertolongan agar korban dapat membela dan memperjuangan keadilan bagi dirinya. “Selain itu, juga terkait dengan impunitas pelaku yang disebabkan oleh kekosongan payung hukum yang dapat digunakan untuk memproses tindak kekerasan seksual tersebut,” ungkapnya.

Ika menuturkan, berdasarkan studi yang dilakukan Perempuan Mahardhika pada 2017, terdapat temuan bahwa di tengah ancaman kekerasan seksual, perempuan juga terhimpit dalam situasi tanpa jaminan pekerjaan dan pendapatan, sehingga rentan terhadap kemiskinan.

Oleh karena itu, Aksi Bersama ini menyerukan agar babak baru terkait RUU TPKS perlu melihat kerumitan persoalan yang dihadapi oleh korban. Dalam permasalahan kekerasan seksual, korban harus menghadapi norma sosial yang masih menganggap persoalan kekerasan seksual adalah aib. Demikian pula dengan permasalahan ketiadaan dukungan bagi korban untuk melapor dan mengadvokasi kasusnya tanpa resiko kehilangan pekerjaan, kehilangan pendapatan, dan resiko lainnya.

Selain itu, Aksi Bersama juga menyerukan agar pembahasan RUU TPKS antara DPR RI dan Pemerintah menggunakan prinsip partisipasi bermakna (meaningfull-participation). “Yaitu, dengan melibatkan kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian terhadap RUU tersebut agar dapat memiliki hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan,” tegas Ika.

Aksi Bersama juga menyerukan Pemerintah dan DPR RI harus menghentikan segala produk kebijakan yang bertolak belakang dengan skema perlindungan sosial, dan memastikan setiap orang terlindungi dari kemiskinan. []

 

Ema Mukarramah

 

Digiqole ad