Data 3 Lembaga Bicara Kekerasan terhadap Perempuan

 Data 3 Lembaga Bicara Kekerasan terhadap Perempuan

Tangkapan layar paparan Dewi Kanti, Komisioner Komnas Perempuan, dalam Webinar Laporan Sinergi Database Kekerasan terhadap Perempuan 3 Lembaga, Selasa (28/12/2021)

JAKARTA, JALASTORIA.ID – Bagaimana situasi kekerasan terhadap perempuan di Indonesia berdasarkan kasus kekerasan yang dilaporkan kepada lembaga penyedia layanan? Jawabannya tersaji dalam data SIMFONI PPA, SintasPuan, dan Titian Perempuan. Ya, ketiga sistem data itu mencatat kasus dan jumlah korban kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan berbasis gender.

3 Lembaga

Lies Rosdianty, Kepala Biro Data dan Informasi KPPPA menjelaskan, SIMFONI PPA adalah singkatan dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak. Aplikasi ini dibangun oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) sejak 2016. Data yang terdokumentasikan dalam aplikasi ini berasal dari pencatatan dan pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan dari lebih 4000 unit pengaduan di seluruh provinsi di Indonesia.

Berdasarkan JDIH Kemenpppa, SintasPuan adalah singkatan dari Sistem Pendokumentasian Kasus Kekerasan terhadap Perempuan.  SintasPuan dibangun oleh Komnas Perempuan, sebuah lembaga nasional yang berfungsi melakukan pemantauan terhadap pemenuhan dan pelaksanaan hak asasi manusia perempuan. Data yang dihimpun berasal dari pengaduan yang masuk ke lembaga ini.

Sementara itu, terdapat masyarakat sipil yang terhimpun dalam Forum Pengada Layanan (FPL) yang membangun aplikasi Sistem Informasi Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (Titian Perempuan). Sistem ini mendokumentasikan kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat di bawah naungan FPL yang bekerja di 15 Provinsi.

Adapun jenis data yang disajikan dalam ketiga sistem data itu meliputi: jumlah korban, jumlah kasus, karakteristik korban, ranah kekerasan, hubungan korban dan pelaku, karakteristik pelaku, jenis kekerasan, dan bentuk layanan yang dibutuhkan atau diakses oleh korban.

Baca Juga: Kekerasan terhadap Perempuan dan Upaya Pemberdayaan Korban

Bagaimana fakta kekerasan terhadap perempuan berdasarkan temuan dari ketiga sistem data tersebut? Berikut ini 9 hal yang JalaStoria rangkum dari Webinar Laporan Sinergi Database Kekerasan terhadap Perempuan 3 Lembaga, pada Selasa (28/12/2021).

  1. Anak Perempuan Paling Rentan Mengalami Kekerasan Seksual

Ketiga sistem data itu mencatat, anak perempuan paling rentan mengalami kekerasan seksual. Dalam rilis yang diterima JalaStoria (28/12/2021), SIMFONI PPA mencatat jumlah anak korban kekerasan seksual sebanyak 3.248 korban, SintasPuan 152 korban, dan 84 korban.

Walaupun demikian, Dewi Kanti, Komisioner Komnas Perempuan mengingatkan, bahwa sekalipun bukan yang terbanyak dilaporkan terjadi pada perempuan dewasa, bentuk kekerasan seksual sangat rentan dialami perempuan dewasa.

“Hal ini berdasarkan data Komnas Perempuan dan FPL, yang walaupun menunjukkan kekerasan seksual menempati posisi kedua setelah kekerasan psikis, rentan dialami perempuan dewasa,” ungkapnya.

  1. Ribuan Korban dalam Rentang Waktu 6 Bulan

Dalam webinar yang diselenggarakan secara daring tersebut, ketiga sistem data tersebut sama-sama menyajikan data kekerasan terhadap perempuan antara Januari-Juni 2021. Dengan demikian, ketiga sistem data tersebut menyajikan data berdasarkan kesamaan rentang waktu yang digunakan.

Menurut Dewi Kanti, sepanjang Januari-Juni 2021, SIMFONI PPA mencatat terdapat 9.057 korban kekerasan terhadap perempuan. Sementara korban yang mengadu ke Komnas Perempuan dan dicatat dalam SintasPuan sebanyak 1.967 korban, dan 806 korban yang terdata dalam Titian Perempuan.

  1. Pulau Jawa Tercatat sebagai Kasus Terbanyak

Baik SIMFONI PPA dan SintasPuan maupun Titian Perempuan ketiganya mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan paling banyak tercatat di Pulau Jawa. Sejumlah provinsi yang mencatat laporan kasus tertinggi adalah Jawa Tengah (SIMFONI PPA), Jawa Barat (SintasPuan), dan Jawa Timur (Titian Perempuan).

Hal tersebut, menurut Komisioner Komnas Perempuan Dewi Kanti, menunjukkan bahwa infrastuktur yang mendukung lembaga penyedia layanan untuk melakukan pendataan kasus di Pulau Jawa sudah melangkah maju.

  1. Pelajar dan Mahasiswa Terbanyak Menjadi Korban

Sementara itu,  berdasarkan pekerjaan korban, ketiga sistem data menunjukkan perempuan dengan status pelajar atau mahasiswa yang paling banyak menjadi korban. Hal ini berkorelasi dengan status perkawinan korban, di mana perempuan berstatus belum kawin paling banyak menjadi korban kekerasan.

Baca Juga: Predator Seksual Berjubah Agama: Pemberitaan  Media 2021

Adapun berdasarkan jenis kekerasan dan usia korban, SIMFONI PPA mencatat kekerasan seksual paling banyak terjadi pada anak perempuan. Sementara SintasPuan dan Titian Perempuan mencatat kekerasan psikis pada perempuan dewasa paling banyak diadukan.

  1. Suami, Pelaku Terbanyak dalam Ranah Personal

Berdasarkan ranah, ketiga data mencatat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau yang terjadi di ranah personal merupakan kekerasan yang paling banyak terjadi. Sementara dari sisi pelaku, tercatat bahwa suami merupakan pihak yang paling banyak dilaporkan dalam ketiga sistem data tersebut. Disusul berikutnya adalah secara umum pihak yang dikenal oleh korban, termasuk pacar dan mantan pacar.

Baca Juga: Suami Sering Membentak dan Melakukan Kekerasan Fisik

Sementara berdasarkan usia, pelaku terbanyak berada dalam rentang usia 18-59 tahun, atau rentang usia produktif. Walaupun demikian, SIMFONI PPA mencatat pelaku berusia di atas 60 tahun paling banyak melakukan kekerasan terhadap anak. Berdasarkan status perkawinan, pelaku terbanyak berada dalam status perkawinan.

  1. Guru, Pelaku Terbanyak di Ranah Komunitas/Publik

Adapun berdasarkan profesi, Dewi Kanti memaparkan, bahwa salah satu pelaku kekerasan di ranah publik (selain KDRT) yang teridentifikasi dalam ketiga sistem data itu adalah guru. “SIMFONI PPA mencatat guru sebagai pelaku 96 orang, SintasPuan 6 orang, dan Titian Perempuan 22 orang,” ungkapnya.

Ditambahkannya, hal ini penting menjadi perhatian karena para korban merupakan peserta didik yang berada dalam kondisi tidak berdaya (powerless) berhadapan dengan pelaku.

  1. Bentuk Layanan yang Dibutuhkan Korban

SIMFONI PPA mencatat, layanan kesehatan berada di urutan kedua yang paling banyak dibutuhkan oleh korban setelah layanan pengaduan. Sementara itu, layanan bantuan hukum berada di urutan ketiga.

Sementara SintasPuan mencatat layanan konsultasi psikologi dan konsultasi hukum merupakan bentuk layanan yang paling banyak dicari oleh korban. Demikian pula dengan konsultasi digital security yang menempati urutan ketiga, di mana layanan ini terkait dengan kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang dilaporkan.

Adapun Titian Perempuan mencatat layanan bantuan hukum dan kesehatan paling banyak dibutuhkan oleh korban.

Secara umum, menurut Dewi Kanti, kebutuhan pertama korban adalah mengetahui informasi mengenai hal-hal yang harus dilakukan apabila mengalami kekerasan. “Adapun kebutuhan selanjutnya adalah bantuan hukum dan konsultasi psikologis,” urainya.

  1. Kekerasan Seksual Selain yang Diatur KUHP Sulit Ditangani

Berdasarkan data yang disajikan oleh ketiga sistem data tersebut, Dewi Kanti merefleksikan, bahwa kasus KDRT dan tindak pidana perdagangan orang relatif lebih mudah diproses secara hukum. “Hal ini karena sudah ada payung hukum lex specialis untuk penanganan kedua tindak pidana tersebut,” jelasnya. Yaitu, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Hal berbeda dialami oleh korban kekerasan seksual yang mengalami bentuk kekerasan seksual selain yang dikenali oleh KUHP, yaitu perkosaan dan pencabulan. Dalam berbagai kasus itu, korban masih harus berjuang membuktikan kekerasan seksual yang dialami. Oleh karena itu, Dewi Kanti menegaskan urgensi pembahasan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk disahkan menjadi UU.

  1. Tantangan Sinergi Data

Keberadaan ketiga sistem data tersebut masih menemui tantangan untuk tersinergi satu sama lain. Tantangan itu di antaranya terletak pada penggunaan istilah kategorisasi yang berbeda antar lembaga.

Misalnya, SintasPuan menguraikan status sudah kawin ke dalam dua kategori, yaitu  “tercatat” dan “tidak tercatat”, sementara SIMFONI PPA meletakkannya ke dalam satu kategori yaitu “sudah kawin”.

Demikian pula dengan status pekerjaan, di mana Titian Perempuan mengkategorikan ke dalam status bekerja dan tidak bekerja, sementara pada dua sistem data lainnya masing-masing kategori itu diuraikan lebih detail, misalnya status pelajar dan mahasiswa di luar pekerjaan sebagai PNS, Swasta, dll.

Tantangan lainnya, menurut Dewi Kanti, adalah koordinasi antarlembaga untuk menuju sinergi data penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan.

Dalam rilis yang diterima JalaStoria pada Selasa (28/12/2021), Suharti Mukhlas, Dewan Pengarah Nasional FPL menyatakan, “Sinergi antara ketiga lembaga menjadi penting agar pendokumentasian data dapat dilakukan secara lengkap akurat dan akuntabel.” Selain itu, menurut Suharti, sinergi itu juga perlu diakukan untuk memenuhi kebutuhan para pengambil  kebijakan untuk  upaya  yang cepat dan tepat penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. [MUK]

Digiqole ad