Celah Pelindungan dalam 6 Kasus Kekerasan terhadap PRT

 Celah Pelindungan dalam 6 Kasus Kekerasan  terhadap PRT

Ilustrasi (Sumber: och.vector/Freepik.com)

Di Indonesia, sampai tulisan ini diturunkan belum ada regulasi yang menjamin pelindungan dan pengakuan  PRT sebagai pekerja. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mendefinisikan pekerja sebagai “Seseorang yang bekerja dan mendapatkan upah dan atau bentuk upah lainnya”.

Namun undang-undang tersebut belum melingkupi PRT dari cakupannya, mengingat karakteristik khas PRT yang bekerja melakukan pekerjaan kerumahtanggaan dan pemberi kerja yang bukan merupakan perusahaan atau korporasi. Karakteristik khusus itu tidak diatur dalam  Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Sejumlah kasus kekerasan terhadap PRT menunjukkan situasi yang kompleks yang meningkatkan kerentanan PRT menjadi korban kekerasan. Sekalipun terdapat undang-undang yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku kekerasan, di sisi lain masih terdapat hak PRT yang terlanggar yang tidak serta merta dapat terurai.

Baca Juga: Jalan Panjang RUU PPRT

Berikut ini enam kasus kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga yang muncul dalam pemberitaan media, dari awal tahun 2022 hingga bulan Juni 2022:

  1. Kerentanan PRT Dituduh Melakukan Kesalahan Berujung Penganiayaan oleh Pemberi Kerja

April 2022, IRN, PRT asal Cilacap melaporkan kasus kekerasan yang menimpanya. Dilansir dari krjojgja.com (18/04/2022)  IRN dianiaya oleh kedua majikannya yang merupakan pasangan suami istri dengan menggunakan shower.  Kepala korban juga dibenturkan ke tembok, rambut dan baju digunting, bahkan korban juga disiram air panas.

Pelaku yang merupakan majikan juga meminta IRN untuk melukai dirinya sendiri, sama seperti yang dilakukan oleh majikan. Misalnya, IRN dianiaya dengan dipukul menggunakan shower, maka majikan memaksa IRN untuk memukul tubuhnya sendiri menggunakan shower untuk kemudian direkam. Video ini dijadikan alibi majikan untuk menunjukkan kepada tetangga bahwa korban mengalami gangguan jiwa.

Kekerasan tersebut terjadi sekitar sejak awal April 2022. Pemberi kerja berdalih, pekerjaan IRN mengasuh anak selalu salah. Sebelumnya, IRN mengaku tidak betah dan merasa bekerja dalam situasi tidak kondusif karena banyak tekanan dan sering disalahkan. Ia ingin berhenti bekerja namun diminta majikan untuk mencarikan pengganti terlebih dahulu.

Dalam kasus tersebut, IRN mendapat pendampingan dari Pusat Studi dan Bantuan Hukum (PSBH) Universitas Cokroaminoto Yogyakarta (UCY).

Baca Juga: Chicha Koeswoyo dan Iis Sugianto: Dukung RUU Perlindungan PRT

  1. Oknum Polisi Pemberi Kerja Memanfaatkan Posisi Rentan PRT yang Lemah dan Miskin

Dikutip dari laman voi.id (1/03/2022), oknum polisi di Direktorat Kepolisian Perairan dan Udara (Ditpolairud) Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan diduga memperkosa PRT yang bekerja di rumahnya. Menurut korban (13 tahun), pelaku melakukan kekerasan seksual itu dari November 2021 hingga Februari 2022. Peristiwa itu terjadi berselang dua bulan sejak korban bekerja di rumah pelaku.

Menurut korban, pelaku menjanjikan akan membiayai pendidikan korban dan juga biaya hidup keluarga korban. Pelaku juga terus menerus memaksa korban untuk mengikuti kehendak pelaku. Kekerasan seksual itu dilakukan pelaku di rumah kedua pelaku yang tidak dihuni.

  1. Kekerasan terhadap PRT Migran: Oleh Penyalur PRT Hingga Pemberi Kerja

Seorang Trainer (pelatih) asal Indonesia yang bekerja di jasa penyalur PRT Malaysia Sistem Maid Online menceritakan pengalamannya kepada BBC News Indonesia (24/01/2022). Ia menuturkan, calon PRT diharuskan menuruti rangkaian prosedur yang tidak logis untuk dapat bekerja. Antara lain, semua dokumen dan barang milik calon pekerja disita sehingga calon pekerja kesulitan untuk berkomunikasi dengan keluarga mereka. Kemudian calon PRT ditelanjangi dan difoto. Ini dijadikan bahan ancaman bagi penyalur PRT untuk dapat mengendalikan PRT.

Laporan yang sama menyebutkan, kebanyakan calon PRT datang dari Nusa Tenggara Timur,  Jawa, dan Sumatera Utara.  Sebagian besar bahkan tidak dapat berbahasa Indonesia. Pada umumnya berusia anak, seperti 13 atau 16 tahun, yang dipalsukan usianya menjadi 25 tahun.

Mereka yang kemudian disalurkan bekerja seringkali mengalami kekerasan dari pemberi kerja. Pemberi kerja juga memanipulasi informasi, misalnya dengan mengatakan rumahnya kecil padahal faktanya besar sehingga membutuhkan 2-3 orang untuk membersihkan. Atau, diinformasikan tugas menggendong, yang ternyata harus menggendong lansia. Hak sebagai pekerja juga tidak diberikan, seperti gaji tidak dibayar, atau gaji dibayar di bawah jumlah yang dijanjikan.

Baca Juga: Menanti Babak Baru RUU Perlindungan PRT

      4. PRT Terkungkung oleh Pemberi Kerja: Tidak Digaji, Hanya Diberi Makan Jika Melayani Seksual Pemberi Kerja

Dilansir dari kumparan.com (3/6/2022),    Polsek Cengkareng telah menetapkan majikan berinisial S (52) sebagai tersangka atas kasus pemerkosaan terhadap PRT berusia 19 tahun di Cengkareng, Jakarta Barat. Laporan ini menyebutkan, kekerasan seksual itu terjadi sejak korban berusia 16 tahun. Korban hamil dan bayinya dijual pelaku senilai 10 juta.

Adapun berdasarkan laporan yang disampaikan kepada LBH APIK Jawa Barat, korban hanya digaji selama dua bulan. Selebihnya, korban tidak digaji, bahkan dipindahkan oleh pemberi kerja untuk tinggal di rumah kost. Di tempat itulah pelaku melakukan kekerasan seksual terhadap korban. Pelaku mengancam tidak akan memberi makan korban jika tidak menuruti kemauannya. Pelaku juga seringkali melakukan kekerasan fisik, seperti menampar, apabila korban menolak.

Keluarga korban yang berdomisili di sebuah kabupaten di Jawa Barat semula tidak mengetahui keberadaan korban. Penelusuran dilakukan melalui pihak yang menawarkan pekerjaan kepada korban yang kemudian memberikan kontak pemilik rumah kost.

Baca Juga: Bagaimana Nasib RUU PPRT Setelah Perjuangan 17 Tahun?

        5. Kerentanan PRT Alami Kekerasan dalam Perjalanan Menuju Tempat Kerja

Seorang  PRT di Depok dibekap laki-laki yang tidak dikenal saat sedang berjalan menuju ke tempat kerja. Dilansir dari detik.com (9/3/2022)  , PRT tersebut sedang berjalan kaki menuju rumah pemberi kerja yang tidak jauh dari rumahnya. Saat itu sekitar jam 5.30 WIB, di mana keadaan masih sepi. Peristiwa ini terekam CCTV.

Laporan lainnya  menyebutkan, pelaku diduga telah melakukan berulang kali. Namun, dalam peristiwa terhadap korban yang lain, tidak ada rekaman CCTV. Peristiwa ini menunjukkan kerentanan PRT mengalami kekerasan saat berangkat kerja, terutama pada jam yang di lokasi tertentu belum ramai dilalui masyarakat.

      6.Dukungan dari Pihak Lain untuk Melaporkan Kekerasan yang Dialami

Sekalipun kerap mengalami penganiayaan, nyatanya tidak mudah bagi PRT untuk mencari pertolongan. Demikian pula halnya ketika PRT bekerja tanpa pembayaran upah. Hal itu sebagaimana dialami oleh Y, seorang PRT di Bengkulu Utara. Dilansir dari sindonews.com (8/6/2022) , Y mengalami luka lebam di bagian kepala, leher, tangan, dan badan. Majikan Y menganiaya Y dengan cara menyiramnya dengan air panas, air cabai, ditusuk dengan besi, leher diikat dengan kabel setrika dan dipukul bagian mata. Perlakuan itu dilakukan majikan Y hanya atas kesalahan sepele yang dilakukan Y.

Kekerasan yang dialami Y diketahui oleh tetangga saat Y keluar dari rumah. Tetangga pun menganjurkan Y untuk melapor.

Baca Juga: Marzuki Wahid: RUU PPRT Terkait Kepentingan Nahdiyin

***

Sejumlah kasus sampai pertengahan tahun 2022 itu menunjukkan terdapat celah hukum yang belum melindungi PRT. Regulasi yang tersedia menyediakan norma untuk menjerat pelaku kekerasan fisik, psikis, dan seksual terhadap PRT. Namun, tidak ada regulasi yang melindungi PRT dari situasi kerja yang tidak manusiawi, pekerjaan penuh tekanan, gaji tidak dibayar, tidak diberi makan padahal PRT menetap atau ditempatkan di tempat tinggal lain oleh pelaku, dan lainnya.

Dalam hal terjadi kekerasan fisik dan psikis, pelaku kekerasan terhadap PRT dapat dikenai ancaman pidana dalam UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Demikian pula apabila terjadi kekerasan seksual terhadap PRT, terdapat UU yang dapat digunakan. Antara lain, UU Perlindungan Anak jika korban berusia anak, KUHP sepanjang perbuatan perkosaan dan pencabulan, dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual atas perbuatan kekerasan seksual lainnya. Adapun penanganan dan pemulihan PRT korban kekerasan seksual tetap mengacu ke UU TPKS.

Namun, berbagai regulasi tersebut tidak dapat menjerat pelaku yang melakukan pelanggaran hak PRT, seperti tidak membayar gaji, melarang PRT berpindah atau berhenti bekerja, atau memindahkan tempat tinggal PRT ke lokasi lain.

Dalam kasus 1 (penganiayaan oleh pemberi kerja), pemberi kerja tidak mengijinkan PRT berhenti bekerja walaupun PRT sudah tidak merasa betah karena selalu ditekan dan disalahkan. Kasus penganiayaan tersebut mungkin dapat diproses secara hukum, namun situasi korban sebagai PRT yang berhak bekerja dengan aman dan nyaman tidak terlindungi.

Baca Juga: Gema RUU TPKS dan RUU PPRT dalam Paripurna DPR

Demikian pula dalam kasus 6 (gaji tidak dibayar dan PRT dianiaya). Pelaku dapat terancam pidana penganiayaan atau kekerasan fisik terhadap PRT. Namun tidak demikian halnya ketika PRT tersebut tidak memperoleh gaji yang seharusnya dibayarkan pemberi kerja.

Sementara dalam kasus 4 (PRT terkungkung dan menjadi korban kekerasan seksual), ini menunjukkan pentingnya pendataan keberadaan PRT untuk diketahui oleh lingkungan sekitar dan keluarga di daerah asal. Demikian pula, ketersediaan pengawasan dari lingkungan terdekat sehingga tindakan tidak manusiawi dengan tidak membayar gaji dan tidak memberi makan PRT dapat diatasi. Dengan demikian, ruang pelaku untuk menggunakannya sebagai sarana untuk mengeksploitasi PRT dalam berbagai bentuk dapat diminimalisasi.

Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) dirancang untuk mengakomodasi jaminan perlindungan bagi PRT. Jaminan hukum diperlukan PRT mengingat kehadiran PRT sangat dibutuhkan oleh banyak rumah tangga, baik di dalam maupun luar negeri. Oleh karena itu, dibutuhkan regulasi yang menjadi landasan hukum yang memberikan pengakuan dan pelindungan terhadap PRT.  [Laporan: Waltriningsih/Editor: Ema Mukarramah]

 

Digiqole ad