Marzuki Wahid: RUU PPRT Terkait Kepentingan Nahdiyin
JAKARTA, JALASTORIA.ID – Lebih dari satu tahun berlalu sejak RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) diajukan oleh Pimpinan Badan Legislasi pada 15 Juli 2020. Namun, RUU ini masih belum masuk dalam agenda sidang paripurna DPR RI untuk ditetapkan sebagai RUU Inisiatif DPR.
Hal itu tak pelak merisaukan sejumlah aktivis perempuan dan HAM. Di antaranya, Komnas Perempuan, JALA PRT, Institut Sarinah, dan Perkumpulan JalaStoria. Mereka pun menyelenggarakan audiensi secara daring pada Senin sore (6/9/21) kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Tujuannya, meminta dukungan PBNU agar proses pembahasan RUU PPRT bisa bergerak maju.
Adiensi dihadiri oleh Wasekjen PBNU Dr. Imdadun Rahmat, Ketua dan Sekretaris Lakpesdam NU Dr. Rumadi Ahmad dan Marzuki Wahid, MA. Selain itu, hadir Pengurus Fatayat NU Riri Khariroh dan beberapa pengurus Lakpesdam lainnya.
Dalam audiensi tersebut, Theresia Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan menjelaskan, draf RUU PPRT bukan saja demi kepentingan perlindungan untuk PRT. Lebih dari itu, RUU PPRT juga menjamin hak dan kepentingan pemberi kerja.
Kekhawatiran adanya kemungkinan tumpang tindih antara RUU PPRT dengan UU Ketenagakerjaan menjadi salah satu pertanyaan yang dilontarkan oleh Dr. Rumadi Ahmad. “Tidak overlap karena RUU ini terkait ekonomi rumah tangga, sektor informal,” jelas Ninik Rahayu, pendiri JalaStoria.
Baca Juga: Merdeka dengan Perlindungan PRT
Kehadiran RUU ini juga tidak mengubah prinsip gotong royong dan local wisdom masyarakat Indonesia. Dalam RUU ini, Ari Ujianto dari JALA PRT menjelaskan, relasi kerja berdasar kesepakatan atau musyawarah antar masing-masing pemberi kerja dan pekerja sebagaimana praktek selama ini.
“Sehingga tidak berlaku bagi santri di ponpes, atau orang ngenger yang tidak menerima bayaran,” jelas Ari.
Pengakuan Profesi PRT
Eva Sundari dari Institut Sarinah mengingatkan, RUU PPRT terkait dengan pengakuan negara terhadap PRT sebagai sebuah profesi yang berkontribusi terhadap produktivitas nasional khususnya melalui pelayanan jasa di sektor domestik. Dari perspektif kewarganegaraan, menurut Eva, PRT berhak untuk diakui negara sehingga mereka mendapatkan hak entitlement terhadap resources.
Selain itu, Ninik juga mengingatkan Indonesia sudah meratifikasi Konvensi ILO 189 pada tahun 2011 tentang Pekerjaan Yang Layak termasuk bagi Pekerja Rumah Tangga. “Namun hingga kini Indonesia belum membuat satupun UU untuk menindaklajutinya,” imbuhnya.
Baca Juga: 10 Tahun Konvensi ILO 189 (Bagian II)
Dalam situasi pandemi Covid-19, PRT sebagai kelompok warga miskin termasuk yang terimbas. “Sehingga negara harus memberikan perlindungan melalui rekognisi mereka dalam UU,” kata Eva Sundari yang merupakan anggota DPR RI FPDIP 2014-2019.
Asuransi Tenaga Kerja dan Kesehatan
Dalam RUU ini, Ari menambahkan, diusulkan perlindungan terhadap kedua belah pihak yaitu pekerja rumah tangga dan pemberi kerja. Adapun perlindungan bagi pekerja rumah tangga antara lain meliputi akses untuk menjadi peserta asuransi tenaga kerja dan kesehatan bagi PRT.
Ketiadaan akses untuk menjadi peserta asuransi tenaga kerja dan kesehatan bagi PRT itu membuat PRT menjadi kehilangan jaminan atas kesejahteraan ketika mengalami PHK. Dewi Korawati, PRT yang hadir dalam audiensi tersebut menceritakan, ia di-PHK oleh pemberi kerja melalui telpon. Padahal, ia telah bekerja selama 5 tahun.
Baca Juga: PHK pada PRT Selama Pandemi
Sementara Susi Susmiharti, PRT yang juga hadir menjelaskan bahwa selama ini PRT tidak mendapatkan jaminan sosial seperti jaminan kesehatan dan jamsostek. Kalau mau menjadi peserta BPJS Kesehatan, PRT harus membayar sendiri. Hal ini dirasakan berat bagi PRT yang upahnya sangat kecil.
Dalil yang Mendukung
Marzuki Wahid menyatakan bahwa RUU PPRT jelas terkait kepentingan para Nahdiyin sehingga tidak ada alasan untuk tidak mendukung. “Kita tinggal mendalami dalil-dalil yang relevan dan kuat sebagai argumen untuk memberikan dukungan,” jelas Marzuki.
Sementara itu, WaSekjen PBNU yang menghadiri audiensi di tengah perjalanannya ke Cirebon menuliskan respons melalui kolom chat. Ia menyatakan, akan menjajaki peluang pemberian dukungan ke RUU PPRT dalam bentuk rekomendasi di Munas NU mendatang. Oleh karena itu, WaSekjen PBNU yang sekaligus Ketua Panitia Munas NU tersebut menegaskan, hal ini perlu terlebih dulu mendapat persetujuan Lembaga Bahtsul Masail NU. [RAM]
Sumber: Eva Sundari, Institut Sarinah