Menanti Babak Baru RUU Perlindungan PRT
JAKARTA, JALASTORIA.ID – “Saya dulu pernah dapat panggilan interview untuk orang ekspat di salah satu apartemen di Jakarta Selatan. Terus saya [di]interview. Saya mengatakan, kalau libur, saya itu sekolah. Nah, majikan itu mengatakan saya tidak mau PRT seperti anda! Kalau anda terlalu pintar, tahu ini dan tahu itu. Saya mau mencari PRT yang bodoh (dan) tidak sekolah. Saya pernah merasakan hal itu.”
Itu tadi Nanik, seorang Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Jakarta. Meski menjadi PRT adalah pilihan, tapi Nanik menolak kemanusiaannya direndahkan. Bagi Nanik, PRT adalah profesi yang dia lakoni dengan penuh suka cita. Dalam Konsultasi Publik Koalisi Sipil untuk UU PPRT bertajuk “Wujudkan Pancasila Lindungi PRT Demi Kesejahteraan Bangsa” pada Rabu, 1 Juni 2022, Nanik tak sungkan membagi pengalamannya.
“Kekerasan ekonomi saya juga merasakan. Di-PHK tidak dibayarkan upah dan pesangon,” ungkap Nanik menambahkan.
Baca Juga: Jalan Panjang RUU PPRT
PRT merupakan profesi rentan bagi perempuan jika tanpa perlindungan. Diskriminasi, pelecehan seksual, eksploitasi kerja, dan kekerasan seolah menjadi hal lumrah dilakukan terhadap PRT. Perlakuan tersebut sesungguhnya mimpi buruk bagi profesi PRT. Begitu juga yang dirasakan Yuni, seorang PRT paruh waktu di Jakarta.
“Saya melihat di media pun kekerasan, diskriminasi buat PRT itu hanya di media. Tapi ternyata, wah, saya pernah mengalami! Dan itu sangat gimana ya? Bikin saya sebenarnya trauma. Ada trauma,” ucap Yuni seraya menepuk dadanya.
Yuni lalu menuturkan pengalamannya diperlakukan sebagai warga kelas dua. Sebagai warga yang dianggap tidak pantas duduk di kursi yang diperuntukkan bagi majikan.
“Saya pernah alami enggak boleh duduk di bangku. Saat saya menjemput bangku kosong, tapi ada sekuriti yang menghampiri saya dan bilang kalau di situ enggak boleh pembantu itu duduk di situ. Saya bertanya apa alasannya? Karena di situ hanya untuk majikan,” kata Yuni.
***
Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) mencatat hingga Desember 2021 terdapat 400an kasus kekerasan terhadap PRT. Kekerasan tersebut berupa kekerasan fisik, ekonomi, seksual, aspek sosial, dan trafficking. Inilah yang mendasari tujuan pengesahan RUU Perlindungan PRT yang tahun ini berusia 18 tahun di meja DPR RI.
“Saya katakan bahwa pekerjaan rumah tangga agen kehidupan. Karena (PRT) yang mengatur kesehatan, kebersihan. Nah, kalau WC tidak dibersihkan semua kuman ada di situ. Jadi jangan abaikan domestik ini, karena itu mengabaikan kehidupan kita,” jelas Lita Anggraini Koordinator Jala PRT.
Lita menjelaskan, RUU Perlindungan PRT memberikan kepastian hukum dan mencegah diskriminasi, eksploitasi, dan pelecehan. Selain itu RUU ini juga mengatur hubungan kerja dengan menjunjung nilai kekeluargaan, kemanusiaan, dan keadilan. Melalui RUU ini, PRT akan mendapatkan peningkatan pengetahuan, keahlian, dan keterampilan. Ini merupakan langkah mensiasati perbedaan kebiasaan hidup antara PRT dengan pemberi kerja. Selain itu, pendidikan dan keterampilan bagi PRT juga berpotensi meminimalisasi kecelakaan kerja.
Selain itu, RUU ini juga mengatur hak dan kewajiban PRT, meliputi antara lain hak untuk beribadah; menerima upah dan THR sesuai kesepakatan; jam kerja yang manusiawi; istirahat, libur, dan cuti berdasar kesepakatan; termasuk menerima jaminan sosial. Oleh karena itu, RUU ini juga bertujuan meningkatan kesejahteraan PRT dengan menyertakan PRT dalam skema perlindungan sosial.
Baca Juga: Menaker: PRT Wajib Diikutsertakan dalam Program Jaminan Sosial
“(PRT) ini orang miskin yang sudah menjadi penopang perekonomian keluarga, penopang perekonomian negara. Kan kalau enggak ada PRT enggak bisa berjalan, orang enggak bisa berpikir secara optimal, orang enggak bisa refreshing energinya, pikirannya, mental healthnya karena kan sibuk terbagi dengan pekerjaan domestik,” kata Lita, perempuan yang sudah mengadvokasi PRT sejak 1991.
Direktur Institut Sarinah Eva Kusuma Sundari menegaskan PRT bisa masuk ke dalam skema negara. Melalui RUU Perlindungan PRT inilah PRT bisa mendapatkan hak konstitusionalnya sebagai kelompok miskin penerima bantuan sosial. Skema ini bisa dilakukan secara gotong royong antara pemberi kerja dengan negara.
“Kalau para majikan nguruni (patungan-red) 16 ribu per bulan itu nanti yang akan menerima manfaat PRT dan anda tidak dibebani untuk jaminan hari tua, kecelakaan, itu anda sudah bebas. Dan ketika anda membolehkan mereka untuk tanda tangan kontrak kerja, itu teman-teman (pemberi kerja-red) memberikan perlindungan kepada PRT bahwa PRT ini sekarang diakui negara untuk kemudian bisa diurus bansosnya, jamsosteknya, dan seterusnya,” terang mantan anggota Komisi III DPR RI itu.
Dengan demikian, menurut Eva, kunci kesejahteraan bagi PRT ada di pihak pemberi kerja.
***
Kini RUU Perlindungan PRT tinggal selangkah lagi menjadi RUU inisiatif DPR. Ini berarti RUU Perlindungan PRT sedang menanti babak baru sampai kemudian dibahas oleh DPR dan Pemerintah. Harapannya RUU ini dapat diimplementasikan demi mewujudkan perlindungan hak bagi PRT dan pemberi kerja. [Nur Azizah]