UU Kekerasan terhadap Perempuan, Kemajuan dari Tunisia
Tunisia adalah negara muslim yang cukup maju dalam pemajuan hak perempuan. Sejak 1956, Tunisia adalah negara pertama di dunia Arab yang mengesahkan Kitab UU tentang Status Keperdataan, yang antara lain melarang perkawinan dengan lebih satu orang istri, menegaskan perceraian hanya boleh dilakukan di depan pengadilan, dan kehendak masing-masing laki-laki dan perempuan untuk memasuki perkawinan tanpa paksaan.
Kemajuan lainnya hadir dalam pembaharuan Konstitusi Tunisia pada 2014. Pasal 21 Konstitusi negara ini menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan bersamaan kedudukan di hadapan hukum, tanpa diskriminasi. Selain itu, Pasal 46 Konstitusi negara Tunisia juga merumuskan bahwa “[S]tate shall take all necessary measures in order to eradicate violence against women,” negara harus mengambil langkah yang tepat untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan.
Norma konstitusional itu memberikan mandat secara langsung kepada negara untuk mengatasi persoalan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi selama ini di negara yang terletak di utara benua Afrika itu. Terdapat sejumlah persoalan dalam sistem hukum Tunisia yang rentan membuat korban menjadi korban kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Antara lain, KUHP Tunisia mempidanakan perkosaan, yang pengaturannya diklasifikasian sebagai serangan tidak senonoh dan pelecehan seksual. Pemidanaan perkosaan diatur sebagai kejahatan terhadap moralitas, bukan serangan terhadap tubuh seseorang.
Namun demikian, sekalipun perkosaan dipidanakan, bentuk kekerasan lain seperti kekerasan seksual dan ekonomi bukanlah pidana jika terjadi dalam ikatan perkawinan menurut KUHP Tunisia.
Selain itu, terdapat suatu ketentuan dalam KUHP Tunisia, khususnya Pasal 227, yang mengecualikan penjatuhan pidana perkosaan apabila pelaku mengawini korban. KUHP Tunisia juga mengatur usia 13 tahun sebagai batas usia yang dapat memberikan persetujuan (consent) terhadap hubungan seksual.
UU Kekerasan terhadap Perempuan
Diskriminasi dalam substansi hukum Tunisia itu mendorong banyak pihak di Tunisia mendesak negara untuk menghadirkan UU yang komprehensif dalam pemberantasan kekerasan terhadap perempuan. UU Kekerasan terhadap Perempuan ini pun disahkan pada 11 Agustus 2017 dan berlaku efektif pada Februari 2018. Dalam UU ini, semua bentuk kekerasan, mulai dari kekerasan fisik, ekonomi, hingga politik, dipidanakan.
UU ini disebut sebagai UU yang komprehensif karena menggabungkan berbagai upaya pencegahan kekerasan dan dukungan bagi korban. UU ini mengandung 3 pilar. Pertama, pilar pencegahan dengan menekankan pada pendidikan kesetaraan gender. Selain itu, langkah pencegahan juga ditingkatkan dengan penetapan sejumlah menteri seperti menteri kesehatan, pendidikan, dan pemuda, untuk melatih pegawainya dalam mendeteksi dan mencegah kekerasan terhadap perempuan. UU ini juga menekankan peran penting media untuk tidak menuliskan peristiwa kekerasan terhadap perempuan secara sensasional.
Kedua, dukungan terhadap korban, termasuk peluang bagi korban untuk mengajukan perintah perlindungan dalam kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Selain itu, pilar ini memperluas definisi KDRT meliputi apabila kekerasan dilakukan oleh mantan pasangan atau tunangan.
Baca Juga: Dukungan untuk Perempuan Korban KDRT
UU ini juga menetapkan pembentukan unit kekerasan keluarga di lingkungan institusi keamanan. Unit ini ditujukan untuk menginvestigasi terjadinya kekerasan terhadap perempuan, dan menegaskan bahwa unit ini harus diisi oleh personel perempuan.
Ketiga, reformasi peradilan dan sejumlah ketentuan dalam KUHP. Antara lain, definisi baru incest, pemidanaan kekerasan politik dan ekonomi, pemidanaan perkosaan bukan hanya terhadap perempuan melainkan juga kepada laki-laki, dan perluasan definisi pelecehan seksual untuk meliputi juga pelecehan di jalan. Secara khusus, penghapusan ketentuan Pasal 227 KUHP yang membebaskan pelaku perkosaan jika mengawini korban dalam UU ini merupakan langkah yang sangat signifikan dalam memutus impunitas terhadap pelaku perkosaan.
Selain itu, dirumuskan juga sejumlah ketentuan pemberatan pemidanaan. Yaitu jika korban berusia anak, jika pelaku adalah pasangan atau mantan pasangan, tunangan atau mantan tunangan, dan jika pelaku telah menyalahgunakan kekuasaannya terhadap korban atau mengambil keuntungan dari posisi rentan korban.
Dalam UU ini, kekerasan terhadap perempuan didefinisikan sebagai “setiap perbuatan serangan fisik, seksual moral atau ekonomi yang dilakukan terhadap perempuan..yang berakibat pada kerusakan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis, atau ekonomi pada perempuan.” Adapun perkosaan didefinisikan sebagai perbuatan yang menyerang perempuan atau laki-laki tanpa persetujuan (consent) dari perempuan atau laki-laki tersebut.
Baca Juga: Definisi Kekerasan Seksual dalam Hukum di Indonesia
Berdasarkan perubahan atas Pasal 227 KUHP, pelaku perkosaan dijatuhi pidana 20 tahun penjara, dan dipidana seumur hidup jika dalam perbuatannya menggunakan senjata. UU ini juga mengubah batas usia consent dari semula 13 tahun menjadi 16 tahun. Ancaman pidana dapat bertambah dua kali lipat jika pelaku adalah kerabat dekat atau mempunyai kedekatan dengan korban.
Adapun terhadap perbuatan pelecehan seksual di tempat umum, UU ini menetapkan pidana 1 tahun penjara dan denda 3000 Dinar Tunisia (sekitar 900 Euro atau 15juta Rupiah). UU ini juga mempidanakan kekerasan politik terhadap perempuan, yang secara khusus menyasar perbuatan kekerasan terhadap perempuan yang melaksanakan tugas resmi di bidang politik.
Selain itu, UU ini juga memandatkan pembentukan pemantauan nasional atas kekerasan terhadap perempuan dalam lingkup kementerian yang menangani urusan pemberdayaan perempuan. Tugas yang dimandatkan antara lain penyiapan laporan tentang kekerasan terhadap perempuan kepada presiden, ketua DPR, dan pimpinan lembaga pemerintahan.
Masih Ada Celah di KUHP
Sekalipun UU baru ini telah mencakup secara luas persoalan kekerasan terhadap perempuan, masih terdapat sejumlah persoalan dalam KUHP Tunisia yang belum tersentuh. Yaitu, persoalan pemidanaan terhadap hubungan seksual antaranak berusia 16-18 tahun, dan ketiadaan ketentuan yang secara eksplisit mempidanakan perkosaan dalam perkawinan (marital rape).
Selain itu, ketentuan Pasal 226 ayat (4) KUHP Tunisia juga memberikan peluang kepada pelaku pelecehan seksual untuk menuntut balik pelapornya. Ketentuan ini menyebutkan: “anyone accused of sexual harassment may not only request reparations for damages incurred, but also initiate a defamation lawsuit, which carries with it criminal penalties punishable by up to two years’ imprisonment and a fine.”
Baca Juga: Mengkritisi RUU KUHP
“Setiap orang yang diduga melakukan pelecehan seksual tidak hanya dapat meminta ganti rugi atas kerusakan yang terjadi, tetapi juga dapat mengajukan tuntutan penistaan, yang dapat dijatuhi pidana 2 tahun penjara dan denda (terjemahan bebas-Red).” Ketentuan ini pada akhirnya membuat perempuan yang mengalami peristiwa pelecehan seksual enggan melapor karena dibayangi tuntutan penistaan terutama jika terdapat kesulitan terkait pembuktian.
Ketimpangan Struktur Hukum
Selain itu, laporan Boell.de pada 2020 mencatat bahwa sekalipun UU ini sudah disahkan sejak 2017, masih banyak hakim yang tidak mengetahui adanya UU ini. Tidak hanya itu. Berdasarkan laporan dari Grup Facebook EnaZeda, bahasa setempat yang berarti mee too atau “saya juga”, laporan perempuan korban kekerasan seringkali tidak didengarkan di kepolisian yang umumnya diisi oleh personel laki-laki. Sebaliknya, petugas kadang menertawakan korban, atau menuduh korban yang mengundang terjadinya kekerasan seksual. Pembentukan unit polisi perempuan yang dimandatkan oleh UU ini sebagai unit yang secara khusus melayani perempuan korban kekerasan masih menjadi pekerjaan rumah untuk dibangun di setiap kantor kepolisian di negara ini.
Dengan demikian, penerapan UU ini secara menyeluruh masih memerlukan langkah lebih lanjut. Berdasarkan laporan dari Kementerian Perempuan, Anak, dan Lansia, menunjukkan bahwa hanya terdapat sekitar 4000 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan antara 2014 sampai 2019. Sementara itu, pada 2017 the Center de Recherche, d’Etudes, de Documentation et d’Information sur la Femme (CREDIF), sebuah lembaga penelitian di kementerian tersebut, menunjukkan bahwa setidaknya 75,4% perempuan Tunisia mengalami kekerasan seksual di tempat umum. Di antaranya, 53,3% terjadi dalam angkutan umum. [RAM]
Sumber:
Euro Med Rights , The Global Observatory. Boell.de, UN Women, dan Laporan Amnesty International ke Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dalam Sesi ke-59 Tahun 2016