Pemberian kredit kepada Ibu Darsi tidak sesuai dengan Pasal 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: /Pojk.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan. Pasal 3 ini menyatakan bahwa “Kegiatan Pembiayaan Investasi dan/atau Pembiayaan Modal Kerja ditujukan untuk Debitur berbentuk badan usaha atau perseorangan memiliki usaha produktif; dan/atau memiliki ide-ide untuk pengembangan usaha produktif.” Dalam hal ini, hanya untuk mendapatkan keuntungan besar dan memenuhi target, lembaga keuangan sering melanggar ketentuan tersebut. Dampaknya hak ibu Darsi sebagai konsumen terabaikan.
Ketiadaan informasi yang cukup serta tidak diberikannya perjanjian kredit dan dokumen terkait pengambilan kredit oleh lembaga keuangan kepada Ibu Darsi telah melanggar Undang-undang Konsumen Pasal 4 huruf (f) dan (g) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Ketentuan ini menjelaskan bahwa konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa dan hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
Selain itu sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/Pojk.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa “Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib menyediakan dan/atau menyampaikan informasi mengenai produk dan/atau layanan yang akurat, jujur, jelas, dan tidak menyesatkan.” Pasal 4 ayat (2) menyatakan: “Informasi tersebut dituangkan dalam dokumen atau sarana lain yang dapat digunakan sebagai alat bukti.” Adapun informasi yang dimaksud adalah:
- mengenai hak dan kewajibannya;
- disampaikan pada saat membuat perjanjian dengan Konsumen; dan
- dimuat pada saat disampaikan melalui berbagai media antara lain melalui iklan di media cetak atau elektronik.
Kesalahan yang berikutnya adalah terdapat beberapa setoran ibu Darsi yang tidak bertanggal dan tidak tercatat dalam buku rekening dan riwayat kredit. Total setoran tanpa waktu yang ibu Darsi setorkan sebesar Rp12.200.000,- (dua belas juta dua ratus ribu rupiah). Terhadap temuan ini pihak lembaga keuangan akan mempelajari dahulu.
Selain itu terdapat selisih uang sebesar Rp5.000.000,- (lima juta rupiah) dari penjualan dua buah truk. Menurut informasi yang diberikan kepada ibu Darsi sisa penjualan truk seharusnya Rp90.000.000,- (sembilan puluh juta rupiah). Namun dari catatan keuangan yang dimiliki lembaga keuangan setoran uang penjualan truk yang masuk adalah Rp85.000.00,- (delapan puluh lima juta rupiah).
Baca Juga: Perempuan Pedesaan dalam Pusaran Kredit: Belajar dari Kasus Ibu Darsi (Bagian 1)
Literasi Keuangan
Peningkatan literasi keuangan telah menjadi isu global. Pada tanggal 19 November 2013, Presiden Republik Indonesia telah meluncurkan Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia (SNLKI) sebagai bagian dari the Trilogy of Policy Instrument dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat (market confidence) dan kesetaraan konsumen dan industri jasa keuangan (level playing field).
Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2019 (SNLIK) Otoritas Jasa Keuangan, indeks literasi keuangan perempuan masih lebih rendah dari laki-laki, yaitu 36,13 persen. Bisa jadi survey ini hanya menyasar perempuan sebagai pengusaha kecil, belum menyasar pada kelompok rentan yang juga memiliki hak untuk mendapatkan akses literasi keuangan.
Peristiwa yang dialami oleh Ibu Darsi menunjukan kerentanan perempuan pedesaan dan miskin yang menjadi korban dalam sistem kredit lembaga keuangan. Namun fakta tersebut belum dijadikan dasar bagi pemerintah untuk menyusun kebijakan perkreditan yang berperspektif perempuan.
Hal ini juga menunjukkan negara belum sepenuhnya menjalankan amanat Pasal 3 dan 13 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Ketentuan ini mewajibkan negara membentuk kebijakan yang menjamin perempuan terutama hak atas pinjaman bank, hipotik, dan bentuk-bentuk kredit keuangan yang lain.
Dalam Laporan Periodik CEDAW ke-8 Indonesia (2012 – 2019) yang disusun oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan perlindungan Anak pada topik pembahasan “Lapangan Kerja dan Partisipasi Ekonomi Perempuan dalam Menghadapi Berbagai Bentuk Diskriminasi” tidak memasukan fakta-fakta diskriminasi terhadap perempuan yang rentan menjadi korban dalam sistem kredit. Dalam laporan tersebut, khususnya paragraf 154 disebutkan Pemerintah Indonesia telah menyediakan akses yang lebih luas bagi pengusaha perempuan untuk pembiayaan melalui berbagai sumber modal keuangan seperti kredit mikro yang disubsidi pemerintah / Kredit Usaha Rakyat (KUR), Lembaga Pengelolaan Dana Bergulir (LPDB), kelompok simpan pinjam masyarakat atau koperasi, dan lembaga keuangan mikro. Melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, pemerintah juga menyediakan program simpan pinjam bagi perempuan untuk mengakses kredit. Program ini telah dilakukan di hampir semua kabupaten di 33 Provinsi.
Adapun paragraf 155 laporan ini menyebutkan bahwa pengusaha kecil juga menerima program literasi dalam manajemen keuangan, investasi, dan pelatihan kewirausahaan. Promosi posisi yang lebih tinggi bagi perempuan di sektor swasta juga dilakukan secara terus menerus melalui pelatihan tentang kepemimpinan dan berbagai program, serta kompetisi tentang kewirausahaan perempuan dan wanita karir yang dilakukan oleh sejumlah kemitraan Pemerintah Indonesia dengan sektor swasta, termasuk grup media perempuan.
Sementara itu, praktik diskiriminasi dalam kredit juga tidak lepas dari kultur relasi kuasa dan ketidaksetaraan gender dalam keluarga dan masyarakat yang teradopsi dalam peraturan lembaga keuangan. Seperti pemberian kredit bagi perempuan menikah harus disertai dengan tandatangan suami.
Meskipun sudah ada undang-undang perlindungan konsumen, namun undang-undang tersebut masih netral gender yang belum mengadopsi pengalaman perempuan dalam kredit, serta memastikan jaminan perlindungan perempuan yang rentan menjadi korban dalam sistem kredit lembaga keuangan.
Baca Juga: Gaji yang Tak Dibayar
Dalam sektor perkreditan tidak ada satupun kebijakan yang menjamin hak perempuan untuk tidak mengalami tindakan diskriminasi dan kesewenang-wenangan. Intervensi kebijakan masih berkutat pada persoalan dukungan agar pengusaha perempuan mengakses kredit.
Kesetaraan Gender dalam Bidang Ekonomi
Pemerintah sudah mulai berkomitmen membangun kesetaraan gender bidang ekonomi. Saat ini pemerintah sudah berupaya meningkatkan rasio perempuan pengusaha UMKM dalam mengakses kredit di lembaga keuangan. Antara lain, menyiapkan kebijakan dan program mulai dari meningkatkan akses literasi, pinjaman stimulus, sampai dengan pinjaman tanpa agunan.
Pada tahun 2016 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) menerbitkan kajian Statistik Gender Tematik tentang Ketimpangan Gender dalam Ekonomi. Kajian tersebut lebih banyak memotret akses perempuan terhadap sumberdaya ekonomi dan pasar tenaga kerja, kondisi pasar tenaga kerja, keterlibatan perempuan dalam dunia usaha, serta rekonsiliasi antara bekerja dan tanggung jawab keluarga.
Sementara itu, ketimpangan gender di bidang ekonomi juga mencakup praktik-praktik buruk terhadap perempuan dalam kredit. Ketimpangan relasi kuasa dan gender serta rendahnya literasi perbankan menjadikan perempuan rentan dikorbankan dalam sistem kredit. Banyak kasus perempuan miskin dan di pedesaan terpaksa kehilangan aset karena terlibat dalam kredit lembaga keuangan. Salah satunya dialami oleh Ibu Darsi.
Berkaca dari kasus ibu Darsi, Pemerintah perlu segera mengimplementasikan CEDAW dalam penyusunan program dan kebijakan guna memastikan perempuan mendapatkan jaminan perlindungan hukum dan jaminan untuk terhindar dari perilaku diskriminatif dari lembaga keuangan.
Dian Puspitasari
Direktur LRC-KJHAM Periode 2016-2018, saat ini menjabat sebagai Sekretaris Seknas Forum Pengada Layanan (FPL) dan Advokat