Perempuan Pedesaan dalam Pusaran Kredit: Belajar dari Kasus Ibu Darsi (Bagian 1)

 Perempuan Pedesaan dalam Pusaran Kredit: Belajar dari Kasus Ibu Darsi (Bagian 1)

Ilustrasi (Sumber: Canva.com)

 

Ibu Darsi, 63 tahun, adalah perempuan pedesaan yang sehari-hari bekerja sebagai buruh serabutan dan tukang pijat. Bu Darsi tidak bisa membaca dan menulis. Saat tulisan ini diterbitkan, tanah dan rumah ibu Darsi terancam dilelang oleh lembaga keuangan.

Berawal pada 2018, saat ibu Darsi dan suaminya menyetujui menjadi penjamin (pemilik sertifikat tanah) atas kredit yang diajukan Darwanto, anaknya. Pengajuan kredit tersebut akan digunakan Darwanto untuk memperluas usaha jasa pengangkutan. Sejak awal ibu Darsi menyampaikan kepada anaknya dan kepada lembaga keuangan yang datang untuk melakukan survey, bahwa ibu Darsi setuju dengan ketentuan pengambilan pinjaman maksimal 70.000.000,- (tujuh puluh juta rupiah). Dengan perkiraan jika anaknya tidak dapat mengangsur, ibu Darsi dapat membantunya.

Empat bulan paska pencairan, Darwanto tidak bisa membayar angsuran. Ia kabur dari rumah dan tidak diketahui keberadaanya. Pegawai lembaga keuangan pun mendatangi rumah ibu Darsi dan mengatakan ibu Darsi harus membayar angsuran sebesar Rp7.600.000., (tujuh juta enam ratus ribu rupiah) setiap bulannya. Jika tidak, tanah dan rumahnya akan dilelang. Dengan polos ibu Darsi menyampaikan jika hanya sanggup membayar angsuran setiap bulan sebesar Rp2.000.000,- sampai Rp3.000.000,-. Ibu Darsi juga meminta lembaga keuangan mencari truk yang dibawa anaknya. Apabila sudah ketemu dapat digunakan untuk membayar hutang anaknya. Ibu Darsi tetap berpedoman pinjaman anaknya adalah Rp70.000.000,- (tujuh puluh juta rupiah).

Beberapa hari kemudian pegawai lembaga keuangan menghubungi ibu Darsi  menginformasikan truknya ditemukan di tempat pegadaian. Pihak lembaga keuangan telah menjual  2 (dua)  truk tersebut dengan harga Rp. 130.000.000,- (Seratus tiga puluh juta rupiah). Pihak lembaga keuangan menjelaskan uang tersebut digunakan untuk menutup gadai sebesar 30.000.000,- (tiga puluh juta) dan  biaya servis sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). Sisanya digunakan untuk menutup hutang lembaga keuangan. Namun proses transaksi jual beli dan kesepakatan harga tidak dilakukan bersama-sama ibu Darsi.  Selain itu ibu Darsi tidak mendapatkan bukti apapun atas semua transaksi tersebut.

Pada bulan September 2018, ibu Darsi kembali didatangi pegawai lembaga keuangan yang memintanya untuk menandatangi berkas tanpa disertai informasi dan penjelasan apapun. Keesokan harinya pegawai lembaga keuangan tersebut datang hanya meminta ibu Darsi tanda tangan namun salinan dokumen yang ditandatangani itu tidak diberikan kepada Ibu Darsi. Ibu Darsi hanya menerima selembar kertas yang menerangkan jika ibu Darsi telah melakukan pencairan kredit sebesar 140.000.000,- (seratus empat puluh juta rupiah). Inipun baru diketahui ibu Darsi setelah bertemu dengan pendamping hukum. Padahal ibu Darsi tidak tahu dan tidak pernah menerima uang sepersepun dari lembaga keuangan tersebut.

 

Baca Juga: Tak Melapor Karena Kontrak

 

Pada tahun 2019 pihak lembaga keuangan mendatangani rumah ibu Darsi dan meminta ibu Darsi menandatangani dokumen. Jika ibu Darsi tidak mau tanda tangan, rumahnya akan dilelang. Ibu Darsi pun terpaksa mendandatangani dokumen tersebut.

Sejak bulan September 2018 sampai Desember 2020 atau sebanyak 23 (dua puluh tiga) bulan ibu Darsi telah menyetorkan uang yang secara keseluruhan sebesar Rp. 60.900.000,- (enam puluh juta sembilan ratus ribu rupiah). Namun pihak lembaga keuangan tersebut terus mendatangani rumah ibu Darsi dan menyampaikan hutang ibu Darsi masih 152.000.000 (seratus lima puluh dua juta). Jika tidak segera membayar rumah akan dilelang. Ibu Darsi dan suami kebingungan, karena meskipun sudah membayar angsuran, hutang tidak berkurang dan ancaman pelelangan rumah menjadikan ibu Darsi tidak berdaya. Anak bungsu ibu Darsi pernah meminta dokumen kredit kakaknya dan ibunya kepada lembaga keuangan namun tidak diberikan.

Pada saat proses klarifikasi dengan lembaga keuangan pada tanggal 10 Agustus 2021, pihak lembaga keuangan menyampaikan bahwa, pertama, pinjaman Darwanto sebesar Rp. 225.000.000,- (dua ratus dua puluh lima juta rupiah). Kedua, ibu Darsi secara sadar menyetujui peralihan dari penjamin menjadi peminjam kredit (Debitur). Jika Ibu Darsi tidak menyepakati status ibu Darsi tetap sebagai penjamin. Ketiga, perjanjian kredit tidak diberikan, karena tidak diminta.

 

Pemberian Kredit Tidak Sesuai

Faktor kredit macet tidak hanya bersumber dari debitur, namun juga dari kreditur. Misalnya,  besarnya nilai jaminan tidak sebanding dengan pinjaman, kesalahan kreditur dalam menganalisis usaha debitur,  serta peluang pemberian kredit “fiktif” yang tidak sesuai dengan kondisi debitur. Di dunia perbankan umumnya dianut konsep penilaian terhadap barang jaminan paling tinggi 80% dari nilai jaminan, dan besarnya pinjaman yang dapat diberikan adalah 80% dari nilai jaminan.

Kredit macet yang terjadi pada Darwanto dan ibu Darsi pun bukan sepenuhnya kesalahan debitur, namun ada andil dari lembaga keuangan. Dalam pemberian kredit kepada Darwanto diduga terjadi kesalahan analisis dari pihak lembaga keuangan. Atau, ada kemungkinan menjadi modus lembaga keuangan untuk penguasaan jaminan. Darwanto hanya memiliki 2 unit truk untuk usahanya. Sementara besaran hutang adalah 225.000.000,- dengan suku bunga 16,2%  per tahun selama 4 tahun dengan denda 0,2% per hari. Model angsuran anuitas. Besarnya angsuran bulanan yang tidak berbanding lurus dengan pemasukan menyebabkan kredit macet.

Kesalahan fatal justru terjadi pada pemberian kredit kepada Ibu Darsi. Pemberian kredit kepada Ibu Darsi adalah kredit pembiayaan modal usaha. Padahal ibu Darsi hanyalah perempuan pedesaan yang bekerja serabutan. Dilihat dari usianya yang sudah lansia yang sudah tidak produktif, sangat kecil untuk dapat membayar angsuran anaknya. Tentu penguasaan aset ibu Darsi berupa tanah dan rumah menjadi modus bagi lembaga keuangan.

Setelah angsuran ke-4 macet, dan dikurangi hasil penjualan dua buah truk yang dihargai Rp. 130.000.000,- (seratus tiga puluh juta rupiah), sisa hutang Darwanto masih sebesar Rp. 140.000.000,- (seratus empat puluh juta rupiah). Oleh lembaga keuangan ibu Darsi seolah-olah diberikan pinjaman dengan jumlah sesuai sisa hutang Darwanto untuk menutup hutang Darwanto. Hal ini menyebabkan nama debitur pada bulan Agustus 2018 beralih kepada Ibu Darsi. Informasi mengenai peralihan ini tidak dijelaskan dengan baik kepada ibu Darsi. Kesalahan berikutnya yang dilakukan oleh lembaga keuangan adalah tidak memberikan perjanjian kredit ataupun dokumen lain terkait peralihan tersebut.

 

Baca Juga: Tidak Ada Lagi Lembur untuk Mbak

 

Hal ini terlihat dari ketidaktahuan Ibu Darsi yang menyetorkan angsuran bervariasi antara  dua sampai tiga juta setiap bulan. Selama 23 bulan sejak September 2018 sampai Desember 2020, ibu Darsi telah menyetorkan uang yang secara keseluruhan sebesar Rp. 60.900.000,- (enam puluh juta sembilan ratus ribu rupiah). Angsuran yang disetorkan ibu Darsi hanya mampu mengurangi bunga tanpa ada pengurangan  yang signifikan terhadap pinjaman pokok.

 

Perempuan Lansia, Pedesaan, dan Surat Perjanjian  Kredit

Surat perjanjian adalah kesepakatan dua belah pihak yang dituangkan secara tertulis. Sebagaimana Pasal 1320 KUHPerdata, agar perjanjian dianggap sah harus memenuhi 4 (empat) syarat yakni:

  1. Kesepakatan yang mengikat kedua belah pihak
  2. Kecakapan dalam membuat suatu perikatan
  3. Suatu hal tertentu
  4. Suatu sebab yang halal

Namun dalam praktik kredit, surat perjanjian dibuat sepihak oleh lembaga keuangan. Pihak debitur hanya menerima dan menandatangani surat perjanjian tersebut. Bahkan terkadang debitur tidak diberikan keleluasaan waktu yang cukup dalam mempelajari isi perjanjian kredit tersebut.

Terlebih perempuan seperti ibu Darsi, seorang lansia yang tidak bisa membaca dan menulis bahkan minim pengetahuan tentang perkreditan. Sejatinya, ia hanya membantu usaha anaknya dengan meminjamkan sertifikat tanah namun tidak tahu menahu tentang kredit. Dalam konteks ini seharusnya ada mekanisme khusus yang dikeluarkan oleh Otoritas jasa keuangan guna memastikan proses dan informasi  terkait perkreditan tersampaikan kepada ibu Darsi.

Dalam perjanjian kredit antara Darwanto dengan lembaga keuangan tersebut terdapat klausul yang memperlemah posisi ibu Darsi sebagai penjamin. Di antaranya:

  1. Dalam Pasal 4 menyatakan apabila karena hal peminjam tidak mampu membayar hutang pokok dan bunganya karena peminjam meninggal dunia, berpindah tempat dan/atau kepindahannya tersebut karena menghindar diri dari hubungan hutang piutang dengan pihak bank, maka segala tanggungjawabnya terhadap bank secara otoatis beralih kepada ahli warisnya.
  2. Pasal 5 menyatakan apabila pada saat jika, Darwanto menghilang untuk menghindari pembayaran kredit maka kewajiban pembayaran kredit beralih kepada ahli waris.

 

Dian Puspitasari

Direktur LRC-KJHAM Periode 2016-2018, saat ini menjabat sebagai Sekretaris Seknas Forum Pengada Layanan (FPL) dan Advokat

Digiqole ad