Tidak Ada Lagi Lembur untuk Mbak
Saat masih aktif bekerja di kantor, tumpukan tugas yang harus diselesaikan seringkali menyita waktu. Tak jarang, aku pun harus pulang lebih lama dari biasanya.
Apabila pada hari itu aku masih berkutat dengan pekerjaan yang menuntutku untuk menyelesaikan sampai usai jam kerja, aku segera memberitahu mbak M, seorang ibu yang menjadi pengasuh bayiku di rumah.
“Mbak, nanti saya pulang jam 8, masih ada tugas.” Pesan dariku bermakna juga bahwa aku memintanya untuk bersiap agar tetap tinggal di rumah. Maklum, mbak M ini tidak menginap, atau dengan kata lain “pulang hari”.
Biasanya, aku mencatat setiap kali aku tiba di rumah melewati jam 7 malam. Untuk setiap satu jam yang terlewat, kukonversi menjadi sepuluh ribu rupiah setiap jamnya. Apabila dalam seminggu aku tiba jam 9 malam selama tiga hari, itu artinya aku akan memberikan kepada mbak M uang tambahan sebesar 60ribu rupiah.
Biasanya di akhir minggu, aku menyerahkan uang lemburnya sebagai kompensasi. Aku sekaligus berpesan jika aku salah hitung atau kurang hitung, aku memintanya untuk mengingatkan.
“Kalau saya lupa, minta tolong diingatkan ya,” demikian pesanku. Entahlah, apakah aku yang selalu tepat menghitung, atau mbak M yang sungkan mengingatkan, walaupun selalu berulangkali aku meminta dikoreksi tetap saja mbak M tidak pernah meminta uang lemburnya jika memang dirasa kurang.
Pekerjaan Tambahan
Tidak hanya jam kerja tambahannya yang kuhargai dengan uang tambahan. Pekerjaan tambahan yang bukan jobdesk rutinnya juga kucoba untuk selalu memberikannya uang tambahan. Misalnya, tugas mengerok. Maklum, orang Indonesia itu kalau merasa tidak enak badan atau sakit serupa masuk angin, salah satu pilihan untuk mengatasinya adalah dengan kerokan.
Suatu hari, aku merasa badanku tidak sehat. Perut serasa kembung, sementara pusing dan batuk juga menghampiri. Ini sepertinya efek begadang yang kulakukan lima hari berturut-turut sebelumnya untuk menyelesaikan sejumlah tulisan dan sebuah presentasi. Mbak M menawariku untuk dikerok, dan aku pun bersedia. Benar saja, kurang dari sejam dikerok, guratan merah langsung berjajar rapi di atas punggungku.
Selesai mengerok, kuserahkan selembar uang 20ribuan kepadanya. Mbak M terkejut. “Tidak usah, Cuma ngerok aja,!” katanya. Namun aku bersikeras.
Tugas Mbak M di rumahku adalah untuk mengasuh bayiku yang di usianya memasuki 3 tahun makin lincah dan aktif. Selain itu, Mbak M kutugaskan untuk menyetrika pakaian. Urusan cuci baju, setiap anggota keluarga dapat mandiri mencuci dengan mesin. Untuk pekerjaan memasak, aku sendiri yang turun tangan. Kecuali apabila ada momen tertentu yang mengharuskanku berangkat kerja lebih awal, aku menitipkan kepadanya bahan makanan yang sudah kusiapkan, ia tinggal mengeksekusinya di atas wajan.
Walaupun kami tidak pernah membuat perjanjian tertulis mengenai apa saja tugas mbak M selama di rumahku, namun menurutku tugas mengerok bukanlah jobdesk rutinnya. Dengan demikian, menurutku mbak M berhak atas uang tambahan sebagaimana bekerja lembur. Hal yang sama kulakukan juga ketika memintanya membantu bebersih rumah yang memakan waktu hampir seharian.
Dampak Work from Home
Pemberlakuan work from home atau kerja dari rumah sejak Maret lalu ternyata berdampak juga kepada mbak M. Dia memang tidak kehilangan pekerjaan dan juga tidak dirumahkan. Aku yang bekerja tidak terikat waktu atau freelance masih beruntung memiliki sejumlah tugas yang harus diselesaikan sehingga jasa mbak M sangatlah kuperlukan.
Pekerja rumah tangga yang bekerja di lapisan masyarakat kalangan menengah mungkin saja terancam tidak dapat lagi bekerja apabila pemberi kerja justru kehilangan pekerjaan atau dirumahkan, seperti dialami pekerja di sektor pariwisata, perdagangan, dan sejenisnya.
Sementara mbak M, dia kehilangan potensi penghasilan tambahan dari lemburan yang sebelumnya ia peroleh. Hal ini sangat terkait dengan kerja dari rumah yang aku lakukan. Praktis setiap hari aku dapat menutup laptop saat matahari sore masih memancarkan sinarnya. Mbak M pun tidak pernah lagi harus pulang melebihi gelapnya malam atau menunggu sampai salah satu dari kami, orangtua sang bayi, tiba di rumah.
Saat ini, aku juga tidak mungkin memintanya untuk mengerok atau melakukan tugas nonrutin lainnya. Saat ber-WFH, dengan manajemen waktu yang tepat semua urusan domestik rutin dan nonrutin pun dapat diselesaikan.
Tak ada lagi lemburan, semoga mbak M dapat mengelola penghasilan rutinnya dengan leluasa. Dan semoga pandemi ini segera berlalu agar mbak M dan pekerja lainnya dapat menambah penghasilan untuk peningkatan kesejahteraan mereka, dan mereka yang dirumahkan atau kehilangan pekerjaan dapat segera bekerja kembali.[]
Ema Mukarramah