Pengalaman Lintas Iman dalam Membentuk Inklusivisme Beragama

 Pengalaman Lintas Iman dalam Membentuk Inklusivisme Beragama

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Inklusif dan eksklusif merupakan dua kata dengan makna yang berkebalikan. Inklusif adalah mengajak atau mengikutsertakan. Istilah umumnya dikenal sebagai sifat keterbukaan atas perbedaan, penerimaan orang lain dengan identitas yang berbeda. Sebaliknya, eksklusif berarti tindakan untuk membatasi atau bahkan memisahkan diri dari lingkungan atau orang lain.

Kedua sikap tersebut tergambar dalam beberapa hal di kehidupan sehari-hari. Seseorang yang inklusif memiliki pandangan positif terhadap orang lain, mau berinteraksi atau bahkan membangun hubungan pertemanan dengan yang berbeda ras, bahasa, suku, dan agama (toleran). Sikap inklusif membantu menjaga hubungan baik antarmanusia, mengurangi tindakan diskriminasi (membeda-bedakan), dapat menghargai diri sendiri dan orang lain, memiliki kesadaran atas hak dan kewajiban setiap orang, dan mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih baik.

Adapun sikap eksklusif mengantarkan seseorang pada tindakan diskriminasi, tidak mampu menerima perbedaan (intoleran), menganggap dirinya yang paling benar, menutup diri (hanya mau terbuka pada kelompoknya sendiri), dan cenderung mengedepankan pandangan negatif pada seseorang atau kelompok yang berbeda.

Baca Juga: Pelibatan Perempuan Dalam Aksi Terorisme

Dalam aspek agama, ada istilah eksklusivisme beragama. Ini merupakan paham keagamaan yang mempunyai kecendrungan untuk memisahkan diri dari masyarakat, terutama yang berbeda agamanya. Eksklusivisme beragama adalah bibit dari terorisme. Pandangan eksklusif akan mengarah pada pikiran radikal, ekstremisme agama nirkekerasan, hingga berujung pada ekstremisme agama berkekerasan atau terorisme.

Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri telah menangkap total 26 terduga teroris sepanjang bulan Desember 2022.  Pada tahun yang sama, BNPT mencatat Indeks Potensi Radikalisme sebesar 10 persen atau turun 2,2, persen dari 2020. Dalam survei ini BNPT bekerjasama dengan sejumlah organisasi lain. Di antaranya bersama Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT), Pusat penelitian dan pengembangan Kementerian Agama (Puslitbang Kemenag), dan Kajian Terorisme Universitas Indonesia (UI).

BNPT  menyebutkan partisipasi aktif seluruh lapisan masyarakat di Indonesia memberikan pengaruh positif terhadap proses penanggulangan terorisme di Indonesia. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh BNPT  Indeks Potensi Radikalisme lebih tinggi pada perempuan, generasi muda, dan mereka yang aktif di internet.

Mengenal Salah Satu Akar Terorisme

Tidak seperti terorisme, eksklusivisme beragama sulit diidentifikasi, tetapi nyata dan ada di masyarakat. Contohnya, seseorang tidak mau bertetangga dengan yang berbeda agama, pencopotan label bantuan bencana alam yang berasal dari kelompok agama tertentu, dan memaksa kelompok agama minoritas mengikuti acara keagamaan kelompok agama mayoritas.

Baca Juga: Jihad Kebangsaan Sebagai Upaya Pencegahan Terorisme  

Ada banyak faktor yang memengaruhi seseorang menjadi eksklusif. Seperti pendidikan, ajaran agama yang keliru, didikan orang tua, pertemanan, dan lingkungan sekitar. Selain itu, pengalaman juga berperan penting dalam pembentukan sikap seseorang. Ketidakmampuan menghargai perbedaan, bisa dikarenakan sebelumnya belum pernah merasakan atau melihat secara langsung perbedaan tersebut. Hal ini menyebabkan asumsi yang terbangun berdasarkan doktrin orang lain, yang belum tentu benar.

Pengaruh Pertemuan Lintas Iman

Pengalaman akan memengaruhi cara pandang seseorang. Pertemuan-pertemuan lintas iman penting untuk menghadirkan pengalaman, sekaligus akan mengantarkan seseorang menjadi inklusif. Bagi sesama manusia yang berbeda keyakinan, ada masalah kebangsaan, sosial, budaya, kesetaraan, kesemestaan dan keperempuanan yang dapat dibahas bersama. Hidup berdampingan dengan kepercayaan (akidah) masing-masing, namun satu tekad dalam persoalan kemanusiaan.

Ruang-ruang inklusif, mempertemukan banyak orang dengan berbagai identitas, agama, suku, bahasa yang berbeda adalah gen dari keadilan dan kemaslahatan. Lebih baik membangun jembatan persahabatan daripada tembok yang menghalangi kesempatan untuk bertemu dengan perbedaan. Indonesia dengan keberagamannya membutuhkan kontribusi besar, satu tangan tidak lebih kuat dari tangan-tangan seluruh penggerak. Inklusivisme beragama membawa pikiran membangun kehidupan bersama sebagai anak bangsa.

Baca Juga: Perempuan dan Wajah Ekstremisme Beragama

Pertemuan lintas iman dapat diselenggarakan dengan menghadirkan tokoh potensial (berpengalaman) untuk membincangkan kerja-kerja bersama, menyelaraskan pandangan terkait relasi lintas iman, memerhatikan representasi dan komposisi dari kelompok agama yang dilibatkan, penyelenggara yang beragam, serta dapat pula menghadirkan seseorang atau organisasi yang terlibat atau pernah terlibat dalam eksklusivisme beragama.

Ruang perjumpaan yang sangat inklusif menjadi alternatif pembelajaran untuk memahami dan menghargai adanya perbedaan. Dari sini, sisi eksklusif diri akan mulai terkikis. Mulai membuka diri dengan cara pandang yang lebih sehat pada orang dan lingkungan sekitar. Pengalaman lintas iman yang didapat, perlu dikolaborasikan dengan ilmu pengetahuan. Tujuannya sebagai pondasi dari sifat eksklusif yang dibangun, agar tidak mudah terpengaruh kembali. [Uung Hasanah]

 

 

Digiqole ad