Optimalkan UU Pendidikan dan Layanan Psikologi untuk Pulihkan Korban

 Optimalkan UU Pendidikan dan Layanan Psikologi untuk Pulihkan Korban

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Oleh; Zainab Az Zahro

Banyaknya kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan artinya ada banyak korban yang mengalami berbagai dampak termasuk rasa trauma yang menghambat untuk tumbuh kembang dalam masyarakat. Pada tahun 2022, sepanjang bulan Januari-November Komnas perempuan menerima pengaduan sebanyak 1.759 kasus dengan berbagai jenis. Itu tentu bukan jumlah yang sedikit. Mereka yang menjadi korban kekerasan berbasis gender akan mengalami trauma cukup berat.  Bahkan dalam suatu kasus kekerasan seksual di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (voi.id, 2022), ada yang ingin melakukan percobaan bunuh diri.

Berbagai dampak seperti trauma, rasa cemas, khawatir, dan berbagai dampak psikologis lainnya pada korban tentu harus diatasi agar korban dapat menikmati kembali kehidupannya. UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual menegaskan bahwa korban berhak atas pemulihan termasuk pemulihan psikologis. Untuk efektivitas pelaksanaan UU ini, sejumlah peraturan pelaksana masih perlu dikawal lebih lanjut.

Sementara itu, ada pula UU lain yang sangat terkait dengan pemulihan psikologis yang dibutuhkan korban. Yaitu, UU Nomor 23 Tahun 2022 tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi. Diharapkan, kehadiran UU ini melengkapi dan meningkatkan ketersediaan layanan pemulihan psikologis yang sangat dibutuhkan untuk pemulihan korban.

Baca Juga: Kekerasan terhadap Perempuan Lansia: Tidak Terlihat dan Terperhatikan

Apabila jumlah psikolog meningkat, diharapkan dapat memberikan bantuan kepada banyak korban.  Kebutuhan korban untuk mendapatkan layanan psikologi antara lain untuk melepaskan rasa traumanya, dapat terpenuhi.

Sementara itu, pembentukan UU ini dilatarbelakangi oleh kekosongan hukum mengenai bentuk perlindungan sebagai psikolog dalam melayani kliennya. UU ini sangat diperlukan untuk menghadirkan ketentuan yang baku dan memenuhi standar dalam pendidikan dan layanan psikologi. Hal ini diharapkan dapat menghindarkan terjadinya malpraktik (HMPSI, 2020) yang bisa saja terjadi dalam praktik.

Selain itu, UU ini sangat dinantikan agar tersedia bentuk pelindungan terhadap tenaga  psikolog dan penggunanya (Kelana, 2021).  Tidak hanya itu, setelah UU ini disahkan, materi muatan di dalamnya tidak hanya memberi payung hukum bagi psikolog yang bekerja dalam menangani kliennya.  UU ini juga menegaskan perlindungan klien, antara lain hak klien terhadap psikolog supaya kerahasiaannya terjaga pada saat konsultasi. Psikolog juga tidak boleh melakukan diskriminasi dalam memberikan pelayanan terhadap klien, baik klien yang berbeda secara agama dan suku, maupun ras dan agama (Ramadhani, 2022). Selain itu, sebagai psikolog tidak boleh membedakan dari mana latar belakang klien berasal.

Baca Juga: Partisipasi Masyarakat Sosialisasikan UU TPKS

Diharapkan dengan adanya UU ini, dapat meningkatkan ketersediaan layanan psikologi yang sangat dibutuhkan dalam membantu memulihkan kondisi psikologis korban. Adanya UU ini bisa dibilang merupakan upaya kuratif, dimana diperlukan suatu tindakan untuk memulihkan manakala terjadi kekerasan berbasis gender. Barangkali pelaku kekerasan berbasis gender, termasuk pelaku kekerasan seksual tak mengindahkan adanya dampak kesengsaraan psikis pada korbannya. Tentu pelaku haruslah mempertanggungjawabkan perbuatannya, termasuk membayarkan restitusi yang merupakan salah satu komponen pemulihan korban. Di sisi lain, melalui UU ini negara menyediakan jaminan agar korban dapat memperoleh layanan psikologi yang sesuai dengan kebutuhannya untuk menyembuhkan kondisi psikisnya.[]

 

Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang

 

REFERENSI:

“Ada Lebih 11 Ribu Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia Sepanjang 2022: Trauma Korban Tak Mudah Disembuhkan”. 30 Desember 2022. (Jakarta: voi.id) https://voi.id/bernas/240309/ada-lebih-11-ribu-kasus-kekerasan-seksual-di-indonesia-sepanjang-2022-trauma-korban-tak-mudah-disembuhkan, diakses pada 30 Januari 2023  pukul 15.55 WIB

Anindya, Astri, Yuni Indah Syafira Dewi, Zahida Dwi Oentari. 2020. “Dampak Psikologis dan Upaya Penanggulangan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan”. Dalam TIN: Terapan Informatika Nusantara Vol 1, No 3, Agustus 2020, (hlm. 137-140)

Hendra Kelana, Setiawan. 2021. “Himpsi dan AP2TPI Jateng Desak DPR Segera Sahkan RUU Praktik Psikologi Jadi UU”. 30 Agustus 2021. https://www.suaramerdeka.com/jawa-tengah/pr-04991179/himpsi-dan-ap2tpi-jateng-desak-dpr-segera-sahkan-ruu-praktik-psikologi-jadi-uu,  (Semarang: suara.com) diakses pada 30 Januari 2023 pukul 16.08 WIB.

“RUU Profesi Psikologi dan Naskah Akademiknya”. 17 Februari 2020.  (Jakarta: dalam himpsi) https://www.google.com/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=0CAMQw7AJahcKEwio263X9u78AhUAAAAAHQAAAAAQAg&url=https%3A%2F%2Fhimpsi.or.id%2Fblog%2Fberita-pengumuman-2%2Fpost%2Fruu-profesi-psikologi-dan-naskah-akademiknya-58&psig=AOvVaw3oQXudVcPqiHaDfeo9ANA-&ust=1675155430161098,  diakses pada 30 Januari 2023  pukul 15.59 WIB

Undang-Undang Pendidikan dan Layanan Psikologi Tahun 2022

Digiqole ad