Merdeka dengan Perlindungan PRT

 Merdeka dengan Perlindungan PRT

Ilustrasi (Afta Putta Gunwan/Pexels.com)

JAKARTA, JALASTORIA.ID – Apa yang terlintas saat mendengar hari kemerdekaan negara Indonesia tercinta? Merdeka? Tentu saja! Bebas dari penjajahan? So pasti! Terjamin hak-hak sebagai warga negara? Ini penting banget!

Namun, di balik semua makna kemerdekaan itu, masih ada lho masyarakat Indonesia yang masih belum merasakan makna kemerdekaan sepenuhnya. Antara lain, korban kekerasan seksual, adalah kelompok masyarakat yang masih belum merasakan makna merdeka untuk menikmati hak atas rasa aman. Selain itu, juga kelompok masyarakat yang berprofesi sebagai Pekerja Rumah Tangga.

Lantas, apa aja hak yang masih terenggut dari Pekerja Rumah Tangga? Di antaranya, jaminan perlindungan negara terhadap Pekerja Rumah Tangga. Menurut Arif Maulana, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dalam webinar bertema “17 Agustus, 17 Tahun RUU PPRT Mandek” (17/08/2021), berdasarkan berbagai data dan fakta yang terjadi, Pekerja Rumah Tangga masih mengalami beragam kekerasan, mulai dari fisik, psikis, dan ekonomi.

Nah, supaya perlindungan bagi Pekerja Rumah Tangga itu dapat terwujud, kelompok masyarakat sipil dan gerakan mahasiswa kompak mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Berikut ini sejumlah argumentasi kenapa perlindungan Pekerja Rumah Tangga sangat penting diwujudkan, khususnya melalui pembahasan dan pengesahan RUU PPRT.

  1. Profesi Alternatif yang Sangat Membantu Masyarakat

Menurut Arif Maulana (17/08/2021), pekerjaan sebagai Pekerja Rumah Tangga adalah profesi alternatif yang sangat menunjang perekonomian. Profesi ini juga  membantu masyarakat untuk bisa memenuhi kebutuhan. Theresia Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan (17/08/2021) juga mengingatkan, bahwa peran Pekerja Rumah Tangga sangatlah signifikan sebagai penyangga sistem ekonomi politik.

Walaupun demikian, menurut Theresia, ada cara pandang politik maskulin pada sebagian besar pengambil keputusan. Di satu sisi, pandangan ini tidak mengakui Pekerja Rumah Tangga sebagai penyangga sistem ekonomi politik. Di sisi lain, pandangan ini juga menafikan partisipasi perempuan yang berperan menyangga sistem ekonomi politik itu berjalan.

Pada akhirnya, politik maskulin sedemikian, menurut Iswawini, menyebabkan Pekerja Rumah Tangga mengalami rendahnya akses pada sumber daya ekonomi politik. Hal ini menimbulkan genderisasi struktur pasar kerja, di mana pasar kerja menempatkan kelompok masyarakat dari pedesaan dan yang minim pendidikan masuk di sektor informal. Hal ini tentu ada konsekuensi, yaitu minim perlindungan, jam kerja panjang, minim jaminan kesehatan, upah rendah, dan lain-lain.

  1. Sebagian Besar Pekerja Rumah Tangga adalah Perempuan

Berdasarkan survey ILO pada 2015, tercatat 4,2juta jiwa di Indonesia berprofesi sebagai Pekerja Rumah Tangga. Dan, 84% di antaranya adalah perempuan. Jumlah ini tentu tidaklah sedikit. Sementara itu, menurut Arif Maulana, perempuan adalah kelompok rentan sehingga perlu diprioritaskan untuk dilindungi oleh negara.

Jumlah Pekerja Rumah Tangga di Indonesia bahkan jauh lebih besar daripada jumlah Pekerja Rumah Tangga di India (3,8juta) dan Filipina (2,6juta). Selain itu, Iswarini juga mengingatkan bahwa di Indonesia, 14% dari total jumlah Pekerja Rumah Tangga itu merupakan anak. Dengan demikian, Iswarini mengingatkan, pembahasan terkait perlindungan Pekerja Rumah Tangga juga harus ditujukan untuk tujuan penghapusan Pekerja Rumah Tangga Anak.

Mengingat jumlah perempuan yang cukup besar, menurut Iswarini, pembahasan RUU PPRT sangat terkait dengan cara pandang pengambil kebijakan yang sebagian besar masih bias gender, terutama karena kebanyakan Pekerja Rumah Tangga adalah perempuan. “Kerja merawat rumah dan manusia tidak pernah sungguh-sungguh dihitung dan diakui sebagai bagian penting dari sistem ekonomi,” jelas Iswarini dalam paparan dalam webinar yang diselenggarakan oleh LBH Jakarta (17/08/2021) itu.

Baca Juga: Kekerasan terhadap Perempuan, Ketahui Bentuknya

Cara pandang bias gender itu, menurut Iswarini, berkelindan dengan cara pandang politik maskulin, yang tidak mengakui Pekerja Rumah Tangga sebagai penyangga sistem ekonomi politik dan partisipasi perempuan di dalamnya.  Kondisi demikian, diingatkan Iswarini, menimbulkan konsekuensi lebih jauh yaitu feminisasi kemiskinan: kemiskinan berwajah perempuan.

  1. Rentan Segala Bentuk Kekerasan

Sekalipun kehadiran Pekerja Rumah Tangga sangatlah diperlukan untuk menunjang perekonomian, nyatanya Pekerja Rumah Tangga masiih harus berjuang atas kesejahteraan dengan kondisi kerja yang buruk. Yuni Sri Rahayu dari JALA PRT (17/08/2021)  menjelaskan, masih banyak Pekerja Rumah Tangga yang mengalami bekerja dengan jam kerja yang panjang. Demikian pula Pekerja Rumah Tangga yang terus menerus bekerja tanpa libur.

Kerentanan lainnya yang juga dialami Pekerja Rumah Tangga adalah bekerja  tanpa jaminan sosial. “Dari survey jaminan sosial JALA PRT 2020 terhadap 4.843 Pekerja Rumah Tangga di 7 kota, 89% Pekerja Rumah Tangga tidak mendapatkan jaminan kesehatan,” ungkap Yuni. Umumnya Pekerja Rumah Tangga membayar sendiri jika sakit, termasuk hutang ke majikan dan potong gaij. Ketersediaan jaminan sosial dari pemerintah pun tidak mudah diakses oleh Pekerja Rumah Tangga terutama terkait dengan status kependudukan. Pemberian bantuan sosial sangat tergantung dari aparat setempat apakah mendata atau memasukkan Pekerja Rumah Tangga tersebut sebagai penerima bantuan sosial.

Baca Juga: Ditunggu, Jaring Pengaman Sosial bagi PRT

Selain itu, menurut Yuni, Pekerja Rumah Tangga rentan menjadi korban kekerasan terutama karena tempat kerja yang terisolasi. Tidak hanya itu, Pekerja Rumah Tangga juga rentan mengalami tindak pidana perdagangan orang.

Berdasarkan temuan JALA PRT dalam rentang 2015-2019, terdapat 2.148 kasus kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga. Bentuk kekerasan yang dialami Pekerja Rumah Tangga beragam, yaitu kekerasan fisik, psikis, seksual, dan juga ekonomi. Iswarini juga menjelaskan, Catatan Tahunan Komnas Perempuan pada 2020 mencatat terdapat 17 pengaduan kasus Pekerja Rumah Tangga sepanjang 2019, di mana hanya dua di antaranya yang berproses di pengadilan.

Kekerasan lainnya yang dialami, menurut Yuni, adalah pelecehan terhadap profesi sebagai Pekerja Rumah Tangga. Selain itu, upah tidak dibayar, pemutusan hubungan kerja (PHK) menjelang hari raya, dan tunjangan hari raya (THR) tidak dibayar juga menjadi kasus yang sering dilaporkan.

Baca Juga: Kerja dari Rumah, Bagaimana dengan PRT?

Sementara itu, di masa pandemi, Pekerja Rumah Tangga tidak dapat mengikuti anjuran untuk Work from Home (WFH) karena pekerjaan yang dilakukan tidak tergolong sebagai pekerjaan WFH. Dengan kondisi itu, ungkap Yuni, “PRT masih harus bekerja dengan berbagai resiko.” Sementara jika tidak bekerja, Pekerja Rumah Tangga juga tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah.

==

Nah, berdasarkan sejumlah argumentasi tersebut, lantas apa nih yang bisa dilakukan untuk mewujudkan perlindungan bagi Pekerja Rumah Tangga? Ada tiga tips yang diberikan oleh Leon Alvinda Putra, Ketua BEM UI (17/08/2021). Pertama, mengamplifikasi suara. Hal ini dapat dilakukan dengan misalnya menyebarkan data-data mengenai kerentanan Pekerja Rumah Tangga, berbagai kasus yang dialami seperti  PHK sepihak, kekerasan dari pemberi kerja, gaji yang kurang layak, jam kerja tidak jelas, dan minimnya jaminan perlindungan sosial dan kesehatan. Selain itu, juga memperkaya sumber informasi melalui penyusunan kajian sebagai materi kampanye dan advokasi.

Kedua, bersolidaritas. Yaitu, dengan membangun kesadaran bahwa masalah yang dialami Pekerja Rumah Tangga ini bukan hanya masalah Pekerja Rumah Tangga, tapi merupakan masalah bersama agar negara hadir memenuhi hak-hak warganya. Leon mengilustrasikan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bukan merupakan masalah perempuan saja melainkan masalah bersama.

Ketiga, berkonsolidasi mendesak pengesahan RUU PPRT. Misalnya, membangun perhatian di semua kampus terhadap RUU ini.  Selain itu, perlu juga membuka komunikasi dengan DPR RI khususnya Ketua Panja agar RUU ini segera disahkan. Dalam hal ini, perlu dibangun kolaborasi gerakan antara mahasiswa dan elemen masyarakat sipil yang fokus ke RUU ini.[MUK]

 

Digiqole ad