Membaca Kartini dalam Panggil Aku Kartini Saja

 Membaca Kartini dalam Panggil Aku Kartini Saja

Ilustrasi: Pinterest.com/Edy Sofyan Subing

“Kartini dengan lantang dan jernih menyuarakan pikiran-pikirannya, menentang terang-terangan feodalisme, ketimpangan hak atas pendidikan, dan diskriminasi terhadap perempuan.” (Pramoedya, Panggil Aku Kartini Saja)

Kartini merupakan salah satu pahlawan emansipasi perempuan yang menginspirasi penulisan novel “Panggil Aku Kartini Saja” karya Pramoedya Ananta Toer. Perjuangan R.A. Kartini dalam memperjuangkan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan menempuh berbagai rintangan berupa budaya dan adat yang sudah menjelma menjadi aturan tak tertulis dalam masyarakat yang sulit untuk diubah.

Dalam buku Panggil Aku Kartini Saja, Pramoedya menarasikan bagaimana kehidupan yang dilalui Kartini dalam cengkraman feodalisme pada masa penjajahan Belanda. Kartini mengerahkan upayanya sebagai seorang perempuan yang terikat aturan adat bangsanya sendiri dan keinginannya untuk mendobrak penjajahan pada masa itu. Status Kartini yang merupakan anak dari keluarga bangsawan tidak membantunya untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan, malah semakin menjeratnya karena harus menjadi contoh seorang gadis bangsawan pada masanya.

Baca Juga: Kartini (Film 2017)

“Aku akan sangat berduka cita sekiranya Ayah menentang cita-cita kebebasanku, tapi akan lebih bersedih hati lagi, apabila hasrat paling menyala itu terpenuhi, tapi dalam pada itu kehilangan cinta Ayahku.”(hlm.57)

Kartini berada dalam pilihan yang dilematis. Keterbukaan ruang baginya untuk bergerak adalah keinginannya, namun ia juga tidak ingin melawan perintah ayahnya sendiri. Kartini merupakan anak dari seorang Bupati. Ibunya merupakan istri pertama, namun bukan yang utama (selir). Kartini lahir pada 21 April 1879. Selama kurun waktu peralihan masa kanak-kanak hingga dewasa, sayangnya Kartini harus berpisah dari ibu kandung yang melahirkannya karena perbedaan strata sosial.

Kartini mulai disekolahkan seperti kakak-kakaknya, walaupun pendidikan bagi perempuan pada masa itu ditentang oleh adat istiadat Jawa. Saat bersekolah, Kartini harus menghadapi sebuah diskriminasi seperti perlakuan yang diterimanya disesuaikan dengan kedudukan sosialnya, warna kulitnya, dan gender sebagai seorang perempuan. Namun pada masa sekolah inilah pikiran Kartini mulai terbentuk untuk memperjuangkan hak perempuan bagi generasi mendatang.

Baca Juga: Jauh sebelum RA Kartini, Perempuan Jawa telah Mengambil Peranan Penting!

Kartini gemar membaca buku. Kartini disekolahkan sampai ia berumur 12 tahun, lalu ia dipingit sampai umur 16 tahun untuk nantinya dinikahkan. Setelah masa pingitannya selesai, Kartini dibebaskan. Ia menyaksikan bagaimana masyarakat feodal terpinggirkan, bagaimana perempuan tidak punya pilihan terhadap  masa depan. Kegemarannya membaca buku membuat pemikiran Kartini berkembang.  Berdasarkan buku yang dibacanya, ia mendapati sebuah kesimpulan: bahwa bila suatu kaum merasa tertindas, maka ia harus mempelajari bagaimana cara kerja kaum yang menindas. Ia harus menguasai apa yang dikuasai oleh bangsa barat, yaitu ilmu pengetahuan.

Kartini pun mulai mempelajari hal-hal baru di berbagai bidang, di antaranya seni, budaya, bahasa, lagu, dan pengetahuan lainnya. Kartini menerima berbagai kecaman dan perlawanan, namun kartini tetap berdiri dan memeranginya. Upaya-upaya Kartini mengantarkan namanya sampai ke Eropa di mana penderitaan penjajahan itu berasal, di tempat di mana ilmu pengetahuan berkembang pesat.

“…dengan ketajaman daya observasinya melihat kekuatan-kekuatan yang ada pada penjajah, mengambilnya, dibawanya pulang, untuk memperlengkapi bangsanya dengan kekuatan baru.” (hlm. 124)

Baca Juga: Menjawab Pertanyaan Perempuan

Perlu dipahami bahwa Kartini tidak sepenuhnya terpesona pada kemajuan teknologi di Eropa lantas memimpikan bangsanya (Indonesia) harus sama seperti Eropa. Kartini memahami bahwa Eropa bukan satu-satunya contoh negeri yang sempurna. Dilansir dari Radiobuku (21/4/2010), Pramoedya menganalisis bahwa tujuan Kartini adalah untuk mempelajari hal-hal yang dapat mengubah budaya bangsanya menjadi lebih baik, tidak sepenuhnya meniru.

Dalam pandangan Kartini, banyak hal yang harus diubah terutama cara pandang masyarakat yang memposisikan perempuan selalu harus di bawah laki-laki. Namun, ia menemukan kenyataan bahwa ayahnya mempoligami banyak perempuan, termasuk ibu kandungnya. Oleh karena itu Kartini sangat membenci poligami.

Kesadaran Kartini mengenai kebutuhan perempuan pada masanya mendorongnya untuk membuka taman ajar bagi anak-anak perempuan pribumi yang tidak bisa bersekolah. Namun, ketika Kartini berusaha membebaskan nasib bangsanya yang memilukan, lagi-lagi ia harus tunduk pada peraturan yang mengikat perempuan pada masa itu, yaitu perkawinan poligami.

***

Kartini bukan saja berhadapan dengan patriarki, namun ia membuktikan dan berani mengambil resiko untuk mengangkat derajat perempuan pada masanya. Walaupun perjuangan Kartini terbilang cukup singkat karena meninggal di usianya yang ke-25 tahun, sepanjang hidupnya Kartini terus berjuang bagi perempuan. Hingga kini semangat yang dikobarkan Kartini mengantarkan banyak perempuan untuk memperjuangkan kesetaraan karena adanya akses perempuan ke pendidikan, buah dari perjuangannya.

 

Waltri, Tim Redaksi Jalastoria.id

 

Referensi:

Toer, P. A. (2003). Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta: Lentera Dipantara

Zen RS, “Panggil Aku Kartini Saja”, radiobuku.com, 21 April 2010.

Digiqole ad