Menjawab Pertanyaan Perempuan

 Menjawab Pertanyaan Perempuan

Foto: Istimewa

Oleh: Siti Aminah Tardi

Judul               : Mitos Inferioritas Perempuan

Judul Asli        : Problemns of Women Liberation (1979)

Penulis             : Evelyn Reed

Penerbit          : Penerbit Independen Yogyakarta, Cetakan Pertama,

Tahun Terbit   : 2019

Jumlah halaman: 130 halaman, 13×19 cm

 

“Apa yang harus dilakukan perempuan agar bisa setara dengan laki-laki? Dan bagaimana membangun kesadaran bahwa perempuan juga bisa melakukan kegiatan selain menjadi ibu rumah tangga?” Seorang perempuan muda mengajukan pertanyaan terkait diskusi kami tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dengan bersandar pada bagaimana perempuan harus melakukan sesuatu agar setara secara substantif dengan laki-laki ini mengingatkan saya pada buku karya Evelyn Reed berjudul Mitos Inferioritas Perempuan.

Evelyn Reed (1905–1979) adalah seorang sosialis dan pegiat hak-hak perempuan. Evelyn terlibat aktif dalam gerakan pembebasan perempuan tahun 1960-an dan 1970-an, berbicara dan berdebat tentang hak-hak perempuan di berbagai kota dunia dan pernah dinominasikan sebagai calon Presiden Amerika Serikat dari Partai Pekerja Sosialis dalam pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 1972.  Evelyn menulis buku buku tentang asal mula penindasan terhadap perempuan dan perjuangan untuk emansipasi perempuan. Di antaranya adalah Problemns of Women Liberation (1979).

Problemns of Women Liberation diterjemahkan oleh Pramudya Ken Dipta, dengan cukup baik dan diterbitkan Penerbit Independen pada 2019. Buku setebal 130 halaman ini terbagi dalam empat bab yaitu: (1) Perempuan dan Keluarga: Sebuah Cara Pandang Sejarah. (2) Mitos Inferioritas Perempuan. (3) Seks Melawan Seks atau Kelas Melawan Kelas? dan (4) Mistik Wanita, sehingga dapat dibaca dalam rehat atau sebagai teman perjalanan. Melalui tulisannya, Evelyn mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan perempuan, seperti yang dilontarkan perempuan muda di atas kepada saya.

Evelyn mencoba menjawab pertanyaan mengapa perempuan mengalami penindasan dan mempercayai dirinya sebagai manusia kelas dua dari laki-laki.  Melalui studi antropologi feminis, menurut Evelyn akan mampu menjawab “pertanyaan-pertanyaan perempuan” atas kondisi ketertindasan dan mitos-mitos yang dibangun oleh kapitalisme dan patriarki.

Pertanyaan 1:  Benarkah Perempuan adalah Jenis Kelamin Inferior?

Salah satu mitos yang dibangun -termasuk kepada perempuan sendiri- adalah perempuan pada dasarnya adalah jenis kelamin inferior. Hal ini didorong fungsi biologis perempuan yaitu hamil dan melahirkan anak.  Seorang perempuan akan terhenti begitu berumah tangga, karena dia harus melahirkan dan merawat anak, sehingga disimpulkan tempat yang pas untuk perempuan adalah di rumah. Keberadaannya yang hanya di rumah, membuatnya secara sosial “tidak terlihat” dan menjadi “jenis kelamin kedua”. Sementara lelaki ditempatkan sebagai jenis kelamin utama dalam kehidupan ekonomi, politik, dan intelektual (hal. 15).

Dengan merujuk pada penelitian lain, Evelyn membantah mitos bahwa fungsi biologis perempuan untuk melahirkan adalah dasar pembenar untuk inferioritasnya. Pada kehidupan sosial awal, fungsi biologis perempuan merupakan sumber kekuatan perempuan. Karena selain melahirkan, terdapat fungsi khusus yang perempuan emban, yaitu sebagai produsen primordial  dari kebutuhan hidup. Perjuangan untuk bertahan hidup dan untuk memberi makan serta merawat anak-anak menjadi kerja produktif mereka dan fungsi ini membuat perempuan menjadi pendiri dan pemimpin bentuk organisasi sosial yang paling awal manusia (hal. 18).

Namun, mengapa kemudian kita mempercayai bahwa perempuan adalah makhluk inferior?  Hal ini menurut Evelyn terjadi karena hancurnya sistem masyarakat komunal primitif. Hadirnya sistem sosial baru yang mengakui sistem kepemilikan pribadi, perkawinan monogami dan institusi keluarga, telah menjadikan perempuan terpencar-pencar. Masing-masing isteri dan ibu hidup sendiri di rumah mereka masing-masing. Saat mereka bersama, kaum perempuan memiliki kekuatan sosial yang hebat, ketika dipisahkan dan diisolasi dari aktivitas kolektif dan tugas mereka terbatas hanya di dapur dan kamar anak-anak, kaum perempuan menjadi tidak berdaya. (hal. 21).

Dari uraian ini Evelyn ingin menunjukkan bahwa fungsi reproduksi perempuan tidak boleh dijadikan dasar untuk melakukan diskriminasi dan dasar pendomestifikasian perempuan. Fungsi biologis perempuan adalah kekuatan untuk keberlangsungan peradaban manusia.

 

Pertanyaan 2: Benarkah Perempuan Fungsi Utamanya  adalah Ibu Rumah Tangga?

Evelyn mengurai temuan-temuan antropologi yang memperlihatkan bahwa sistem matriarki itu pernah ada. Perempuan dalam masyarakat prasejarah, secara ekonomi mereka mandiri, tidak tergantung dengan suami, ayah, atau majikan laki-laki untuk penghidupannya. Di masyarakat komunal, mereka bekerjasama dengan laki-laki dan perempuan lain untuk memenuhi kebutuhan seluruh komunitas. Hasil kerja dibagi secara setara. Sesuai dengan nilai sosial yang ada, mereka memutuskan sendiri kehidupan seksualnya. Perempuan bukanlah “objek” untuk dilindungi, digertak, dimanipulasi, atau dieksploitasi. Sebagai produsen dan penasehat, mereka adalah pemimpin yang diakui dalam masyarakat. Mereka juga dihormati dan dihargai oleh para laki-laki (hal. iii)

Perempuan, pada masa itu menjadi penemu teknik pertanian dan perternakan, penggunaan api, industri makanan, teknik gerabah sampai pengobatan. Pendek kata, perempuanlah yang membawa manusia menuju ke peradaban. Sementara lelaki pergi untuk berburu, yang telah menyingkirkan laki-laki dalam waktu cukup lama dari pusat komunitas dan partisipasi dalam bentuk kerja-kerja yang lebih tinggi (hal.72). Tidak ada pembagian kerja secara seksual, tugas rumah tangga dilakukan secara kolektif. Namun, seiring pembukaan sistem pertanian skala luas, terbentuklah sistem kelas dan kepemilikan. Terjadi penundukan laki-laki terhadap perempuan.

Maka dimulailah perampasan kemandirian ekonomi, kebebasan seksual, politik, dan kebudayaan perempuan. Laki-laki mengambil alih pekerjaan-pekerjaan perempuan, perempuan direbut dari pekerjaan produktif dan didorong ke fungsi biologis mereka sebagai ibu. Laki-laki mengambil alih kendali masyarakat dan mendirikan sistem sosial baru yang melayani kebutuhan mereka (hal.75). Dari uraian ini, Evelyn ingin menunjukkan bahwa kodrat perempuan bukanlah ibu rumah tangga, perempuan memiliki sejarah panjang berkontribusi dalam sistem produksi sosial.

 

Pertanyaan 3: Benarkah Perempuan Harus Cantik untuk Mendapatkan Laki-laki?

Sistem kapitalisme dan patriarki mengembangkan mitos bahwa sejak awal perempuan menginginkan kecantikan dan berlaku untuk perempuan di semua kelas. Sistem kapitalis yang disebut pengeruk untung ini memberikan “bukti” bahwa dalam masyarakat primitif, perempuan melukis dan menghiasi tubuh mereka, tidak ada kompetensi seksual. Tubuh dan wajah baik laki laki maupun perempuan dilukis dan dihias tetapi tidak untuk terlihat cantik, melainkan penanda usia dan jenis kelamin. Namun ketika masyarakat kelas hadir penandaan berubah menjadi fashion dan ekspresi pembagian masyarakat antara yang kaya dan miskin.

Untuk melayani hasrat keuntungan, perbedaan kelas didokumentasikan dan disembunyikan di balik identitas jenis kelamin. Propaganda bahwa perempuan ingin menjadi cantik, oleh karenanya memiliki kepentingan yang sama atas kosmetik dan fashion, juga semua perempuan dibuat agar “butuh” dan “ingin” untuk terus membeli alat bantu kecantikan demi terlihat menawan (hal. 86). Maka kemudian dibuat mitos bahwa: (1) Perempuan dari dulu selalu bersaing dengan perempuan lain untuk mendapatkan perhatian dari laki laki. (2)  Kecantikan alami dari perempuan tidak terlalu diperhitungkan. Kesederhanaan dan “ketidaksempurnaan” kecantikan alami dapat dikoreksi oleh perusahaan kecantikan

Untuk mempertahankan mitos kecantikan dan meraup keuntungan terus, maka dibuatlah rumusan yaitu memanipulasi daging perempuan (female flesh) ke dalam ukuran dan cetakan standar, melukis, dan mengemulsi daging yang dimanipulasi dengan kosmetik, pewarna, sampai parfum, dan menghias daging yang telah dimanipulasi dengan pakaian, atau perhiasan (hal. 92). Mungkin terdengar kasar menyebut tubuh perempuan sebagai daging, tapi ada benarnya juga. Perempuan yang terhegemoni standar kecantikan dan fashion kapitalis, tanpa kesadaran bahwa hal itu menyebabkan perempuan konsumtif, dan menyebabkan buruh-buruh perempuan semakin tertindas, karena sebagian upahnya dibelikan untuk kosmetik dengan harapan setara dengan kecantikan standar perempuan kelas menengah. Ketika kita terjebak standar kecantikan demikian, tak ubahnya cantik tapi tak berjiwa.

Lantas, bagaimana untuk mengubahnya menjadi lebih setara? Apakah melalui pertarungan dengan laki-laki? Yang pertama tentunya baik laki-laki dan perempuan mengakui bahwa ketidakadilan yang terjadi terhadap perempuan adalah sebagai akibat dari sistem patriarki dan kelas. Maka anjuran Reed adalah penghancuran budaya patriarki dan tatanan masyarakat kapitalis sebagai prasyarat untuk membangun masyarakat baru yang lebih baik. Perempuan dan laki-laki harus bekerjasama untuk itu. Kembali kepada pertanyaan di awal, langkah pertama yang harus dilakukan perempuan adalah menyakini bahwa perempuan setara dengan laki-laki, setelah itu secara bertahap mewujudkan kesetaraan itu sendiri.[]

 

Penulis adalah seorang feminis dan ibu. Saat ini menjadi Komisioner Komnas Perempuan Periode 2020-2024. Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili Lembaga.

 

Digiqole ad