Oleh: Ayu Puspita

Sejujurnya, saya tidak tumbuh besar dengan nama Ita Martadinata sebagai bagian dari pelajaran sejarah, nama tersebut tidak tertulis dalam buku pelajaran resmi. Saya mengenal sosok Ita Martadinata justru melalui cerita-cerita yang dibagikan dalam diskusi komunitas, ruang-ruang peringatan kecil, dan sesekali melalui tulisan-tulisan yang beredar di media alternatif. Nama Ita pelan-pelan menjadi penting bagi saya bukan hanya karena kisahnya yang tragis, tapi karena ia adalah cermin dari sejarah yang ditolak untuk diakui.

Ita Martadinata Haryono  merupakan remaja perempuan keturunan Tionghoa yang namanya kembali diperbincangkan hari ini. Mengembalikan ingatan bahwa luka sejarah yang tak kunjung mendapat pengakuan, ia menjadi simbol dari kekerasan yang disangkal negara.

 

Ita Martadinata dan Sejarah yang Disembunyikan

Ita Martadinata Haryono lahir di Jakarta pada tahun 1980 dan tinggal di kawasan Sumur Batu, Jakarta Pusat. Ia berasal dari keluarga Tionghoa yang secara ekonomi tergolong mapan. Ayahnya adalah seorang pengusaha dan ibunya aktif dalam komunitas Hak Asasi Manusia. Ita sendiri merupakan siswi SMA Paskalis Jakarta jurusan IPS, dikenal sebagai pribadi yang ceria dan peduli pada isu sosial.

Kerusuhan besar-besaran yang terjadi pada bulan Mei tahun 1998, telah meninggalkan luka dan salah satu sejarah kelam di Indonesia. Penjarahan, pembakaran dan kekerasan menyebar luas di berbagai kota, terutama Jakarta. Sasaran utamanya adalah kelompok etnis Tionghoa, korban dari diskriminasi sistemik yang telah berakar lama. Kekerasan tidak berhenti pada properti, namun tubuh perempuan menjadi medan perang yang sunyi.

Tragedi Mei 1998 bukan sekadar kisah tentang kerusuhan, melainkan juga tentang tubuh-tubuh perempuan yang dijadikan alat kekuasaan dan kebencian. Menurut laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tercatat 168 laporan kekerasan seksual, dengan 85 perempuan yang berhasil diverifikasi. 52 korban mengalami pemerkosaan, 14 mengalami pemerkosaan disertai penganiayaan, 10 mengalami kekerasan fisik/penyerangan seksual, dan sembilan lainnya menjadi korban kekerasan seksual lainnya yang telah menyasar perempuan Tionghoa.

Ita adalah bagian dari sejarah itu. Setelah mengalami kekerasan seksual dan menyaksikan rumahnya dijarah, Ita pun tidak tinggal diam, ia memilih bersuara dan didampingi oleh aktivis kemanusiaan yang pada saat itu sedang membangun ruang aman bagi para penyintas/korban. Ita telah bersiap untuk menjadi saksi dalam forum internasional yang digelar oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Namun, langkahnya harus berhenti beberapa hari sebelum keberangkatannya ke New York Amerika Serikat. Ita ditemukan tewas mengenaskan di rumahnya sendiri,  jenazah Ita tergolek di lantai, darah tergenang, dan masih hangat. Tubuhnya penuh luka tikam, lehernya disayat, dan duburnya ditancap kayu. Banyak pihak meyakini kematiannya adalah pesan, bahwa suara-suara tentang kekerasan dipaksa bungkam.

Kasus kekerasan seksual yang terjadi pada Mei 1998 hingga kini belum menemukan keadilan yang sepadan, tak satupun pelaku dihukum, tak ada pengadilan yang memberi ruang pengakuan korban secara menyeluruh. Sosok Ita Martadinata menegaskan bahwa perempuan (walaupun dalam ketakutannya) bisa berdiri melawan dan kebenaran- meski dibungkam akan selalu mencari cara untuk muncul kembali.

Oleh komunitas Tionghoa sebagai bagian dari merawat ingatan, tragedi Mei 98 diperingati dengan kegiatan makan rujak pare dengan sambal kecombrang. Kepahitan pare melambangkan pahitnya tragedi Mei 98. Bunga kecombrang menjadi simbol perempuan Tionghoa yang menjadi korban perkosaan massal.

Ita sebagai salah satu korban dalam tragedi ini, diberikan penghormatan dengan melakukan upacara untuk meletakkan sinci Ita bersisian dengan sinci KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sinci adalah papan kayu bertuliskan nama leluhur yang sudah meninggal dan diletakkan pada altar penghormatan yang akan selalu didoakan di setiap upacara sembahyang arwah. Keduanya, disimbolkan sebagai pejuang kemanusiaan yang menjadi pesan pada yang hidup untuk terus memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan.

Sebagai generasi muda yang lahir setelah 1998, saya merasa ada hutang sejarah yang belum tuntas dibayarkan. Ketika sejarah dikaburkan, ketika luka dianggap selesai hanya karena waktu telah berlalu, maka kita sedang membiarkan kekerasan terulang dalam bentuk-bentuk baru.

Ita Martadinata  melangkah dengan keberanian, Ia simbol dari perjuangan yang tak sempat selesai. Sebagai generasi muda, tugas kita bukan hanya untuk mengenang, namun memastikan bahwa suara-suara seperti Ita tak lagi dibungkam di masa depan. Ita mungkin tak sempat bersaksi di mimbar internasional, tetapi kita bisa menjadi gema dari suara yang tak sempat diucapkan.

Saya menulis ini bukan karena saya tahu segalanya tentang Ita, justru karena saya menyadari betapa banyak yang saya tidak tahu, dan betapa pentingnya untuk mencari tahu. Untuk bertanya, untuk menggali, untuk mengingat dan untuk memastikan bahwa apa yang terjadi pada Ita Martadinata tidak berakhir sebagai rumor dalam sejarah bangsa.

 

Penulis adalah fresh graduate dari Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara. Tertarik pada bidang kepenulisan, terutama isu perempuan

 

 

 

 

 

Share.

Comments are closed.