Kartini (Film 2017)
Film yang tayang di bioskop tahun 2017 ini menceritakan kembali kisah hidup Kartini dari awal ia lahir hingga dewasa di rumah ayahnya yang merupakan Bupati Jepara. Film ini mengisahkan berbagai macam rintangan Kartini dan adik-adik perempuannya untuk belajar mengenai kesetaraan.
Film ini disutradarai Hanung Bramantyo, sutradara yang makin dikenal debutnya melalui film-film berlatar zaman kolonial. Sebut saja “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”, “Soekarno”, dan kali ini “Kartini”, berhasil ia sutradarai dengan sukses dan banyak ditonton oleh masyarakat Indonesia.
Pemeran pada film ini antara lain Dian Sastrowardoyo sebagai R.A Kartini, Christine Hakim sebagai Ngadirah (Ibu Kartini), Acha Septiarsa sebagai Rukmini, dan Ayushita sebagai Kardinah.
Cerita berawal dari Kartini kecil yang sangat tidak berdaya dengan tradisi saat itu, di mana anak perempuan harus berjalan jongkok ketika melayani laki-laki. Ketika mendapatkan menstruasi pertamanya, maka Kartini harus menjalani kehidupan pingitan yaitu harus tetap di kamar, tidak boleh keluar dari rumah, dan harus menunggu hingga ada bangsawan yang mau menikahinya, yang tentu bukan pilihannya.
Kakak Kartini, RM Sosro Kartono (diperankan Reza Rahardian), mengetahui bahwa adiknya merasakan ketidakadilan yang sedang dialaminya. RM Sosro Kartono akhirnya memberikan kunci kepada adiknya itu dan mengatakan “Ini kunci yang akan menghubungkan kowe dengan dunia luar dari kamar pingitan.”
Ternyata lemari tersebut berisi buku-buku berbahasa Belanda, yang menceritakan tentang kehebatan perempuan-perempuan dan kesetaraan antara pria dan wanita di negeri Belanda. Hal tersebut lah yang membuka wawasan Kartini akan gagasan baru tentang pentingnya kesetaraan dan hak-hak perempuan.
Kartini giat menulis pengalamannya dan gagas pemikirannya kepada teman-teman Belandanya, hingga ia disebut pribumi yang berwawasan. Tulisannya juga dibawa ke Den Haag untuk dipamerkan pada saat penobatan Ratu Wilhemina.
Usaha Kartini dalam menulis dan mengemukakan gagasan pemikirannya mendapat berbagai pertentangan dari keluarganya sendiri, tetapi hal tersebut tidak mengurangi semangat Kartini dalam menulis.
Kartini dan kedua adiknya, Kardinah dan Roekmini, diibaratkan seperti Klaverblad yang kompak memperjuangkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan di bidang pendidikan dan tidak menyukai poligami. Namun nahas, satu persatu dari mereka dinikahi oleh pria beristri dan mereka tidak dapat berbuat apa-apa untuk melawan sistem yang ada.
Penulis suka dengan alur film ini, jelas dan mudah dimengerti. Walupun alu agak lamban, detail-detail dari lingkungan Jawa pada tahun 1900an yang berhasil digambarkan patut diapresiasi. Pengambilan gambar yang apik juga memanjakan mata penonton.
Film ini juga menggambarkan ibu tiri Kartini (Raden Adjeng Moeriam) yang tampak tidak begitu suka dengan sikap Kartini dan adik-adiknya yang menolak mempertahankan pola hidup perempuan yang pasrah pada budaya patriarki. Sikap seperti ini yang menghambat kemajuan cara berpikir perempuan untuk mengaktualisasi diri.
Film Kartini memberikan pemahaman dan cara pandang baru bagi penonton untuk memahami bahwa kesetaraan adalah hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan, sehingga keduanya dapat menjalani kehidupan dan hidup berdampingan tanpa diskriminasi dan pengunggulan satu pihak dari pihak lainnya.[]