Kendala APH dalam Implementasi UU PKDRT

 Kendala APH dalam Implementasi UU PKDRT

Gambar (Tangkapan Layar Dialog Aparat Penegak Hukum Mengenai PKDRT | KemenPPPA RI)

UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) diharapkan dapat membangun kepekaan dan perspektif di kalangan aparat penegak hukum (APH). Sayangnya, hal ini masih menjadi kendala di lingkungan APH dalam implementasi UU PKDRT.

Ema Rahmawati dari Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) Bareskrim Polri dalam “Dialog Mengenai PKDRT” pada Selasa (19/9/2023), mengatakan nilai kemanusiaan tersebut penting untuk membangun pemahaman di kalangan penyidik dalam menangani perkara KDRT. Begitu pula dalam upaya memberikan perlindungan kepada korban KDRT.

“Apakah korban ini memerlukan perlindungan atau tidak. Apakah korban ini pada saat itu memang sudah membutuhkan pendamping atau tidak,” terang Ema.

Dalam hal perlindungan, assessment kebutuhan perlindungan bagi korban KDRT sangat perlu dilakukan. Terlebih penyidik berkewajiban untuk memberikan perlindungan sementara terhadap korban KDRT. Perlindungan sementara ini diberikan atas perintah pengadilan, maksimal 7 hari. Selanjutnya, korban bisa menggunakan mekanisme lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK) yang juga sesuai perintah pengadilan.

Baca Juga: Apa yang Harus Dilakukan Jika Menjadi Korban KDRT?

Dalam pelaksanaan perlindungan sementara, kepolisian bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan, pembimbing atau pendamping. Diakui Ema, pemahaman ini yang masih terus dibangun di jajaran penyidik di seluruh wilayah di Indonesia.

“Termasuk juga nanti hubungannya dengan para pendamping, para psikolog, yang disiapkan oleh lembaga-lembaga pengada layanan. Nah itu juga nanti akan terhubung ke sana,” katanya.

Di kalangan penyidik, assessment juga diperlukan untuk menentukan perlu tidaknya mengantar atau merujuk korban untuk visum. Selain itu, assessment digunakan penyidik dalam menentukan kapan waktu yang tepat untuk meminta keterangan korban atau pelapor.

“Biasanya kami langsung meminta keterangan korban tapi kebanyakan apabila sudah divisum, biasanya kami memperbolehkan korban untuk pulang dulu, misalnya, istirahat dulu, nanti pada saatnya akan kami mintakan keterangan lebih lanjut dalam proses penyelidikan,” urai Ema.

Baca Juga: Ketika Korban KDRT Tidak Mau Melaporkan Pelaku

Kendala selanjutnya yang masih terjadi di lingkungan penyidik adanya beda pemahaman dalam menafsirkan pasal dalam  UU PKDRT. Pasal multitafsir acap kali tak bisa diimpelementasikan dalam penanganan perkara KDRT. Untuk mengatasi ini, Ema berharap ada sebuah pedoman khusus dalam penanganan KDRT bagi APH. Sebab, selama ini APH masih melihat UU PKDRT dengan persepsi masing-masing.

“Sehingga dalam penanganan kasus KDRT kita sama-sama sepaham, kita sudah-sudah sama pemikirannya dalam memandang Undang-undang PKDRT,” katanya.

Catatan lain dalam penanganan perkara KDRT adalah soal restorative justice (RJ). Restorative justice merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait. Ini bertujuan untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.

Baca Juga: Korban KDRT, Kenyang Dipukuli dan Disalahkan

Di lapangan, menurut Ema, penyidik juga mengakomodasi pencabutan perkara melalui restorative justice. Atas hal tersebut, Ema mendorong adanya diversi atau tindakan lain yang dapat diberikan kepada pelaku.

“Apakah itu perlu konseling untuk pelaku, misalnya, perlu konseling untuk suami istri. Ini yang kemudian nanti kita arahkan ke UPTD dan lain-lain,” katanya.

Senada dengan itu, Erni Mustikasari, Jaksa Ahli Muda pada Kejaksaan Agung RI mengingatkan pelaksanaan restorative justice menggunakan pendekatan pemulihan yang memuat tiga unsur, yakni, pelaku, korban, dan masyarakat.

“Jadi perlu pemahaman bersama, RJ itu bukan untuk penghentian penyidikan atau penuntutan tapi lebih ke arah untuk pemulihan korban, pemulihan masyarakat, pemulihan juga si pelaku untuk menyadari (perbuatannya) sehingga tidak mengulangi lagi,” tegas Erni. [Nur Azizah]

***

Dialog mengenai Penghapusan KDRT dengan APH merupakan rangkaian kegiatan Kampanye Penghapusan KDRT Jelang Dua Dekade UU PKDRT kerja sama JalaStoria Indonesia dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Diawali dengan Kick off  Meeting pada 4 September 2023 lalu dan puncak kegiatan akan diselenggarakan pada 8 Oktober 2023 di arena Car Free Day.

Kegiatan dapat disimak melalui tautan: https://www.youtube.com/watch?v=QLYD4Nv31EQ

Digiqole ad