Kekerasan Berbasis Gender, Perempuan selalu Menjadi Korban
Secara umum di masyarakat Indonesia, perbedaan gender masih menjadi sebuah isu tersendiri. Bahkan dalam masyarakat kerap timbul perbedaan perlakukan dan pandangan antara lelaki dan perempuan.
Tak heran jika timbul pertanyaan besar tentang siapa yang lebih banyak mendapatkan perlakuan istimewa, apakah laki-laki atau perempuan? Siapa yang lebih banyak mendapatkan larangan atau perlakukan tidak menyenangkan di antara laki-laki dan
perempuan? Apa akibatnya bagi laki-laki dan perempuan dalam situasi tersebut? Siapa yang lebih banyak diuntungkan dari situasi tersebut? Laki-laki atau perempuan?
Mengacu pada banyaknya pertanyaan terkait perbedaan dan perlakuan antara lelaki dan Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bekerjasama dengan Perkumpulan JalaStoria Indonesia menyelenggarakan Penyusunan Rekomendasi Bimtek K/L tentang Pencegahan KDRT pada 15 Mei 2024 lalu di Jakarta. Lewat program ini para peserta diajak untuk melihat refleksi fenomena kekerasan yang terjadi di sekitar mereka.
Nyatanya korban kekerasan masih didominasi perempuan. Perempuan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hingga korban kekerasan seksual.
Baca Juga: Mengenal Jenis-Jenis Kekerasan yang Dialami Perempuan dalam UU PKDRT
Direktur Eksekutif JalaStoria, Ninik Rahayu, menjabarkan apa itu kekerasan berbasis gender. Jenis kekerasan ini masuk dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Ninik menjelaskan ada banyak hal yang mendasari terjadinya kekerasan, salah satunya adalah kekerasan berbasis gender karena adanya ketimpangan peran dalam konstruksi sosial.
“Pada umumnya kekerasan merupakan suatu tindakan/perbuatan yang mengakibatkan ketidaknyamanan baik secara fisik, psikis, sosial maupun ekonomi,” kata Ninik Rahayu saat memaparkan materi terkait PKDRT.
Dia pun menegaskan bahwa budaya patriarki otomatis memberikan laki-laki privilege dan kekuasaan, melebihi kaum perempuan. Di sisi lain Maskulinitas Hegemonik mengkonstruksi laki-laki untuk menjadi superior, dominan dan agresif.
Baca Juga: Mengenal Tindakan Femisida, Ini Arti dan Jumlah Korbannya di Indonesia
Peran ini memaksa laki-laki untuk memiliki peran sosial yang sempit, mengabaikan kebutuhan emosional dan spiritual. Laki-laki pun dikonstruksi untuk menggunakan kekerasan sebagai alat untuk melestarikan hierarki dan dominasi.
“Lelaki kebanyakan memiliki kekuasaan dalam mengambil keputusan di rumah tangga maupun di luar rumah tangga. Lelaki juga memiliki kekuasaan dalam hal ekonomi semisal terkait hal atas properti dan sumber daya lainnya,” katanya.
Di sisi lain, Ninik juga menegaskan bahwa kekerasan yang diakibatkan oleh adanya perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan, yaitu perbedaan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Sementara kekerasan berbasis gender, lanjutnya, bisa menimpa siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan.
“Namun perempuan dan anak perempuan lebih banyak menjadi korban, karena perbedaan gender lebih banyak menimbulkan ketidakadilan bagi perempuan,” katanya.
Elvira Siahaan, perempuan apa adanya, mencintai anabul dan suka petualangan baru.