Jihad Gender untuk Mengurai Masalah Kekerasan

 Jihad Gender untuk Mengurai Masalah Kekerasan

Ilustrasi (Sumber: Undraw.co)

JAKARTA, JALASTORIA.ID –  Kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan hal yang memprihatinkan. Selain isu KDRT dan perkosaan, kasus incest juga kerap terjadi. Namun demikian, proses hukum ditengarai masih belum sepenuhnya berpihak pada korban.

Antara lain, menurut Pengurus LPP PP ‘Aisyiyah Siti Syamsiyatun, berdasarkan penelitian terhadap putusan hakim dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. “Hakim belum sepenuhnya menggunakan pasal yang dapat menjerat pelaku,” ungkapnya dalam diskusi Bedah Pemikiran “Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak; Perspektif Ulama Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah.” Kegiatan yang diselenggarakan pada Jumat (22/10/2021) itu terlaksana atas kerjasama PSIPP ITBAD Jakarta, LAZISMU, dan Jaringan Intelektual Berkemajuan.

Selain itu, mengutip buku yang ditulis oleh Yulianti Muthmainnah tersebut, Syamsiyatun  menyatakan dalam proses penanganan kasus juga seringkali dijumpai sejumlah mitos yang merugikan perempuan. Seperti, mitos bahwa korban perkosaan berpakaian minim, perkosaan terjadi pada malam hari, bukan orang dekat, dan lain-lain.

Baca Juga: 7 Cara Mendukung Korban Kekerasan Seksual Berani Bersuara

Padahal, banyak sekali bukti menunjukkan bahwa perkosaan justru terjadi oleh orang yang dikenal dekat oleh korban. Misalnya, paman, kakak, teman, atau orang-orang yang dalam pandangan Islam dikenal sebagai mahram (dilarang untuk kawin) bagi perempuan tersebut. Mahram yang dianggap sebagai pelindung bagi anggota keluarga perempuan justru menjadi pelaku kekerasan.

Oleh karena itu, Syamsiyatun pun mendorong upaya jihad gender untuk mengurai persoalan-persoalan kekerasan, termasuk pola berpikir yang berkembang di tengah masyarakat. Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini juga mengkritisi nasehat atau ceramah sebagian pihak kepada perempuan yang hanya berorientasi pada pemenuhan kepuasan sepihak bagi suami.

Selain itu, Syamsiyatun juga mencermati tingginya angka perkawinan usia anak, tingginya poligami, dan angka kawin cerai. Dalam suatu forum bersama sejumlah ulama di Kalimantan Selatan, Syamsiyatun mencermati pada umumnya mereka berpandangan perkawinan itu hanya sebatas untuk menghalalkan hubungan seksual. Demikian pula gerakan nikah muda yang sejauh ini dikampanyekan semata-mata untuk membendung zina. “Bahwa tidak zina itu bagus, namun apakah tujuan perkawinan itu semata-mata hanya untuk hubungan seksual?” tanyanya.

Di sisi lain, selain kawin muda itu mengandung masalah, juga ada masalah lain ketika perkawinan hanya diorientasikan untuk berhubungan seksual. Misalnya istri sedang nifas (masa 40 hari setelah melahirkan dan dilarang berhubungan seksual), namun solusi yang ditawarkan adalah menikah lagi.

Baca Juga: Dukungan untuk Perempuan Korban KDRT

Oleh karena itu, Syamsiyatun menggarisbawahi perlunya pengetahuan mengenai seksualitas diketahui oleh laki-laki, demikian juga perempuan. Dengan mengetahui perbedaan organ seksual tiap laki-laki dan perempuan, akan diketahui implikasi terkait seksualitas dan fungsi reproduksi yang berimplikasi berbeda pada setiap orang. Demikian pula perspektif tentang perkawinan.

Syamsiyatun menekankan, bahwa seksualitas penting dirayakan, namun tidak dengan membuka peluang pada terjadinya perkawinan anak dan apalagi perkosaan.  Oleh karena itu, selain perlu ada solusi di tingkat hulu, Syamsiyatun berharap masyarakat juga dapat membantu korban kekerasan.

Baca Juga: Solidaritas untuk Korban Kekerasan dan Kelompok Marginal

Belum Menjadi Perhatian

Untuk mengatasi persoalan di atas, gagasan pemikiran zakat bagi korban kekerasan terhadap perempuan dan anak harus mendapatkan perhatian bersama. Ketua Komisi Hubungan Internasional Majelis Ulama Indonesia (MUI), Sudarnoto Abdul Hakim, isu ini perlu menjadi perhatian MUI pusat.

“Ini perlu menjadi isu prioritas,” ungkap Sudarnoto, sambil menyatakan bahwa harus ada yang mengingatkan isu ini kepada semua pihak. Apabila isu ini tidak dikawal dengan ketat, maka bisa jadi terlewat. Oleh karena itu, Sudarnoto menyarankan agar isu ini diberikan kepada MUI.

Menurut Sudarnoto, isu tersebut luput dari perhatian MUI mungkin dikarenakan belum ada yang menyampaikan secara serius, termasuk untuk menghadirkan fatwa yang terkait dengan perempuan dan anak korban kekerasan. Bahkan dikatakan Sudarnoto, Menteri Agama perlu memberikan perhatian besar terhadap zakat bagi korban kekerasan lantaran isu ini mencakup wilayah agama dan kemanusiaan.

Wakil Ketua Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini menegaskan, upaya memberikan perhatian kepada kemanusiaan menunjukkan keselarasan Islam dengan gagasan modern dan konsep demokrasi. “Sebab demokrasi tidak hanya sebatas prosedur politik, melainkan juga mengatur implementasi nilai-nilai kemanusiaan,” tegasnya.

Sudarnoto juga mengingatkan, persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan tanggungjawab negara. ”Jangan sampai negara tutup telinga, tutup hati dan mata terhadap persoalan perempuan dan anak yang sedemikian rupa diperlakukan tidak sepatutnya,” tegasnya.  Dengan adanya literasi tentang persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak, akan membuka wawasan masyarakat bahwa situasi tidaklah baik-baik saja. Dengan adanya literasi itu, setiap individu akan memiliki kekuatan moral, jiwa, kecintaan terhadap orang lain, dan kecintaan terhadap perempuan dan anak agar mereka mendapatkan perlindungan sebagaimana warga lainnya juga dilindungi.

 

Tidak Terbatas pada Perempuan

Sementara itu, Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pisangan Legoso mengatakan misi agama mencakup tiga hal yakni, upaya menyelamatkan, memperbaiki dan menyatukan. Dalam konteks zakat bagi korban kekerasan, Jamet menjelaskan para muzakki atau pemberi zakat dipersatukan dengan kalangan penerima zakat, termasuk para korban KDRT didalamnya.

“Mempertemukan itu tidak hanya sebatas memberikan beras sekilo atau dua kilo, tapi lebih memberikan empati, upaya pendampingan dan mengedukasi keluarganya si korban. Hemat saya, memberikan zakat bagi korban KDRT ini hanya salah satu pilihan, tapi implikasinya akan banyak sekali,” ucap Jamet.

Dalam mendorong pengalokasian zakat bagi korban kekerasan, pemberi zakat tidak harus dibatasi pada kalangan perempuan. Menurut Jamet, banyak laki-laki yang menaruh perhatian besar  terhadap kasus-kasus kekerasan, termasuk gerakan zakat.

“Buku ini jangan hanya terhenti di atas kertas saja, tetapi ke depan harus dikonkritkan pada upaya yang berarti pada masyarakat. Dan tidak harus dikhususkan kepada perempuan, siapapun perlu diberi perhatian,” pungkasnya. [MH]

Digiqole ad