­Gender dan Permasalahan Citra Tubuh

 ­Gender dan Permasalahan Citra Tubuh

Ilustrasi (Sumber: Pch.Vector/Freepik.com)

Oleh: Regina Aprilia Roberto

Citra tubuh merupakan penilaian individu terhadap ukuran tubuhnya. Komponen penilaian ini mencakup berat juga aspek tubuh lain yang dihadirkan dalam bentuk persepsi, pikiran, dan perasaan tentang tubuh yang mengarah kepada perilaku dan merujuk penampilan fisik. Pandangan citra tubuh seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti lingkungan sosial, pola asuh, proses maturisasi, dan asumsi orang terdekat.

Masyarakat pada umumnya sangat mementingkan penampilan yang mana merupakan komponen citra tubuh dalam segala aspek kehidupan seperti bekerja dan berelasi. Seseorang yang dikatakan menarik akan lebih diperhatikan dan dianggap lebih pintar dan terpuji dibandingkan orang yang secara fisik tidak menarik. Fenomena ini dikenal dengan hallo effect di mana seseorang yang dinilai memiliki superioritas dalam satu dimensi (penampilan) akan dikatakan memiliki kualitas yang baik pada dimensi lain seperti kecerdasan. Hallo effect juga sering dikenal dengan ungkapan ‘what-is-beautiful-is-good´ (anggapan bahwa seseorang dengan fisik yang menarik memiliki kualitas diri yang lebih baik).

Baca Juga: Di Balik Panggilan “CANTIK”

Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia juga melanggengkan hallo effect ini dalam kehidupan bermasyarakat. Daya tarik penampilan dijadikan sebagai standar penentuan kecerdasan hingga kepribadian seseorang. Perempuan dikatakan lebih menarik bila memiliki kulit yang cerah dan tubuh yang ramping. Sedangkan untuk laki-laki akan dipandang atraktif bila memiliki bentuk tubuh yang berotot dan gagah (Grogan, 2008).

Kebanyakan orang yang tidak dapat memenuhi standar yang telah dibangun masyarakat, akan merasakan kesenjangan antara realitas dan ideal. Hal ini menyebabkan timbulnya perasaan buruk terhadap tubuh dan konsep diri. Perasaan buruk yang terjadi secara terus menerus dapat mengembangkan citra tubuh yang negatif hingga timbulnya perilaku berupa tindakan-tindakan yang cenderung berbahaya bagi psikologis seseorang.

Perasaan buruk terhadap citra tubuh yang muncul secara terus menerus merupakan ungkapan dari ketidakpuasan akan citra tubuh. Berdasarkan beberapa temuan, hal ini ditunjukkan hadir lebih nyata pada perempuan. Maggie Brennan, psikolog dari Kanada, menemukan ketidakpuasan citra tubuh lebih umum terjadi pada kelompok perempuan dibandingkan laki-laki (The International Honor Society in Psychology, 2010). Hasil temuannya juga menunjukkan perempuan mendapat nilai lebih tinggi pada internalisasi standar penampilan sosiokultural daripada laki-laki. Hal ini dapat menjelaskan mengapa perempuan memiliki harga diri terkait citra tubuh lebih rendah dibanding laki-laki.

Standar penampilan sosiokultural yang lebih condong dialami perempuan diyakini terjadi akibat pandangan akan perempuan sebagai warga kelas kedua sehingga dituntut secara keras untuk memantaskan diri sebagai calon pendamping bagi kaum laki-laki. Selain itu, hal lain yang dapat disoroti adalah konsep beauty standard (standar kecantikan) yang marak di kalangan perempuan Indonesia. Sebagaimana diketahui, konsep cantik seringkali dikaitkan dengan rambut panjang, badan semampai, dan kulit yang cerah.

Baca Juga: Tidak Perlu Putih untuk Menjadi Cantik

Produk pemutih kulit tercatat sebagai produk kecantikan nomor satu paling laku di Indonesia. Ternyata hal ini dilatarbelakangi oleh kolonialisme. Jauh sejak abad ke-16, Indonesia berada di bawah kekuasaan kolonialisme selama lebih dari 3,5 abad. Kedatangan perusahaan Hindia Belanda di Indonesia pada awal abad ke-17 menciptakan hirarki sosial dalam upaya mengendalikan populasi Indonesia. Warga Belanda berada di kalangan atas, Tionghoa menempati posisi tengah, dan warga asli Indonesia di posisi terbawah. Struktur ini lambat laun mengakar dan menghasilkan superioritas orang kulit putih dalam segala aspek kehidupan, termasuk konsep kecantikan (Annisa, 2020).

Temuan lain mengenai dominasi perempuan dalam masalah citra tubuh juga terjadi sejak usia perkembangan remaja. Menurut Ramonda (2019), remaja perempuan yang dinyatakan memiliki pola makan baik sekalipun tetap dapat memiliki gambaran diri yang negatif. Perempuan cenderung memikirkan tentang citra tubuhnya bila dibandingkan laki-laki. Remaja perempuan dinyatakan akan merasa terganggu jika memiliki citra tubuh yang tidak sesuai dengan orang yang diidolakan. Idola yang hadir pada kalangan remaja di sini tentu perlu dikaji lebih lanjut. Namun kecenderungan seseorang untuk dijadikan sebagai idola pastinya tidak lepas dari konsep tubuh yang ideal.

Distorsi citra tubuh yang terjadi di antara laki-laki dan perempuan pernah ditelaah melalui kalkulasi berat badan aktual dan upaya percobaan mempersepsikan berat badan individu secara mandiri. Temuan menunjukkan perempuan menaksir terlalu tinggi perkiraan berat badannya dibanding kelompok laki-laki. Voges dalam Gender Differences in Body Evaluation (2019) menemukan bahwa laki-laki lebih puas dengan berat badan yang dimiliki dibandingkan kaum perempuan.

Perbedaan dalam perkiraan tafsir berat badan antarjenis kelamin menunjukkan kemungkinan tekanan budaya terhadap bentuk tubuh perempuan (Voges, 2019). Berat badan dipandang sebagai isu yang sensitif bagi kaum perempuan, dibuktikan dari beberapa perempuan yang menolak setelah tahu bahwa penelitian akan melakukan penimbangan berat badan. Berbeda dengan kelompok laki-laki, di mana tidak ada yang menolak atau mundur dari penelitian setelah mendapatkan penjelasan tindakan.

Baca Juga: Tubuh Perempuan dan Pergulatannya dengan “Ketidakwajaran”

Temuan-temuan di atas menunjukkan persepsi citra tubuh adalah fenomena kompleks yang menyangkut kepentingan sikap dan komponen emosi. Populasi yang mengalami kegemukan dilaporkan merasakan emosi yang lebih negatif dan mengevaluasi diri sebagai orang yang kurang menarik berdasarkan bentuk tubuh. Laki-laki dikatakan memiliki kemampuan meningkatkan diri (self-enhance) yang lebih baik dibandingkan perempuan, sehingga bermanfaat terhadap upaya mencapai kepuasan dan eskalasi harga diri (Voges, 2019).

Diskursus perempuan dan citra tubuh yang berangkat dari banyak faktor menyebabkan upaya peningkatan diri kaum perempuan seringkali berkembang ke arah negatif. Hal ini dibuktikan dari prevalensi masalah psikologis terkait gambaran diri hingga perilaku seperti eating disorder (gangguan makan) yang banyak dijumpai dan terjadi pada kaum perempuan. Tuntutan budaya, dampak kolonialisme hingga pandangan negatif yang terbentuk di masyarakat terhadap perempuan berpengaruh secara signifikan bagi perempuan kebanyakan dalam memaknai citra tubuh yang dimiliki. []

 

Manusia biasa, bergerak di bidang kesehatan, menyukai kesenggangan, agaknya sulit mendeskripsikan diri.

 

Sumber:

Grogan S., 2008. Body Image: Understanding Body Dissatisfaction in Woman, Men, and Children. Second ed. London: Routledge.

Brennan MA, Lalonde CE, Bain JL., 2010. Body Image Perceptions: Do Gender Difference Exist?. Psi Chi J Psychol Res, 15(3), pp. 130-8.

Larasati H., 2018. Self Representation Among Dark Skin People Concerning Discourse of Beauty. Masy J Sosiol, 23(1), pp. 79-99.

Anissa A., 2020. Bagaimana Kolonialisme Membentuk Standar Kecantikan di Indonesia. [Online] [Diakses 4 Februari 2020].

Dolan BM, Birtchnell SA, Lacey JH., 2019. Hubungan antara Body Image dan Jenis Kelamin terhadap Pola Makan pada Remaja. Journal Ilmu Keperawatan Jiwa, 2(2), pp. 109-14.

BM, D., SA, B. & JH, L., 1987. Body Image Distortion in Non-Eating Disordered Women and Men. J Psychosom Res, 31(4), pp. 513-20.

Voges MM, Giabbiconi CM, et al., 2019. Gender Differences in Body Evaluation: Do Men Show More Self-Serving Double Standards Than Women? Front Psychol, 10(Maret), pp. 1-12.

 

Digiqole ad