Tidak Perlu Putih untuk Menjadi Cantik
Judul Buku : Bukan Pesulap Estetika
Penulis : Kennedy Jennifer Dhillon
Editor : Bety Kristianto
Penerbit : PT. Asia Cetak Centre
Cetak Pertama : April 2021
Jumlah Halaman: x + 200 halaman, 15x25cm
Ketika seorang pasien datang kepada dokter lalu meminta untuk diputihkan, apa yang dilakukan dokter? Apakah dokter akan mengiyakan permintaan pasien, atau mengedukasinya agar tidak terjebak dalam mitos “cantik itu sama dengan putih”?
Di sisi lain, ketika dokter mengedukasi pasien bahwa cantik itu tidak sama dengan putih, apakah dengan mudah pasien menerima? Nyataya, tidak selalu mudah bagi pasien untuk menerima. Bahkan ada pasien yang sampai berdebat dengan kekasihnya di depan dokter. Hal itu pada akhirnya membuat suasana malah menjadi kikuk.
Kisah itu digambarkan dengan apik oleh Kennedy Jennifer Dhillon dalam tulisan berjudul “Cantik itu Ejaannya Bukan Putih” (hal. 50-56). Ini adalah bagian dari rangkaian tulisan dalam buku “Bukan Pesulap Estetika” yang menggambarkan pengalaman dokter Abraham Arimuko dalam menjalankan pengabdian sebagai dokter spesialis kulit dan kelamin di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta.
Saya pribadi berpendapat, dokter yang mengedukasi pasien tentang hal ini, diam-diam merupakan pejuang untuk penghapusan diskriminasi berbasis gender. Ya, mitos “perempuan cantik itu putih” adalah stereotip yang menimbulkan diskriminasi berbasis gender, di mana lingkungan menuntut perempuan untuk menjadi putih supaya disebut cantik sehingga menimbulkan ketidakpercayaan diri pada perempuan yang tidak terlahir berkulit putih. Mengutip Mansour Faqih dalam Analisis Gender dan Transformasi Sosial (1996, cetak ulang 2012), stereotip adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu yang menimbulkan kerugian dan ketidakadilan gender.
Apalagi, dokter Ari, panggilan akrab dari dr. Abraham, juga menegaskan bahwa tidak ada satu obat atau vitamin pun yang dapat benar-benar memutihkan kulit. Bahkan, suntik pemutih (whitening) pun tidak menjanjikan kulit akan selalu putih secara permanen (hal. 53).
Oleh karenanya, dokter Ari berpesan, tidak perlu memaksakan diri untuk menjadi putih. “Cukup rawat dirimu agar terlihat lebih sehat, maka itu akan membuatmu terlihat lebih cantik,” papar Ari (hal. 55).
Walaupun demikian, perawatan kulit tetap penting untuk dilakukan. Tapi sekali lagi, bukan untuk memenuhi tuntutan menjadi cantik. Sebaliknya, perawatan kulit ditujukan untuk membuat kulit menjadi sehat dan terbebas dari penyakit, yang pada akhirnya meningkatkan kepercayaan diri dan kinerja dalam pelaksanaan tugas (hal. 108)
Memetik Pembelajaran
Membaca buku ini, saya menemukan sejumlah bagian yang menurut saya menunjukkan upaya seorang dokter mengedukasi pasien mengenai persepsi apa itu cantik.
Pertama, tentu saja, cantik itu tidak sama dengan putih. Dan, kedua, langsing. Dokter Ari lebih menyarankan pasien menjadikan tubuh menjadi sehat, bukan langsing. Ia tidak menyukai pelangsingan tubuh melalui tindakan suntik, sedot lemak, dan sejenisnya. Justru dengan berolahraga dan mengatur pola makan, menurut dokter Ari, hal itu jauh lebih sehat dan pasien juga bisa lebih menghargai proses penurunan berat badannya (hal. 88).
Selain itu, buku ini menyuguhkan sejumlah pembelajaran dari perjalanan dan pengalaman dokter Ari selama mengabdi sebagai tenaga kesehatan militer. Di antaranya, menyamakan ekspektasi. Suatu pengobatan yang dilakukan mungkin memberi hasil yang memuaskan bagi dokter, namun belum tentu bagi pasiennya. Oleh karena itu, sebelum melakukan tindakan, pasien harus diedukasi tentang hasil optimal yang akan diperoleh dari pengobatan tersebut. Ekspektasi hasil pengobatan harus disamakan terlebih dahulu antara dokter dan pasien (hal. 13).
Pembelajaran lainnya, hasil terapi dicapai lewat sebuah proses. Tidak ada yang instan. Semua pencapaian diperoleh melalui suatu proses yang tidak sebentar (hal. 9). Hal inilah yang membuat dokter Ari konsisten dalam menyampaikan penjelasan secara utuh dan detail kepada pasien. Mulai dari jenis penyakit yang dialami pasien, proses pengobatan yang akan dilakukan, termasuk jangka waktu, jenis produk dan kesesuaiannya dengan kondisi kulit berminyak, kering, atau lainnya (hal. 39-40).
“Sebagai seorang dokter sangat penting untuk bisa mengedukasi pasien, agar mereka benar-benar paham apa yang akan mereka lalui serta bagaimana hasilnya kelak,” dokter Ari menjelaskan (hal. 40).
Selain itu, dokter Ari juga mengingatkan bahwa keterlibatan pasien juga mutlak diperlukan. Untuk mendapatkan hasil akhir yang maksimal, dokter harus melibatkan pasien dan mengajaknya turut serta dalam proses perawatan diri. Akan sangat percuma jika dokter sudah berusaha maksimal, namun pasien tidak merawat dirinya sendiri (hal. 48).
Misalnya, pengobatan jerawat. Bagi pasien berkulit berminyak perlu rajin mencuci muka untuk membersihkan wajah dari sumbatan saluran keluar kelenjar minyak. Sementara, bagi pasien dengan jenis kulit kering tidak perlu sering cuci muka dan dipilihkan sabun khusus (hal. 44).
Ada satu cerita, di mana dokter Ari menangani seorang pasien yang jerawatnya tidak kunjung hilang. Padahal, semua jenis pengobatan sudah dilakukan selama satu tahun. Akhirnya, dokter Ari menyarankan pasien itu untuk berlibur serta happy. Dan benar saja, setelah menjalani liburan, jerawatnya jauh berkurang dan bahkan lenyap. “Jadi kemungkinan jerawaratnya muncul karena faktor tekanan pekerjaan,” ungkap dokter Ari (hal. 47).
Tidak hanya kisah sukses yang diangkat dalam buku ini. Dokter Ari juga menceritakan sejumlah pengobatan yang dinilainya kurang berhasil atau bahkan gagal. Hal itu selanjutnya memacunya untuk berefleksi dan memetik pembelajaran yang mengasahnya menjadi dokter yang edukatif kepada pasiennya.
Hikmah untuk Pendampingan
Pembelajaran yang disuguhkan dokter Ari tersebut, menurut saya, tidak hanya bermanfaat untuk dihayati oleh sejawat tenaga kesehatan yang berhadapan dengan ekspektasi pasien yang tinggi setiap harinya. Pembelajaran itu juga bermanfaat untuk diterapkan oleh pendamping bagi perempuan korban kekerasan.
Dalam melakukan pendampingan, pendamping akan berhadapan dengan ekspektasi dari korban, yang belum tentu dapat dipenuhi oleh pendamping. Oleh karena itu, ekspektasi antara pendamping dan korban harus disamakan. Pendamping harus menjelaskan situasi yang dialami korban serta ketersediaan tingkat pendampingan termasuk jika perlu merujuk ke pendamping lainnya, sehingga penyamaan persepsi dapat tercapai.
Demikian pula bahwa hasil yang akan dicapai akan melalui proses yang mungkin memakan waktu yang tidak singkat. Selain itu, pendamping juga harus melibatkan korban dalam upaya pencarian keadilan dan pemulihan korban.
==
Buku ini, sebagaimana dinyatakan oleh penulis, merupakan bentuk penghargaan atas dedikasi dokter Ari yang dalam bilangan waktu ke depan akan memasuki masa purnawira. Oleh karenanya, sedari awal buku ini memang mengangkat sosok dokter Ari sejak sebelum ia memutuskan mengambil studi kedokteran hingga pengalamannya dalam melakukan pengobatan estetika di tempatnya bertugas.
Salah satu kelebihan buku ini adalah penyajiannya dengan tutur bahasa yang ringan dan alur tulisan yang mengalir. Ini membuat pembaca menjadi mudah menyelami berbagai istilah dan tahapan yang barangkali asing di telinga awam seputar pengobatan estetika. Bagi masyarakat yang hendak menjalani pengobatan estetika, apabila terlebih dahulu membaca buku ini tentu akan sangat membantu untuk mengambil keputusan jenis dan metode pengobatan yang akan diambil.
Penyajian buku ini bertambah apik dengan adanya foto yang menjadi batas antartulisan, yang menjadi medium untuk mengenal lebih dekat dengan dokter Ari. Dalam beberapa bagian, penulis juga menyertakan foto kondisi kulit yang diberikan pengobatan. Seperti tattoo, tanda lahir, bekas jerawat, dan melasma, baik sebelum maupun sesudah pengobatan dilakukan. Selain itu, juga disertakan foto yang menunjukkan dampak yang muncul pascatindakan dan foto hasil akhir yang menunjukkan hasil yang diharapkan.
Walaupun terdapat satu dua kesalahan pengetikan kata, hal itu tidaklah mengurangi alur tulisan. Hal yang agak mengganggu hanyalah ketika mendapati satu tulisan yang ceritanya tidak rampung karena seketika berakhir dengan halaman foto (hal. 62) dan tiga halaman yang terulang dicetak (hal. 134-136). Namun secara keseluruhan, buku ini menyajikan informasi yang sangat bermanfaat untuk mengenal dunia pengobatan estetika melalui sosok dokter Ari.
Akhir kata, buku ini sangat layak dibaca, tidak hanya oleh sejawat tenaga kesehatan, melainkan juga oleh pendamping perempuan korban kekerasan, mahasiswa dan pelajar, dan masyarakat pada umumnya.[]
Ema Mukarramah
Senang menulis terkait pemberdayaan perempuan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan