Cukup Terlambat, Maka Perlu Menjadi Sigap

 Cukup Terlambat, Maka Perlu Menjadi Sigap

Ilustrasi (Sumber: Freepik.com)

 

JAKARTA, JALASTORIA.ID – Pada Rabu (1/9/21), di media sosial dan sejumlah grup WhatsApp beredar rilis kasus kekerasan seksual dan perundungan yang dialami oleh seorang pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).  KPI adalah  lembaga negara yang memiliki wewenang untuk menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran.

Dalam rilis itu, seorang pegawai berinisial MS menceritakan  berbagai bentuk kekerasan termasuk kekerasan seksual dan perundungan yang dialaminya. Ia menyebutkan, mencoba bertahan demi gaji untuk memenuhi kebutuhan istri, anak, dan ibunya. Ia juga menceritakan berbagai upaya yang telah dilakukan termasuk melapor ke kepolisian dan meminta bantuan pimpinannya di tempat kerja.

Tidak menunggu lama, KPI pun merespons rilis kasus tersebut di hari yang sama. KPI menyatakan turut prihatin dan tidak mentoleransi segala bentuk pelecehan seksual, perundungan atau bullying terhadap siapapun dan dalam bentuk apapun. KPI juga menyatakan siap untuk melakukan langkah-langkah investigasi internal, dengan meminta penjelasan kepada kedua belah pihak. Selain itu, KPI mendukung aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti kasus tersebut sesuai ketentuan yang berlaku.

Adapun terhadap korban, KPI menjamin akan memberikan perlindungan, pendampingan hukum, dan pemulihan secara psikologis. Sedangkan terhadap pelaku, KPI menyatakan akan menindak tegas pelaku apabila terbukti melakukan tindak kekerasan seksual dan perundungan (bullying) terhadap korban, tentunya sesuai dengan hukum yang berlaku.

Langkah Berikutnya

Berselang dua hari kemudian, KPI menginformasikan kembali langkah yang ditempuh merespons kasus tersebut. Pada Jumat (3/9/21), KPI menyatakan telah  membebastugaskan beberapa pegawai terduga pelaku dalam kasus tersebut. Hal itu dimaksudkan untuk memudahkan proses penyelidikan oleh pihak kepolisian.

Selain itu, KPI juga telah melakukan investigasi internal dengan meminta keterangan dan penjelasan dari pihak terduga pelaku dan melakukan pendampingan hukum terhadap terduga korban. Upaya pemulihan terhadap korban juga dilakukan dengan menyiapkan pendampingan psikologis bagi korban.

KPI juga menegaskan agar permasalahan dugaan kasus pelecehan seksual dan perundungan (bullying) yang terjadi di lingkungan kerja KPI itu diselesaikan melalui jalur hukum. Oleh karena itu, KPI menyatakan mendukung penuh seluruh proses hukum dan akan terbuka atas informasi yang dibutuhkan untuk penyelidikan kasus ini.

 

Baca Juga: Pengalamanku di Organisasi Patriarkis

 

Respons Masyarakat

Tak hanya KPI, berbagai tanggapan juga datang dari masyarakat yang concern dengan kasus kekerasan di lembaga negara. Salah satunya adalah aliansi masyarakat yang menamakan dirinya sebagai Masyarakat Peduli Korban Kekerasan Seksual dalam Lembaga Negara yang terdiri atas berbagai organisasi dan individu.

Dalam rilis tertanggal 2 September 2021, aliansi menyatakan  siap memantau perkembangan kasus ini hingga korban dan keluarga korban mendapat keadilan. Aliansi menyayangkan tindakan kekerasan seksual dan perundungan yang dilakukan oleh pegawai KPI yang mana terjadi di lingkungan kerja KPI.

“Hal ini juga seturut dengan bagaimana pimpinan lembaga di KPI dapat mewujudkan visi (KPI) apabila para pekerja yang melaksanakan tugas sehari-hari di kantor mendapat perlakuan tidak adil, bahkan sangat tidak berperikemanusiaan, oleh sesama pekerja dalam lingkungan Komisi Penyiaran Indonesia, karena ada relasi kuasa di dalamnya” tulis Aliansi dalam rilis yang diterima JalaStoria (2/9/21).

Agar korban mendapat keadilan, aliansi tersebut menuntut Ketua dan Anggota KPI agar berkomitmen untuk menjamin keamanan, pemulihan psikologis, serta kesejahteraan korban dan keluarganya selama proses penanganan kasus berlangsung.

Aliansi juga mendukung korban untuk melaporkan kasusnya secara resmi dengan melibatkan pengacara Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), LBH Masyarakat, LBH Jakarta, atau LBH APIK.

Sedangkan terkait proses penyelesaian kasus yang tengah berjalan, aliansi tersebut mendorong KPI untuk membentuk tim investigasi indepeden yang melibatkan pihak eksternal. Seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komnas HAM, Komnas Perempuan, YLBHI atau LBH APIK sebagai pengacara pendamping korban dan atau saksi ahli. Hal ini ditujukan agar seluruh proses dilakukan secara transparan dengan tetap mengedepankan perlindungan kondisi fisik dan psikis korban.

Selain itu, KPI diminta agar menonaktifkan terduga pelaku kekerasan fisik, mental dan seksual selama proses penyidikan hingga proses hukum selesai. KPI juga diminta menjamin bahwa segala dokumentasi mengenai kekerasan terhadap korban yang didokumentasikan pelaku tidak tersebar ke publik dan segera diambil dari tangan pelaku. Tidak hanya itu, aliansi juga berharap agar KPI menjamin dan membuat mekanisme untuk semua komisioner dan karyawannya agar berhenti melakukan kekerasan dan pelecehan seksual serta perundungan.

 

Perlu Sistem Peringatan Dini

Sementara itu, Ninik Rahayu, Anggota Ombudsman Periode 2016-2021, dalam Whatsapp yang diterima oleh JalaStoria (5/9/21) mengingatkan, kasus yang terjadi di KPI menunjukkan bahwa di negara ini belum terbangun early warning sistem (sistem peringatan dini) untuk melihat potensi dan indikasi kekerasan seksual di ruang publik. Termasuk di lembaga negara, lembaga pemerintah, lembaga pendidikan, dan lainnya.

“KPI kecolongan dalam menyiapkan peringatan dini berupa pencegahan, sistem aduan dan pengawasan internal,” tulis Ninik.  Kasus itu juga menunjukkan tidak sigapnya institusi dalam merespon aduan saksi korban.

 

Baca Juga: Pacarku yang Agamis ternyata Pelaku Pelecehan

 

Sebagaimana diketahui, kasus yang terjadi di lingkungan kerja KPI ini terjadi pada korban laki-laki. Di saat yang sama, kasus serupa dapat dialami siapapun di tempat kerja, tak terkecuali laki-laki ataupun perempuan.

Ninik menyatakan, langkah KPI untuk menindak laporan korban melalui mekanisme yang adil di internal lembaga juga sudah terlambat. Namun keterlambatan itu perlu ditanggulangi oleh KPI melalui koordinasi dengan lembaga yang memiliki sumber daya yang mumpuni untuk melakukan pemulihan korban.

Selain itu, Ninik berharap, Aparat Penegak Hukum bukan hanya menghukum pelaku, melainkan juga melakukan rehabilitasi pada pelaku. Hal ini perlu dilakukan agar pelaku memahami cara menghormati harkat dan martabat manusia. Selain itu, pelaku juga memahami untuk tidak memandang rendah manusia dan tidak melakukan kekerasan seksual pada orang lain yang posisinya lemah. [ANHS]

Digiqole ad