Di Balik Layar KPI

 Di Balik Layar KPI

Ilustrasi (Sumber: Freepik.com)

 

JAKARTA, JALASTORIA.ID – Kekerasan seksual di tempat kerja, lembaga pendidikan dan perusahaan seringkali terjadi. Merujuk pada Catahu Komnas Perempuan tahun 2021, kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah komunitas (lingkungan kerja, bermasyarakat, rukun tetangga, ataupun lembaga pendidikan) bahkan menempati posisi pertama.

Namun bagaimana dengan kekerasan seksual yang terjadi dalam lembaga negara?

Hal inilah yang diakui oleh MS dalam rilis pers yang dituliskan oleh pendampingnya. Ia mengaku mengalami kekerasan seksual di tempat kerjanya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat (1/9). Kabar ini beredar di berbagai media sosial dengan judul “_PELECEHAN SEKSUAL BERAMAI RAMAI DI KPI PUSAT, PELAKU-KORBAN SAMA SAMA PRIA_”

Tidak hanya kekerasan seksual, MS juga mengalami perundungan dan berbagai bentuk kekerasan lainnya di tempat kerja. Berdasarkan cerita MS, kekerasan yang ia alami di tempat kerja antara lain:

  1. Sejak MS bekerja di KPI Pusat, 2011, tak terhitung berapa kali MS dilecehkan, dimaki, dipukul dan di-bully tanpa bisa MS lawan.
  2. Sejak 2012-2014, para pelaku memosisikan MS layaknya budak pesuruh yang harus membelikan para pelaku makanan.
  3. Pada tahun 2015, para pelaku beramai-ramai memegangi kepala, tangan, kaki, serta menelanjangi, memiting, dan merendahkan MS dengan mencoret-coret buah zakar MS memakai spidol.
  4. Para pelaku mendokumentasikan kelamin MS yang dicoret-coret.
  5. Pada tahun 2017, pukul 01.30 WIB, MS mengaku dilempar ke kolam renang saat ia tidur. Para pelaku menertawai MS.
  6. MS kerap dilecehkan dengan kata-kata bernada seksualitas dan kata-kata kasar lainnya.
  7. MS difitnah para pelaku dengan tuduhan meninggalkan pekerjaan di saat jam kerja.

 

Dampak Kekerasan Seksual dan Perundungan

Berbagai hal yang dialaminya ini membuat MS merasa rendah diri serta stress berkepanjangan. Ia mengaku trauma dan tidak bisa melupakan kejadian tersebut. Selain itu, ia jadi sulit mengendalikan diri. Terkadang, ia menggebrak meja atau berteriak tanpa sebab.

MS juga mengaku kerap menarik diri dari lingkungannya tersebut. Ia sering menyendiri di mushola untuk menangis. Terkadang, saat jam kerja, ia pulang ke rumah untuk menghindari dirinya dari perundungan dan kekerasan seksual yang tak sanggup ia tanggung setiap hari. Namun, ia mengaku bahwa pekerjaannya selalu diselesaikan dengan baik.

Tak hanya itu, MS juga mengalami penurunan fungsi tubuh. Ia mengaku jadi lebih mudah sakit dibanding sebelumnya.

MS kemudian melakukan berbagai upaya medis agar bisa pulih.

Pada tahun 2017, MS melakukan endoskopi di sebuah rumah sakit. Ia didiagnosa mengalami hipersekresi cairan lambung akibat trauma dan stress. Sayangnya, penyakit MS tersebut tak kunjung sembuh meski ia telah menjalani pengobatan dengan salah satu dokter penyakit dalam. Ia juga masih merasakan stress dan trauma itu. Akhirnya ia berobat ke psikiater dan diberikan obat penenang.

Perundungan yang tak henti-hentinya ini membuat MS semakin frustasi. MS kemudian mendatangi salah satu psikolog untuk berkonsultasi. Ia didiagnosa mengidap Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

 

Baca Juga: Perundungan dan Intimidasi lewat Aturan Wajib Jilbab

 

Upaya yang Dilakukan oleh Korban

Selain berbagai upaya pemulihan kesehatan yang dilakukan MS secara mandiri, MS juga merasa bahwa tindakan para pelaku harus diadili. Mulanya, ia melaporkan kasus kekerasan seksual dan perundungannya tersebut kepada Komnas HAM pada tahun 2017 melalui email.

Menurut cerita MS, pada 19 September 2017, melalui email, Komnas HAM menyimpulkan bahwa apa yang terjadi kepadanya merupakan kejahatan atau tindak pidana. Komnas HAM kemudian menyarankan MS agar membuat laporan ke kepolisian.

Pada tahun 2019, MS melaporkan kasusnya ke Kepolisian Sektor (Polsek) Gambir. Namun yang ia dapatkan adalah penolakan dari salah satu polisi yang bertugas. Menurut MS, polisi tersebut menyarankan agar dirinya membicarakan secara internal terlebih dahulu, agar internal kantor yang menyelesaikan. Bukan malah melaporkan kasus tersebut ke kepolisian.

Akhirnya MS melaporkan kasus perundungan dan kekerasan seksual tersebut ke atasan kerjanya. Solusinya, ia dipindahkan ke divisi lain. Sedangkan pelaku masih melenggang bebas tanpa disanksi oleh lembaga.

Selain itu, solusi yang dilakukan lembaga tersebut nyatanya tidak menghentikan perundungan yang terjadi padanya. Ia kemudian kembali lagi ke Polsek Gambir untuk melaporkan kasusnya. Namun, petugas kepolisian lagi-lagi menolak untuk menindaklanjuti laporannya. Ia malah disarankan untuk memberikan nomor telpon pelaku kepada polisi, agar polisi tersebut yang menghubungi pelaku.

MS menyayangkan hal ini, karena bukan respon semacam ini yang ia harapkan dari petugas kepolisian. Melainkan penyelesaian kasus secara hukum yang adil.

MS semakin frustasi dan kemudian mengadu melalui Direct Message instagram ke salah satu pengacara dan selebriti, dengan harapan bisa membantu penyelesaian kasusnya. Sayangnya, pengaduannya tak mendapatkan respons.

Pada akhirnya, ia mendapatkan pendampingan dari kawannya yang merupakan seorang pengacara. Dengan begitu, MS mengaku memberanikan diri untuk membuka kisahnya ke publik. Ia berharap bisa mendapatkan keadilan atas kasus kekerasan seksual dan perundungan yang dilakukan oleh para  pelaku. [ANHS]

Digiqole ad