Seruan Indonesia: Perundungan dan Intimidasi lewat Aturan Wajib Jilbab

 Seruan Indonesia: Perundungan dan Intimidasi lewat Aturan Wajib Jilbab

Ilustrasi (JalaStoria.id)

JalaStoria menerima rilis yang diinisiasi oleh pemerhati isu perempuan dan masyarakat sipil pro demokrasi mengenai keprihatinan terhadap perundungan dan intimidasi kepada perempuan berdasarkan aturan wajib berjilbab. Sebagai media yang mendukung upaya penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, JalaStoria turut menyebarluaskan seruan ini dan mempersilahkan kepada khalayak untuk turut berkontribusi memberikan dukungan terhadap seruan tersebut.

 

Berikut ini seruan dari Gerakan Indonesia Beragam:

Kami khawatir melihat semakin banyak korban berjatuhan akibat aturan wajib jilbab di Indonesia. Tafsir tunggal terhadap busana perempuan sering dijadikan pembenaran memaksa anak dan perempuan Muslim memakai jilbab, disertai perundungan, intimidasi, ancaman, bahkan hukuman.

Kewajiban jilbab mulai muncul tahun 2001 di Sumatera Barat, tahun 2002 di Aceh, lantas makin tahun makin meluas, termasuk pada guru, dosen, dokter, pegawai negeri, dan terutama pada anak-anak perempuan, sejak kelas satu sekolah dasar sampai kelas 12, bahkan di perguruan tinggi.

Beberapa tahun ini, para psikolog menangani pasien gangguan kejiwaan, termasuk percobaan bunuh diri, karena trauma akibat perundungan jilbab. Menurut Komnas Perempuan, ada setidaknya 62 aturan wajib jilbab di seluruh Indonesia, dari tingkat kabupaten sampai nasional. Human Rights Watch mengatakan aturan ini efektif setidaknya pada 24 dari total 34 provinsi di Indonesia.

Di sekolah negeri, wajib jilbab tercantum sebagai kompetensi dasar pelajaran agama Islam dalam kurikulum 2013. Kalimat, “berpakaian sesuai dengan syariat Islam” dimaknakan sempit dengan jilbab, baju lengan panjang, dan rok panjang. Guru bisa menekan siswi memakai jilbab dengan dalih himbauan. Kenyataannya, himbauan berubah jadi intimidasi, ancaman, bahkan hukuman, dikeluarkan dari sekolah.

Di Sumatera Barat, banyak murid perempuan, termasuk siswi Protestan, Katolik, dan Hindu, dipaksa berjilbab. Di Cibinong, siswi SMAN 2 mencoba bunuh diri. Di Banyuwangi, SMPN 3 Genteng menekan siswi Kristen mundur dari sekolah karena menolak jilbab. Banyak guru sekolah negeri menggunting rambut siswi karena  jilbab. Pakaian mereka dicoret dengan spidol. Prestasi akademik diturunkan sebagai hukuman. Pada Februari 2020, 10 anggota Pramuka tewas saat susur sungai di Sleman. Tim Search And Rescue mengatakan rok panjang Pramuka membatasi gerakan dan kemampuan korban untuk menyelamatkan diri.

Kami tak ada masalah bila perempuan, dengan bebas, memilih memakai pakaian yang nyaman dan sopan, termasuk jilbab. Persoalannya, kami menolak tekanan dan ancaman, pada anak dan perempuan, untuk berjilbab. Sebaliknya, kami juga protes dengan sekolah-sekolah negeri di Bali, Flores, dan Papua dimana ada siswi Muslim dilarang pakai jilbab.

Surat Keputusan 3 Menteri soal seragam sekolah negeri pada 3 Februari 2021 sebenarnya mau memperbaiki keadaan. Siswi dan guru boleh memilih. Pada 3 Mei 2021, Mahkamah Agung membatalkan SKB 3 Menteri. Susahnya, hingga hari ini Mahkamah Agung belum menerbitkan isi keputusan sehingga masyarakat tak bisa membaca isinya.

Kesannya, keputusan dilakukan terburu-buru, hanya dua bulan sejak dimohonkan dari Padang, Sumatera Barat, oleh M. Sayuti dari Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau. Ia tidak dilakukan verifikasi memadai atas pelanggaran di berbagai daerah. Ketiga hakim tidak minta masukan dari Komnas Perempuan serta unsur masyarakat yang mengalami kerugian. Komisi Yudisial seharusnya memeriksa hakim Irfan Fachruddin, Is Sudaryono dan Yulius tentang kemungkinan mereka melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Konstitusi Indonesia menjamin hak setiap warga untuk menjalankan agama, keyakinan, berekspresi, pekerjaan, serta pendidikan tanpa diskriminasi. Perempuan memiliki hak setara dengan laki-laki. Pembatasan apapun terhadap hak ini hanya bisa dilakukan demi tujuan yang sah, ditetapkan dengan cara yang tidak sewenang-wenang dan nondiskriminatif.

Presiden Joko Widodo, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, serta Menteri Pendidikan Nadiem Makarim seyogyanya mengeluarkan peraturan-peraturan baru untuk melindungi anak dan perempuan dari pelanggaran wajib jilbab. Kami juga menuntut semua kepala daerah, kepala kantor pemerintahan, kepala sekolah negeri, dan semua guru untuk mencabut aturan wajib jilbab di berbagai tempat mereka.

Pelanggaran jilbab bukan semata masalah pakaian. Ini masalah keadilan buat perempuan untuk memilih identitas dirinya. Mendidik satu perempuan sama dengan mendidik satu generasi. Suram tidaknya masa depan ke-Indonesia-an kita, ditentukan oleh seberapa banyak generasi muda mampu menghargai konstitusi, keberagaman dan kemanusiaan. [Gerakan Indonesia Beragam]

Digiqole ad