Bercerita tentang Diskriminasi Berbasis Gender (Bagian 1)
Pada 13-15 Maret 2022, JalaStoria menyelenggarakan Kelas Kesetaraan Gender secara daring. Melalui kegiatan ini, JalaStoria meneguhkan langkah untuk mensosialisasikan fondasi dalam penghapusan diskriminasi berbasis gender. Melalui program ini, JalaStoria sekaligus mencatat tumbuhnya kesadaran peserta mengenai situasi diskriminasi berbasis gender di sekitarnya.
Berikut ini penuturan dari sebagian peserta yang disampaikan kepada JalaStoria melalui penugasan materi hari pertama.
- Ternyata Diskriminasi
Gery Rudolf, seorang jurnalis di TV Kupang, menyatakan melalui materi ini, ia mengetahui bahwa tanpa disadari, ia pernah melakukan diskriminasi gender.
“Contoh ketika saya melarang adik perempuan saya bermain bola karena ketakutan pribadi yang sebenarnya akibat kekurangan edukasi pada saya terkait hal tersebut,” ungkapnya.
Selain itu, ia juga mengingat ketika harus membantu adik perempuan membersihkan halaman rumah. Tetangga malah menanyakan keberadaan adiknya.
Baca Juga: Pengaruh Diskriminasi Gender terhadap Kesehatan Mental Perempuan
Diakuinya, hal itu berimbas pada pandangan negatif di lingkungan rumahnya. Tetangga, tak terkecuali ibu-ibu, malah membicarakan adiknya dan menganggap adiknya mengabaikan tugas rumah tangga dengan membiarkan kakak laki-laki mengerjakannya.
Gery menuturkan, pandangan itu justru keliru. “Menurut saya hal tersebut sangat salah dan menganggu aktifitas produktif dan sosial adik perempuan saya.” Ia menambahkan, di perkampungan tempatnya tinggal, masyarakat masih memandang bahwa hanya perempuan yang pantas melakukan tugas rumah tangga.
“Jadi pada akhirnya saya harus berusaha untuk menjelaskan pada lingkungan saya bahwa pandangan tersebut hanya akan merugikan laki-laki dan perempuan,” pungkasnya.
- Diskriminasi dalam Akses Pekerjaan
Tak dipungkiri, sebagian masyarakat masih memandang pekerjaan tertentu hanya dapat dilakukan oleh jenis kelamin tertentu. Misalnya, di bidang teknik sipil. Perempuan yang memiliki latar belakang pendidikan di bidang teknik sipil sulit mengakses pekerjaan yang sesuai dengan pengetahuan dan keilmuan yang dimilikinya.
“Contohnya saya yang mempunyai latar belakang pendidikan di bidang teknik sipil, yang sebagian besar bidang ini digeluti oleh laki-laki,” ungkap Novie Yuliasari Eke, yang kini bertugas di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Kupang.
Akses untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahliannya itu seharusnya tersedia. Namun, kenyataannya akses itu sulit diperoleh karena perempuan dianggap tidak mampu bekerja di bidang pekerjaan seperti di Dinas Pekerjaan Umum .
Baca Juga: Diskriminasi terhadap Perempuan di Ruang Kerja
- Tugas Domestik adalah Pekerjaan yang Memerlukan Skill
Umumnya di masyarakat menganggap peran reproduktif seperti pengasuhan anak sebagai tugas yang mudah. Tugas pengasuhan anak juga seringkali dilekatkan sebagai tugas perempuan semata. Apabila tugas ini dialihkan kepada pekerja rumah tangga, umumnya dibayar murah karena dianggap sebagai tugas yang biasa dikerjakan perempuan sehingga tidak memerlukan keterampilan khusus.
Namun, tidak demikian dengan pengalaman Chotijah, seorang wiraswasta di Garut. Ia dan suami merasa kesulitan mencari pekerja rumah tangga setelah anak kedua mereka lahir. Kriteria yang mereka tetapkan juga terbilang sulit. Yaitu, yang dapat menginap serta terlatih merawat anak dan memiliki konsep pengasuhan.
“Waktu itu suami sampai nyeletuk, ternyata pekerjaan rumah tangga itu mahal dan susah,” ungkap Chotijah. Bahkan mencari Sumber Daya Manusia yang diinginkan saja ternyata sulit.
Baca Juga: Kerja dari Rumah, Bagaimana dengan PRT?
Sejak saat itu, pada akhirnya suami Chotijah lebih menghargai pekerjaan domestik. Ia juga bersedia membantu pekerjaan rumah terutama mau bertukar peran seperti mengasuh anak jika kebetulan Chotijah sedang kerepotan atau ada tugas lain.
- Kesalahpahaman Mengenai Kodrat
Sebagian peserta menuturkan, pemahaman mengenai fungsi reproduksi bukan merupakan kodrat sangat membantu upaya penghapusan diskriminasi berbasis gender dalam kehidupan sehari-hari.
“Memang betul bahwa ada perempuan yang tidak bisa melahirkan, demikian juga laki-laki ada yang tidak bisa membuahi,” tutur Naomi Koeslulat, pegawai Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Kupang.
Sayangnya, menurut Naomi, dalam kehidupan sehari-hari, mereka yang tidak bisa mengandung dan melahirkan dianggap sebagai aib bagi keluarga suami. Sementara itu, keluarga juga tidak mau tahu apa faktor yang menyebabkan hal tersebut.
***
Dalam Kelas Kesetaraan Gender, salah satu materi yang disajikan JalaStoria adalah perbedaan fungsi reproduksi dengan kodrat. Jenis kelamin sebagai atribut seksual dan organ reproduksi yang melekat pada laki-laki dan perempuan sejak lahir merupakan pemberian Tuhan, yang berlaku universal, dan berlaku di setiap tempat dan waktu. Artinya, perempuan di manapun memiliki vagina, rahim, dan kelenjar mamae, sementara laki-laki di manapun memiliki penis dan sel sperma.
Dengan kata lain, jenis kelamin bersifat kodrati, artinya tidak dapat diubah atau dipertukarkan.
Sementara itu, fungsi reproduksi adalah tindakan atau keadaan yang dijalankan oleh suatu jenis kelamin sebagai konsekuensi dari berfungsi atau difungsikannya atribut seksual dan organ reproduksi yang melekat pada dirinya. Secara umum, melahirkan dan menstruasi adalah fungsi reproduksi yang melekat pada perempuan sebagai konsekuensi dari adanya rahim. Demikian pula dengan membuahi sel telur sebagai konsekuensi dari adanya sperma pada laki-laki.
Baca Juga: 5 Ketidakadilan Gender, Ini Bentuknya
Namun demikian, fungsi reproduksi tidak sama dengan kodrat. Sekalipun perempuan memiliki vagina sejak lahir, menstruasi pada perempuan tidak terjadi sejak usia bayi. Oleh karena itu, menstruasi merupakan fungsi reproduksi, yang menunjukkan kondisi rahim sebagai organ reproduksi dapat menjalankan fungsi reproduksi seiring dengan kematangan fisik dan psikis serta situasi sosial ekonomi dan budaya yang melingkupi seorang perempuan.
Keberadaan rahim pada perempuan tidak sama dengan kewajiban perempuan untuk memfungsikan rahim untuk mengandung. Demikian pula dengan keberadaan vagina pada perempuan sebagai jalan melahirkan bayi, tidak sama dengan kewajiban perempuan untuk melahirkan secara vaginal.
Persalinan melalui operasi sesar, dalam pengalaman sebagian perempuan, adalah upaya untuk menyelamatkan nyawa ibu dan bayinya. Pandangan yang menganggap perempuan yang melahirkan secara sesar tidak menjadi perempuan seutuhnya adalah pandangan yang keliru menganggap fungsi reproduksi sebagai kodrat. Tentu saja, ini pada akhirnya mendiskriminasi perempuan.
Membuahi sel telur untuk menghasilkan janin juga bukan kodrat laki-laki, karena laki-laki juga hendaknya memutuskan bersama dengan pasangan kapan akan memiliki keturunan dan mempertimbangkan jarak antarsatu kelahiran dengan lainnya. Oleh karena itu, laki-laki tidak semestinya membuat pasangannya hamil terus menerus, karena hal itu justru tidak baik dari sisi kesehatan dan aspek lainnya.
Untuk memfungsikan alat reproduksi yang melekat pada setiap laki-laki dan perempuan, terdapat dimensi sosial, hukum, agama, dan kesehatan yang sangat terkait. Artinya, sekalipun laki-laki dapat membuahi karena memiliki sel sperma, hal itu tidak dapat dilakukan kepada pasangan yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah.
Dengan demikian, bukanlah merupakan kodrat ketika seorang laki-laki memfungsikan alat reproduksinya untuk membuat seorang perempuan hamil di luar perkawinan. Apalagi jika dilakukan dengan kekerasan seksual, suatu kekeliruan teramat besar apabila menganggap wajar itu terjadi. Demikian pula jika menyalahkan perempuan yang sesungguhnya merupakan korban.
***
Ema Mukarramah
Senang menulis seputar isu hukum, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak.