5 Ketidakadilan Gender, Ini Bentuknya
Dalam masyarakat, perbedaan (berdasar) gender antara perempuan dan laki-laki diyakini sebagai sesuatu yang bersifat kodrati (melekat pada jenis kelamin perempuan dan laki-laki). Padahal, gender dan jenis kelamin (seks) adalah sesuatu yang berbeda antara yang satu dengan yang lain.
Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun demikian, tak dipungkiri bahwa perbedaan gender telah melahirkan berbagai bentuk ketidakadilan, baik bagi laki-laki dan terutama terhadap perempuan.
Apa saja bentuk ketidakadilan gender yang disebabkan perbedaan gender? Simak uraiannya berikut ini:
1. Marginalisasi
Marginalisasi adalah peminggiran terhadap akses sumber daya, misalnya informasi dan tekhnologi, pendidikan, lapangan pekerjaan, yang mengakibatkan kemiskinan (pemiskinan), dan dapat menimpa laki-laki ataupun perempuan. Marginalisasi diakibatkan terutama oleh kebijakan pembangunan yang tidak merata dan dapat dinikmati oleh seluruh penduduk. Selain itu, juga disebabkan kompetisi dalam lapangan kehidupan yang seringkali dimenangkan oleh kelompok yang lebih diuntungkan, yang lebih mampu mengakses sumber daya ekonomi.
Namun demikian, secara spesifik perempuan mengalami marginalisasi yang lebih disebabkan oleh adanya konstruksi gender di masyarakat. Misalnya, perempuan dianggap sebagai makhluk domestik dengan peran dalam perkawinan sebagai pengurus rumah tangga sehingga ia menjadi tergantung secara ekonomi kepada laki-laki.
Demikian pula ketika bekerja, perempuan seringkali mendapatkan atau menduduki posisi dengan gaji yang lebih rendah, misalnya sebagai pekerja rumah tangga (PRT), buruh pabrik industri massal (garmen) atau sekretaris, dengan penghasilan yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Praktik pembagian waris yang mengeluarkan perempuan dari daftar ahli waris dengan pertimbangan bahwa perempuan nanti akan menikmati harta waris dari keluarga suami juga merupakan marginalisasi berdasarkan adat istiadat dan tradisi.
2. Subordinasi
Subordinasi adalah sikap merendahkan posisi/status sosial salah satu jenis kelamin/gender. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional menyebabkan perempuan dijauhkan dari dunia politik, tidak bisa tampil sebagai pemimpin, yang berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting, yang lebih rendah daripada laki-laki. Bahkan ada anggapan bahwa anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Bila keuangan terbatas, maka anak laki-laki lebih diutamakan untuk bersekolah.
Jika suami akan pergi belajar (jauh dari keluarga) atau ditugaskan ke luar kota, dia bisa mengambil keputusan sendiri, sedangkan istri harus atas seizin suami. Selain itu, perempuan yang menjadi kepala rumah tangga tidak pernah diakui oleh Negara.
3. Stereotip
Secara umum stereotip adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu yang seringkali merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotip bersumber dari perbedaan gender.
Misalnya, stereotip yang berawal dari asumsi bahwa perempuan berdandan untuk menarik perhatian lawan jenis, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotip ini dan menimbulkan anggapan bahwa yang menjadi penyebab perempuan dilecehkan secara seksual adalah akibat kesalahan perempuan itu sendiri. Masyarakat lalu mencari-cari kesalahan korban dan cenderung memaklumi tindakan pelaku.
Masyarakat juga memiliki anggapan (stereotip) bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami/keluarga. Maka wajar jika kemudian pendidikan maupun pekerjaan/karir perempuan dianggap tidak begitu penting atau dinomorduakan. Hal sebaliknya dikondisikan pada laki-laki.
Ada anggapan bahwa mengurus rumah tangga memang merupakan pekerjaan perempuan, maka ketika perempuan bekerja sebagai PRT, pekerjaan tersebut dihargai dengan upah rendah. Padahal bila pekerjaan tersebut, misalnya memasak, dilakukan di luar rumah, ia dihargai lebih tinggi, dan bahkan bisa menjadi suatu profesi mahal, misalnya menjadi juru masak (chef) di restoran atau hotel mewah. Oleh karena dunia publik dianggap sebagai dunia laki-laki, maka profesi ini juga dikuasai/didominasi oleh laki-laki.
Beberapa Stereotip Gender Yang Ditemukan dalam Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan:
“Perempuan itu emosional dan sering bereaksi berlebihan, juga suka mendramatisir keadaan sehingga pernyataannya kurang bisa dipercaya”
“Perempuan yang sudah pernah berhubungan seks sebelumnya adalah perempuan nakal” (penggunaan riwayat seksual korban)
“Perempuan yang tidak teriak atau kabur saat diperkosa, berarti dia setuju alias suka sama suka”
“PRT yang mau dibonceng oleh pemberi kerjanya dan berduaan berarti ada hubungan dan pengakuannya telah diperkosa oleh pemberi kerja itu tidak bisa dipercaya”.
4. Kekerasan terhadap perempuan
Kekerasan adalah serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia bisa terjadi karena banyak penyebab atau faktor, misalnya dipicu oleh dendam, rasa benci karena perebutan sumber daya alam, atau konflik karena perbedaan SARA (suku, agama, ras dan antar golongan), serta konflik sosial lainnya baik antar individu maupun kelompok.
Namun, dari semua sumber kekerasan yang ada, salah satu kekerasan terhadap jenis kelamin tertentu, yakni perempuan, disebabkan oleh anggapan gender yang eksis di masyarakat patriarki (berpusat pada kekuasaan laki-laki). misalnya adanya anggapan bahwa perempuan itu lemah, pasrah, dan menjadi obyek seksual, sehingga menempatkan perempuan sebagai obyek yang mudah diserang. Kekerasan yang disebabkan oleh eksisnya anggapan gender ini disebut sebagai ‘gender-based violence’ atau ‘kekerasan berbasis gender’.
Kekerasan terhadap perempuan seringkali identik dengan kekerasan berbasis gender. Misalnya, terjadinya kekerasan dalam rumah tangga lekat dengan anggaran gender bahwa perempuan itu berkedudukan lebih rendah dari suami sehingga suami dapat melakukan kekerasan terhadap istri, seperti memukul, membentak, dan lain-lain.
5. Beban kerja lebih panjang dan lebih banyak
Adanya anggapan bahwa perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, mengakibatkan semua pekerjaan domestik atau rumah tangga menjadi tanggungjawab perempuan. Selain itu, pekerjaan rumah tangga atau kerja domestik dianggap sebagai pekerjaan perempuan, maka meskipun perempuan bekerja di luar rumah apakah karena implikasi (konsekuensi) dari pendidikan yang diperoleh (karier) atau karena kebutuhan pendapatan keluarga, perempuan tetap saja dituntut untuk menjalankan pekerjaan rumah tangga dan bahkan dituntut untuk menomorsatukan pekerjaan rumah tangga.
Konsekuensinya, banyak kaum perempuan yang harus bekerja lebih keras dan lebih lama. Perempuan sudah mulai mengerjakan pekerjaan rumah tangga sebelum anggota keluarga lainnya bangun dan yang paling akhir beristirahat. Selain itu, perempuan masih dituntut dapat menjalankan peran reproduksi baik secara biologis maupun sosial, yang akhirnya melahirkan tidak saja peran ganda tapi multi peran dan tentunya berdampak pada jam kerja perempuan yang lebih panjang lagi dan melelahkan.
Di kalangan keluarga miskin atau menengah yang tidak dapat mempekerjakan PRT, pekerjaan rumah tangga ini harus dipikul sendiri, terlebih jika perempuan tersebut harus bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga dengan penghasilan yang pas-pasan. Di sisi lain, pekerjaan sebagai PRT, dengan adanya pandangan bias gender, dianggap identik dengan tugas kodrati perempuan sehingga profesi ini seringkali dihargai lebih rendah dari kerja-kerja lainnya .
Di mana terjadi ketidakadilan gender?
Manifestasi ketidakadilan gender dalam berbagai bentuk itu terjadi di berbagai tingkatan.
Pertama, di lingkungan keluarga. Yakni bagaimana pengambilan keputusan, pembagian kerja dan interaksi antar anggota keluarga dilaksanakan dengan menggunakan asumsi-asumsi gender.
Kedua, di lingkungan masyarakat, adat istiadat, kultur serta norma-norma masyarakat.
Ketiga, di lingkungan tempat kerja: manajemen/ aturan organisasi dan kultur kerja yang ‘maskulin’.
Keempat, di tingkat Negara, misalnya melalui kebijakan yang bias gender dan diskriminatif. Misalnya, UU No. 7 Tahun 1974 membakukan peran gender laki-laki dan perempuan, khususnya di Pasal 31 dan 34 yang mencantumkan bahwa istri mengurus rumah tangga, sementara kepala rumah tangga adalah suami.
==
Nah, dari 5 bentuk ketidakadilan gender itu, tentu tidak ada seorangpun yang menginginkan hal itu menimpa diri kita sendiri dan orang lain. Tentu kita semua berharap, ada semakin banyak orang yang menyadari 5 bentuk ketidakadilan gender itu tidak layak dilakukan sehingga mampu mencegah diri sendiri dan orang lain melakukannya.[EM]
Naskah diadaptasi dari Ratna Batara Munti, Modul Pelatihan Kelas Kepemimpinan Perempuan di Akar Rumput, 2021.