4 Hal dalam UU TPKS, Gunakan Segera

 4 Hal dalam UU TPKS, Gunakan Segera

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Kasus kekerasan seksual terhadap santri perempuan Pondok Pesantren Shiddiqiyah, Ploso, Jombang, Jawa Timur menghenyak khalayak. Setelah sempat buron selama 6 bulan, pada 8 Juli 2022 pelaku akhirnya menyerah setelah dikepung seharian oleh aparat, dilansir dari  https://www.liputan6.com/news/read/5008325/akhir-drama-12-jam-jemput-paksa-msat-tersangka-pencabulan-santriwati-di-jombang.

Sebelumnya, kekerasan seksual juga dialami sebelas santriwati Pondok Pesantren Istana Yatim Riyadhul Jannah, Depok, Jawa Barat. Sebelas santriwati tersebut menjadi korban kekerasan seksual oleh 3 ustadz dan santri senior di lingkungan pesantren. Kasus ini tercatat di Polda Metro Jaya pada 21 Juni 2022, dikutip dari https://www.suara.com/news/2022/07/06/173244/kekerasan-seksual-di-ponpes-depok-masyarakat-diajak-awasi-proses-hukum-terhadap-ustaz-dan-santri-senior.

Sepanjang tahun 2015-2020 Komnas Perempuan menerima 51 pengaduan kasus kekerasan di semua jenjang lingkungan pendidikan.  45 kasus (88%) diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual yaitu perkosaan, pencabulan, dan pelecehan seksual. Pesantren berada di urutan kedua (19%) setelah universitas (27%) sebagai lingkungan pendidikan yang ternyata bukan ruang aman dari tindak kekerasan.

Baca Juga: Kilasan Perjalanan RUU TPKS Menjadi UU

UU TPKS hendaknya digunakan dalam penegakan hukum kasus kekerasan seksual, terutama yang dilaporkan setelah UU TPKS diundangkan pada 9 Mei 2022. Atau dengan kata lain, yang belum memasuki tahap penyelidikan dan penyidikan. Penegak hukum seyogyanya tidak perlu ragu menggunakan UU TPKS. Berbagai terobosan dalam UU TPKS dimaksudkan mengatasi hambatan penegakan hukum yang selama ini terjadi. Apa saja di antaranya?

  1. Sembilan Bentuk Kekerasan Seksual

Pasal 4 ayat (1) menyatakan 9 tindak pidana kekerasan seksual antara lain pelecehan seksual non fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, dan pemaksaan sterilisasi. Selain itu, UU TPKS juga mengatur pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, dan eksploitasi seksual. Pasal tersebut juga mengakomodasi bentuk kekerasan seksual lain seperti perbudakan seksual dan kekerasan seksual berbasis elektronik.

  1. Hukum Acara Khusus

Pasal 24 UU TPKS menetapkan alat bukti yang sah sebagai pembuktian tindak pidana kekerasan seksual. Yaitu informasi atau dokumen elektronik dan barang bukti. UU TPKS juga menetapkan keterangan saksi korban sebagai alat bukti yang sah. Cakupan alat bukti diperluas seperti surat keterangan psikiater atau psikolog klinis, rekam medis, hasil pemeriksaan forensik, dan hasil pemeriksaan rekening bank.

Terobosan lain adalah Pasal 23 yaitu larangan penyelesaian kasus di luar pengadilan. Pengecualian pada ketentuan ini diberlakukan pada kasus kekerasan seksual dengan pelaku anak.

  1. Pelayanan Terpadu

UU TPKS menyatakan,“Pelayanan Terpadu adalah penyelenggaraan layanan yang terintegrasi, multiaspek, lintas fungsi dan sektor bagi Korban, Keluarga Korban, dan/atau Saksi Tindak Pidana Kekerasan Seksual.”

UU TPKS juga mengakui penyedia layanan berbasis masyarakat yang berperan dalam penanganan dan pemulihan korban kekerasan seksual. Pasal 1 UU TPKS menyatakan, “Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat adalah lembaga masyarakat berbadan hukum yang memberikan pelayanan untuk Korban, Keluarga Korban, dan/atau Saksi Tindak Pidana Kekerasan Seksual.”

Baca Juga: Begini Partisipasi Masyarakat dalam UU TPKS

  1. Memenuhi Hak Korban

Salah satu hak korban adalah hak atas informasi yang menjadi kewajiban penyidik dan pendamping. Hak Korban atas penanganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 di antaranya hak atas informasi terhadap seluruh proses dan hasil penanganan, pelindungan, dan pemulihan; hak mendapatkan dokumen hasil penanganan; dan hak atas layanan hukum.

Dalam hal perlindungan, Pasal 69 menyatakan hak korban di antaranya penyediaan informasi mengenai hak dan fasilitas pelindungan,  penyediaan akses terhadap informasi penyelenggaraan pelindungan, dan pelindungan dari ancaman atau kekerasan pelaku dan pihak lain serta berulangnya kekerasan. Hak pelindungan lainnya adalah pelindungan atas kerahasiaan identitas, pelindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan korban.

Dalam hal pemulihan korban sebagaimana diatur dalam Pasal 70 meliputi antara lain rehabilitasi medis, rehabilitasi mental dan sosial, dan pemberdayaan sosial. Selain itu korban juga berhak atas restitusi dan/atau kompensasi dan reintegrasi sosial.

***

Pengundangan UU TPKS pada 9 Mei 2022  merupakan dasar hukum materiil dan formil dalam penanganan kekerasan seksual yang sepatutnya segera digunakan oleh aparat penegak hukum, pendamping, dan masyarakat. Implementasi UU TPKS juga bisa menjadi jalan sosialisasi kepada khalayak agar mengenali dan memahami bahwa UU TPKS hadir sebagai upaya perlindungan dan pemulihan terhadap korban kekerasan seksual. [Nur Azizah]

 

 

 

 

Digiqole ad