Serangan Air Keras Sebagai Kekerasan Berbasis Gender
Oleh: Siti Aminah Tardi
Dalam kunjungan ke Palembang, Sumatera Selatan, beberapa waktu lalu, saya berkesempatan menjenguk perempuan korban serangan air keras di rumah sakit tempatnya dirawat. Korban merupakan guru TK yang menolak cinta dari seorang lelaki. Pelaku mendatangi korban di sekolah tempatnya mengajar dengan membawa botol bekas air mineral berisi cuka para yang biasa digunakan untuk proses penggumpalan getah karet. Belum sempat dilempar, botol itu mencair dan tumpah ke lantai. Korban mengambil alat pel untuk membersihkannya karena menganggapnya air, namun pelaku menyapukan air keras ke wajah korban dengan memakai sarung tangan dan melemparkannya hingga mengenai mata korban.
Dari Ogan Komering Ulu (OKU) korban dilarikan ke rumah sakit di Palembang untuk mengobati luka bakar pada wajah dan matanya. Pada saat kunjungan, korban telah menjalani dua kali operasi pada bagian matanya. Apa yang dialami korban dalam khasanah pengetahuan kekerasan terhadap perempuan, disebut dengan ‘serangan air keras’ atau kekerasan dengan air keras (acid violence). Ini merupakan kekerasan yang sengaja dilakukan di mana pelaku melempar, menyemprot, atau menuangkan air keras ke wajah dan/atau tubuh korban. Serangan air keras ini dikategorikan sebagai salah satu bentuk kekerasan berbasis gender terhadap perempuan.
Kekerasan Berbasis Gender
Serangan air keras terjadi di banyak negara di dunia, namun sebagian besar dilaporkan terjadi di negara berkembang seperti Kolombia, Pakistan, Nepal, Bangladesh, Uganda, dan India. Di Indonesia sendiri tidak terdapat data yang terhimpun terkait jumlah serangan air keras berbasis kekerasan gender. Namun, dari pemberitaan yang dapat dilacak pada 2020 terdapat tiga kasus yaitu suami yang menyiramkan air keras ke arah wajah isterinya, yaitu di Stasiun Kalibata (Kompas.com – 04/05/2020), penyemprotan air keras terhadap pengendara sepeda perempuan di Sleman (Kompas.com – 27/12/2020) dan suami menyiramkan air keras ke wajah istrinya yang sedang tidur pulas karena cemburu di Padang, Sumatera Barat (Kompas.com 2020/11/05).
Kasus serangan air keras yang mendapatkan perhatiaan publik adalah kasus Siti Nur Jazilah alias Lisa yang disiram air keras oleh suaminya pada 2006, yang mengakibatkan wajah Lisa mengalami kerusakan parah. Untuk mengembalikan fungsi pernapasan dan merekontruksi wajahnya, Lisa menjalani 17 kali operasi. Lisa menjadi pasien operasi face off atau transplantasi wajah pertama di Indonesia.
Serangan air keras dalam jangka panjang dapat menyebabkan luka bakar pada mata termasuk kebutaan, jaringan parut permanen yang parah pada wajah dan tubuh, juga kesulitan sosial, psikologis, dan ekonomi. Perempuan penyintas serangan air keras mendapatkan streotipe dan marginalisasi dalam kehidupannya.
Kekerasan ini tidak dapat dilepaskan dari struktur masyarakat yang membentuk laki-laki lebih memiliki kuasa atas perempuan. Serangan air keras terjadi karena ketersinggungan maskulinitasnya atau berpendapat bahwa perempuan tidak layak menolak atau mempermalukan diri (laki-laki) dengan menolak cinta atau lamarannya. Laki-laki berpikir bahwa dengan wajah yang rusak, seorang perempuan tidak akan mendapatkan kesempatan untuk menemukan cinta atau menikah.
Baca Juga: Menjawab Pertanyaan Perempuan
Niat pelaku sering kali untuk mempermalukan atau balas dendam daripada membunuh korban sebagaimana dilaporkan Avon Global Center for Women and Justice at Cornell Law School dalam “Memerangi Serangan Air Keras di Bangladesh, India dan Kamboja (2011)”. Pelaku biasanya tidak bermaksud membunuh korbannya, tetapi menyebabkan kerusakan fisik dan trauma emosional yang berkepanjangan. Penyerang seperti itu biasanya menyasar bagian wajah, leher, dan tubuh bagian atas.
Dalam beberapa kasus, pelaku membuang air keras di wilayah organ seksual dan reproduksi, seperti payudara, bokong, dan vagina. Sekalipun pelaku tidak bermaksud untuk menyebabkan kematian, luka-luka yang diderita korban masih dapat mengakibatkan kematian, seperti kesulitan bernapas. Namun ditemukan pula kasus dimana pelaku memaksa korban untuk meminum air keras yang menunjukkan bahwa pelaku bermaksud untuk membunuhnya.
Selain sebagai bentuk ketimpangan gender dan diskriminasi terhadap perempuan, hal ini diperburuk dengan murah dan mudahnya untuk mendapatkan air keras. Oleh karenanya PBB merekomendasikan agar pemerintah -dalam hal ini Bangladesh, India dan Kamboja- harus mengambil tindakan untuk mengatasi dengan: (1) Memberlakukan undang-undang yang cukup menghukum pelaku dan membatasi ketersediaan air keras; (2) Menegakkan dan menerapkan undang-undang tersebut; dan (3) Memberikan ganti rugi kepada korban, termasuk kompensasi untuk biaya perawatan kesehatan.
Rekomendasi ini tentunya tidak terbatas pada negara-negara dengan kasus serangan air keras yang tinggi, namun juga kepada negara-negara pihak yang menandatangani Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminsi terhadap Perempuan, termasuk Indonesia.
Aturan Hukum Penyiraman Air Keras
Di Indonesia, walau tidak diatur secara khusus, serangan air keras adalah tindak pidana dalam bentuk tindak pidana penganiayaan sebagaimana diatur dalam Bab XX tentang kejahatan terhadap tubuh, dengan beberapa tingkatan penganiayaan yang termuat di pasal 351 hingga 358 KUHP. Dalam konteks ini serangan air keras dapat dikategorikan sebagai penganiayaan yang direncanakan (Pasal 353) karena pelaku mempersiapkan air keras sebagai alatnya, atau penganiayaan berat dengan sengaja (Pasal 354) atau penganiayaan berat yang direncanakan (Pasal 355).
Secara khusus, jika penyiraman air keras dilakukan dalam lingkup rumah tangga, maka berlaku Pasal 5 huruf a jo Pasal 44 UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Ancaman pidana yang diberikan yaitu pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
Jika mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dan jika mengakibatkan kematian, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
Namun, sayangnya Indonesia belum memiliki jaminan bagaimana pembiayaan pengobatan korban serangan air keras. Walaupun demikian, operasi yang dilakukan terhadap Lisa selama 7 tahun (2007-2013) dengan tinggal di rumah sakit sekaligus untuk mendapatkan pendampingan psikologis dan pendampingan ekonomi dapat menjadi pengalaman baik dalam penanganan kasus serangan air keras. Maka dalam pertemuan-pertemuan dengan pemangku kebijakan, saya menyarankan untuk membantu pengobatan korban termasuk dengan memasukkannya dalam BPJS yang dibiayai negara untuk pengobatan jangka panjangnya.[]
Komisioner Komnas Perempuan Periode 2020-2024, tulisan bersifat pribadi dan tidak mencerminkan opini lembaga