Politik Hukum Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia

 Politik Hukum Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia

Ilustrasi (Sumber: Canva.com)

 

Problem Filosofis

Salah satu pengaturan tentang perlindungan martabat kemanusiaan (human dignity) dalam UUD 1945 terkait dengan hak untuk mendapatkan rasa aman dan perlindungan dari ancaman, serta bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 28G UUD 1945.

Namun demikian, nilai-nilai yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan belum sepenuhnya terinternalisasi dalam politik hukum (legal policy) penghapusan kekerasan seksual. Sementara di sisi lain, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Dalam hal ini, pengaturan kekerasan seksual belum memenuhi tujuan hukum yang dapat memberikan kemanfaatan, kepastian, dan berkeadilan.

 

Problem Historis Dimensi Kultural

Di seluruh bangsa di dunia, terdapat permasalahan yang secara historis terkait dengan dimensi kultural namun belum selesai, yaitu kekerasan berbasis gender. Mengutip UNHCR, kekerasan berbasis gender adalah tindakan berbahaya yang ditujukan pada individu berdasarkan jenis kelaminnya.

Penyebab kekerasan berbasis gender berakar pada ketidaksetaraan gender, penyalahgunaan kekuasaan dan norma, serta budaya yang merugikan.  Kekerasan berbasis gender ini dapat berupa kekerasan seksual, fisik, mental, dan ekonomi yang dilakukan di tempat umum atau dalam hubungan pribadi.

Baca Juga: Kekerasan Seksual Massal dalam Sejarah Bangsa (Bagian 1)

Namun demikian, upaya penghapusan kekerasan berbasis gender masih terhalang dengan ketidaksetaraan akses, kontrol, partisipasi, dan manfaat yang diterima antara laki-laki dan perempuan. Ketidaksetaraan ini mengakibatkan rendahnya kualitas sumber daya manusia perempuan dan kerentanan perempuan, termasuk rentan pada terjadinya tindak kekerasan seksual.

 

Problem Yuridis

Di Indonesia, salah satu bentuk kekerasan berbasis gender yang marak terjadi adalah kekerasan seksual, terlebih lagi pandemi covid-19 menunjukkan peningkatan kasus kekerasan seksual, terutama berbasis online. Sementara itu, perjuangan untuk pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang mengatur kekerasan seksual di Indonesia masih terus dilakukan.

Aturan hukum mengenai kekerasan seksual sendiri sebenarnya sudah ada. Beberapa di antaranya dapat diakses dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU Perlindungan Anak, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO), serta UU Perlindungan Saksi dan Korban. Namun masih terdapat berbagai problem dalam aturan yang sudah ada ini.

Ada tiga aspek hukum yang penting ditinjau. Pertama, kepastian hukum.  Dalam produk hukum yang sudah disebutkan, masih terjadi distorsi makna, overlapping dan multitafsir, sehingga aspek kepastian hukum menjadi tidak terpenuhi. Misalnya, di dalam KUHP mengatur soal pencabulan. Apakah sama dengan pelecehan seksual? Tentu berbeda, karena KUHP hanya mengatur soal fisik, tidak termasuk verbal dan psikis, serta harus ada tindakan nyata. Sedangkan dalam realitanya, jenis pelecehan tidak terbatas pada yang fisik saja.

Contoh lainnya, dalam UU PTPPO terdapat definisi soal kekerasan seksual. Namun lingkupnya terbatas hanya dalam kasus human trafficking. Jadi overlap dan multitafsir.

Kedua, kemanfaatan. Produk hukum yang ada belum memiliki manfaat bagi masyarakat dalam hal pengaturan kekerasan seksual. Kenapa? Karena hukum yang ada sekarang belum responsif terhadap korban. Bahkan, tidak ada amanat untuk melakukan pendidikan publik terkait kekerasan seksual.

Ketiga, keadilan. Hukum yang ada sekarang masih abai terhadap pemulihan dan perlindungan korban. Meskipun ada, jumlahnya masih sangat minim. Selain itu, hukum yang ada masih abai terhadap perbaikan perilaku pelaku kekerasan, yang mana pelaku juga berhak menjadi manusia yang bermartabat.

 

Problem Psikologis Korban, Pelaku, dan Masyarakat

Realitanya, pelaku kekerasan seksual bisa saja melakukan kekerasan yang berulang, baik offline maupun online. Apalagi jika pelaku merupakan orang yang dekat dengan korban, seperti suami, pacar, paman, kakek, ustadz, dll.

Maka dari itu, penting untuk melakukan intervensi psikologis. Misalnya dengan merujuk korban untuk pemulihan, serta merehabilitasi pelaku.

Dalam hal terjadi kekerasan seksual, korban rentan mengalami reviktimisasi. Oleh karena itu, intervensi keluarga dibutuhkan dalam hal penyelesaian kasus. Namun, melibatkan komunitas juga tak kalah penting, mengingat korban adalah pihak rentan yang terkadang pun tidak mendapat dukungan dari lingkungannya.

 

Baca Juga: Perbedaan Dampak Kekerasan Seksual Antara Laki-laki dan Perempuan

 

Problem Sosiologis

Kekerasan seksual di Indonesia mengandung problem sosiologis. Yaitu, terdapat perkembangan bentuk-bentuk kekerasan seksual yang tidak dapat ditindak karena belum ada aturannya. Selain itu, masyarakat secara umum, termasuk sebagian Aparat Penegak Hukum (APH) masih menganggap kekerasan seksual hanya sebatas persoalan pakaian, persoalan keluarga, serta persoalan perempuan semata, tidak dilihat sebagai perbuatan yang merendahkan martabat manusia.

Problem sosiologis lainnya adalah meningkatnya kasus kekerasan berbasis gender online di masa pandemi, serta penggunaan aplikasi yang berkelindan dengan pornografi, pemalsuan, TPPO, dan lainnya.

 

Politik Hukum Indonesia

Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila. Dalam hal ini, negara hukum Indonesia bukan lagi dalam pengertian Reechstaat maupun Rule Of Law, melainkan negara hukum Pancasila.

Konsekuensinya, segala aktivitas negara yang meliputi proses, produk dan kelembagaan negara untuk mewujudkan hukum yang dicita-citakan harus menggunakan paradigma Pancasila. Negara hukum Indonesia menggunakan nilai-nilai sebagaimana yang terdapat dalam Pancasila, yaitu nilai Ketuhanan (belief od God), kemanusiaan (humanity), persatuan (unity), demokrasi (democracy), dan keadilan sosial (social justice).

Termasuk dalam pengaturan mengenai kekerasan seksual, pancasila tetaplah menjadi dasar. Namun permasalahannya, produk hukum yang ada masih belum komprehensif, bahkan masih ada distorsi makna. Maka harus dibuat UU baru.

Indonesia adalah Negara yang menjunjung tinggi perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Esensi perlindungan HAM adalah perlindungan terhadap nilai kemuliaan sebagai manusia seutuhnya, atau dengan kata lain perlindungan martabat manusia (human dignity) sesuai dengan nilai-nilai pancasila dan UUD 1945.

Hak seseorang untuk bebas dari segala bentuk penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat kemanusiaan sayangnya belum sepenuhnya didapatkan oleh setiap orang. Salah satu penyebabnya adalah adanya kasus kekerasan seksual.

Sedangkan dalam hukum yang ada saat ini, belum memberi perlindungan sebagaimana yang dimandatkan UUD 1945. Makna perlindungan hukum pada korban yang dimaksud ini adalah perlindungan yang berdasarkan Pancasila dan UU. Termasuk rehabilitasi pelaku. Maka selain adanya hukuman yang memberi efek jera, perlu diperhatikan pula soal rehabilitasi pelaku.

Dalam konteks pencegahan, cukup banyak pula yang harus dilakukan. Tidak sebatas pada edukasi saja, melainkan juga perbaikan aparat hukum, serta perlindungan dan pemulihan korban.

Terkait pemidanaan dan penindakan untuk merehabilitasi pelaku, hal ini belum diatur dalam KUHP maupun berbagai aturan. Hal ini disebabkan oleh luputnya perhatian pemangku kebijakan mengenai keadilan struktural; soal budaya masyarakat yang memposisikan perbedaan laki-laki dan perempuan, yang mana menjadi akar perilaku kekerasan seksual.

Atas berbagai situasi tersebut, diperlukan suatu politik hukum (legal policy) tentang penghapusan kekerasan seksual yang berorientasi pada perlindungan martabat kemanusiaan (human dignity) yang komprehensif.

 

Baca Juga: Aturan Hukum dan Penanganan Kekerasan Seksual dalam Relasi Pacaran

 

Tentunya, selain mengatur materi pemidanaan, perlu juga mengatur kelembagaan dan orientasi penindakan pelaku, memberi perlindungan kepada korban, serta menghapuskan diskriminasi di masyarakat.

 

Konsep Politik Hukum Penghapusan Kekerasan Seksual Di Masa Depan

Pada akhirnya, hakekat penghapusan kekerasan seksual yang komprehensif perlu meliputi empat hal. Yaitu:

  1. Pencegahan (primary prevention);
  2. Perlindungan hak dan pemulihan bagi korban
  3. Pemidanaan (penal) dan penindakan (matregel) untuk rehabilitasi pelaku
  4. Pemulihan keseimbangan tatanan (restitutio an integrum) dan partisipasi masyarakat dalam penghapusan kekerasan seksual.

Adapun bentuk kebijakan yang dapat dilakukan meliputi kebijakan penal (pidana), kebijakan nonpenal; dan kebijakan integratif (penal dan nonpenal). Kebijakan tersebut dapat menggunakan dua pendekatan, yaitu pertama, kebijakan pencegahan menggunakan pendekatan kerangka kerja ekologis (ecological framework). Kedua,  kebijakan hukum penindakan yang menggunakan sarana penal dan pemulihan melalui kebijakan integratif menggunaan pendekatan restorative justice. [ANHS]

 

Dr. Ninik Rahayu, S.H., M.S. (Tenaga Profesional Lemhannas RI, Purna Pimpinan Ombudsman RI 2016-2021, Purna Komisioner Komnas Perempuan 2007-2009 dan 2010-2014)

* Tulisan ini bersumber dari pemaparan Dr. Ninik Rahayu, S.H., M.S. dalam seminar nasional Fraksi PPP DPR RI bertema “Perlukah Negara Mengintervensi Hak Seksualitas Manusia?” pada 21 Agustus 2021.

 

Digiqole ad